[ONESHOT] RECUSANT

asedmnbvdsCrPict: HERE

Author: @araiemei15

CAST: Ryu Hyoyoung || Park Chanyeol || Huang Zi Tao || Hwang Seojung ||

*

Pertemuan di bawah pohon…

Jika kota Jongeup memiliki sejarah pemberontakan terhadap pemerintah dan birokrasi di masa terakhir dinasti Joseon, maka aku pun memiliki sejarah yang sama di masa kecilku. Aku pemberontak akan setiap otoritas yang dicanangkan oleh ibu selepas jam belajarku di sekolah. Dan aku tidak pernah menyetujui semua itu. Aku tidak setuju untuk masuk ke dalam kursus musik, tapi ibuku mengharuskannya. Aku hanya ingin menikmati masa-masa kecilku dengan bermain bersama teman-teman, namun ibu menyabotase habis kebebasanku tanpa kompromi.

Ibu bilang, aku akan menyadari betapa bahagiannya masa kecilku kelak jika aku sudah dewasa. Tapi, aku tidak pernah mendambakan akan menjadi orang dewasa. Aku hanya ingin tetap menjadi anak kecil, lalu bermain, lalu pulang ke rumah, dan keesokannya bermain lagi—seterusnya seperti itu

Pernah suatu hari, aku benar-benar tidak bisa menoleransi semua sikap ibu. Dia tidak berkata-kata saat menyiapkan sarapan untukku. Dia tidak menyahut saat aku meminta izin berangkat ke sekolah. Begitu pulang dan tiba di rumah, ibu langsung menggerekku ke kamar mandi dengan handuk yang tersampir di pundaknya tanpa berkata-kata. Selepas mandi, dia membantuku mengenakan baju seragam kursus musikku yang bentuknya sangat mirip dengan baju sailormoon hanya saja warna yang berbeda—jika sailormoon berwarna putih dengan strip biru malam, maka seragamku memiliki perpaduan warna sebaliknya. Menyisir rambutku lalu mengepangnya. Setelah itu, ibu mengambilkan case biolaku yang berdiri menyender di dekat lemari, lalu menyerahkannya kepadaku, sebelum berucap, ‘Pergilah!’

Aku mengangguk. Melangkah keluar kamar dan menghampiri rak sepatu. Mengambil sepatu kulit coklat pemberian ayah beberapa bulan yang lalu setelah aku dinyatakan naik ke kelas dua. Aku begitu menyukai sepatu itu dan mengenakannya ke mana-mana. Ke sekolah, ke kelas kursus, ke kedai bibi Han untuk membelikan pesanan ibu, atau kemanapun yang aku bisa memamerkannya. Satu-satunya hal yang membuatku bersemangat untuk pergi ke tempat kursus hanyalah sepatu kulit ini.

“Hyoyoung ah,” panggil ibu yang tengah memperhatikanku mengenakan sepatu. “Hari ini ibu akan berangkat ke Seoul. Ada keperluan yang harus ibu selesaikan sampai beberapa hari ke depan. Kau bersama bibi Han, ya? Ibu sudah memintanya untuk menemanimu di sini.”

Aku menyahut hanya dengan kata ‘iya’ sebelum melangkah keluar rumah.

Seoul? Ibu bilang dia akan pergi ke Seoul untuk beberapa hari? Jujur jika aku sedikit merasa tidak terima dengan keputusan ibu. Kenapa dia tidak mengajakku? Oh, baiklah, aku sangat kekanak-kanakan sekali—ya, memang karena waktu itu aku memang masih anak-anak. Aku ingin ikut, karena aku sudah lama tidak bertemu ayah. Aku juga ingin ke sana, lalu menagih janji ayah yang katanya akan membawaku bermain ke namsan jika aku ke Seoul.

Aku melangkahkan kaki sambil terus menggerutu di dalam hati. Lantas terhenti saat tiba tepat di halaman luas sebuah rumah yang di depannya terdapat papan besar bertuliskan ‘nama tempat kursus musik’ yang kuikuti dua tahun ini. Entah kenapa, saat melihat papan besar itu, perasaan kesalku terhadap ibu semakin menjadi dan menjadi. Rasanya seperti ada bola api yang digelindingkan di dalam rongga dadaku. Semakin ia menggelinding, bola api itu semakin membesar.

Aku benci kelas musik. Aku benci biola. Aku benci ibu yang selalu menyuruhku melakukan hal-hal yang tidak kuinginkan. Aku benci ibu yang akhir-akhir ini terkesan menghalang-halangiku untuk bertemu dan berbicara dengan ayah.

Dengan segala amarah yang membeludak dalam kepala, aku membalik tubuhku pergi meninggalkan halaman luas kelas kursus. Melangkahkan kaki kecilku tanpa tahu akan ke mana ia membawa tubuhku dan case biola di punggungku. Aku tidak mungkin pulang ke rumah, dan aku pun tidak memiliki teman yang bisa kuajak untuk melarikan diri sejenak—entah dengan bermain lompat tali atau apapun yang bisa mengisi kekosonganku dan menghilangkah semua rasa panas yang membakar isi dadaku setiap kali mengingat ibu dan kelas kursus.

Hingga aku merasa lelah dan tidak sanggup untuk berlari lagi, aku terhenti di depan sebuah kuil tua. Bangunan yang paling depan adalah yang paling besar dengan pilar-pilarnya yang bercat merah bata dan dipenuhi dengan huruf-huruf hanja. Waktu pertama kali bertandang ke kuil ini, hal yang paling menyita perhatianku adalah sebuah pagoda kayu kecil di tengah halaman dan bukit batu yang berada di arah barat kuil.

Tapi untuk hari itu…

Aku menekuk badanku dan berusaha mengumpulkan oksigen sebanyak-banyaknya. Berharap dengan berpegangan dengan lutut, aku akan merasa lebih kuat dan terjamin tidak akan jatuh. Napasku masih terengah saat mencoba untuk mengedarkan pandanganku ke sekeliling kuil. Ada banyak sekali bangunan kecil yang berdiri mengawal di sebelah kanan dan kiri bangunan yang paling besar.

Ada sesuatu yang menarik mataku beberapa saat kemudian. Aku menegakan tubuhku dan menggeser sedikit posisi menghadap kea rah bangunan kecil yang berdiri di bagian timur kuil. Di samping bangunan itu ada sebuah pohon oak besar yang berdiri kokoh menopang dahan-dahannya yang menjulur ke mana-mana. Daun-daunnya berwarna hijau segar—sesekali bergoyang diterpa angin sore musim semi—mencuri minatkku untuk sejenak duduk bersantai di bawahnya. Dahannya yang panjang dengan daun-daun yang lebat, pasti akan menghasilkan udara yang segar sekali—pikiriku.

Saat jarakku dengan pohon oak itu tersisa hanya sekitar satu meter, langkahku seketika terhenti. Samar-samar aku mendengar ada suara sesegukan di balik batang pohon oak di depanku. Aku mencoba untuk lebih menajamkan pendengaran. Oh, apa jangan-jangan pohon oak itu angker dan ada peghuninya? Aku hampir saja berbalik untuk kabur meninggalkan area kuil yang sepi sore itu jika saja penglihatanku tidak menangkap ujung sepatu putih kecil yang terulur di balik batang pohon oak.

Setelah memantapkan hati, aku berjalan mendekat perlahan-lahan, dan benar apa yang kupikirkan ternyata… pohon oak itu berpenghuni! Ada dua orang bocah laki-laki yang kutemukan tengah duduk bersandar di batang pohon.

Salah satu di antara dua bocah laki-laki itu menangis sesegukan dan menyembunyikan wajahnya di atas lutut yang ia tekuk. Sementara bocah laki-laki yang satunya lagi, terlihat berusaha menenangkan sambil terus menepuk-nepuk halus pundak teman di sampingnya itu. Menyadari akan kehadiranku di antara mereka, bocah pemilik sepatu putih itu mendongakan kepalanya. Ia menatapku. Matanya yang besar seolah-olah menyiratkan kebingungan. Seolah-olah mengatakan bahwa bukan dirinyalah yang membuat anak kecil itu menangis.

‘Aku tidak tahu sama sekali!’—begitulah pesan yang bisa kutangkap dari matanya sebelum aku memutuskan untuk ikut mengambil posisi bersimpuh tepat di hadapan mereka. Dan ikut mengulurkan salah satu tanganku untuk menenangkan bocah laki-laki yang masih belum mau mengangkat wajahnya dan terus saja menangis sesegukan.

Aku mencoba membuka suara untuk menanyakan keadaannya. “Neon gwenchana?”

Mungkin karena mendengar suaraku, akhirnya bocah laki-laki itu pun mengangat kepalanya. Aku melihat dengan jelas wajah dan matanya yang merah padam saat itu. Bahunya bergetar karena sesegukan. Ia menatapku lekat-lekat, lalu berbicara dengan bahasa yang membuat aku dan bocah laki-laki yang duduk di sampingnya menjadi terpaku di tempat. Aku bisa menebak jika yang ada di dalam hati bocah bermata besar itu sama dengan apa yang di dalam hatiku: kami sama-sama mengira kalau bocah laki-laki aneh itu adalah makhluk lain yang memang bertugas menunggu pohon oak. Demi Tuhan, kami sama sekali tidak mengerti apa yang ia katakan.

Seketika aku bergidik di tempat.

“N-na-ma-ku T-tao.” Masih dengan suara yang sengau, anak laki-laki itu akhirnya memecah keheningan yang cukup lama menggelayuti kami bertiga. Kami sontak menatap lagi ke arahnya.

Dia berusaha untuk menyusut cairan yang keluar dari hidungnya. “Aku kabur dari rumah karena ayahku tidak membelikanku mobilan remot.” Ia bercerita jujur. Logatnya masih terdengar aneh.

“Kau bisa berbahasa Korea?” Suara bocah laki-laki bermata bulat itu pun akhirnya keluar.

Tao menganggukan kepalanya, “N-nde. Jeogeum.”

Karena penasaran, aku pun ikut melontarkan pertanyaan, “Kau tadi berbicara menggunakan bahasa apa?”

Tao menatap ke arahku lekat sebelum menjawab, “Mandarin!”

“Mandarin?”

Dan hari itu juga aku pun mengetahui kebenarannya—jika bocah laki-laki yang bernama Tao dan yang menangis karena tidak dibelikan mobil mainan itu baru saja pindah dari Beijing. Ayahnya adalah seorang dokter spesialis bedah tulang yang ditugaskan mengabdi untuk beberapa tahun di kota Jongeup.

Karena orang tuanya tidak mengabulkan keinginannya, Tao melakukan pemberontakan dengan cara melarikan diri dari rumah. Lalu ia terdampar di halaman kuil dan bersembunyi di balik tubuh besar pohon oak. Di antara kami bertiga, Tao adalah yang pertama kali mendatangi pohon oak itu. Dan yang perlu diluruskan adalah: Tao bukan makhluk astral seperti apa yang kami perkirakan sebelumnya.

Sementara yang datang di urutan kedua adalah Park Chanyeol. Anak laki-laki yang mengenakan sepatu putih dan memiliki mata bulat besar itu bernama Park Chanyeol. Dia memiliki wajah paling tampan di antara kami—tentu saja. Karena aku tidak mungkin memiliki wajah tampan, karena aku perempuan. Sementara Tao, dia lebih percaya jika orang menyebutnya manis. Ya, dia bilang wajahnya manis. Sebagai teman yang baik dan yang ingin selalu menjaga perasaan orang lain, aku dan Chanyeol hanya akan menampilkan wajah mual ketika Tao berjalan lebih cepat dua langkah di depan kami.

Saat memutuskan untuk mendatangi pohon oak itu pun, niat awal Chanyeol adalah untuk bersembunyi. Dia mengatakan jika ia tidak memiliki siapapun yang bisa diajak bicara di rumah. Ibu dan ayahnya bertugas di luar negeri, dan ia baru saja pindah ke rumah neneknya di Jongeup karena tidak ada yang bisa mengasuhnya di Jeonju.

Ya, begitulah…

Mulai hari itu juga, kami resmi menjadi penghuni pohon oak di sudut halaman kuil. Dan atas keputusanku hari itu—melarikan diri dari kelas kursus—aku sangat berterimakasih kepada Tuhan karena memperkanakan tindak pemberontakanku yang pertama kali.

.

Dia gadis Piano…

Siapapun bisa menganalogikan kami seperti tiga ekor anak landak yang tersesat dengan kaki cacat di sebuah negeri yang paling dingin di dunia. Mereka tidak memiliki tujuan terakhir selain hanya untuk bertahan hidup di bawah guyuran salju yang menginvasi setiap jengkal tanah di negeri itu. Langkah mereka terseok-seok saat memutuskan untuk memasuki sebuah gubuk kecil yang sudah reyot di pinggir hutan. Di dalam gubuk itulah mereka bertemu. Tiga anak landak itu saling merapatkan posisi mereka masing-masing. Karena dengan posisi saling berdekatan seperti itulah mereka akan merasa hangat dan nyaman. Hanya saja mereka harus saling melukai dengan duri yang ada di tubuh mereka. Tapi hanya dengan cara itulah mereka bisa bertahan hidup, karena jika mereka berpencar, maka mereka akan mati kedinginan.

Kami seperti itu. Kami seperti tiga anak landak yang tersesat. Semenjak kami bertemu untuk pertama kalinya di bawah pohon oak, jalinan takdir kehidupan kami pun seolah-olah diikat dengan simpul yang tidak bisa dilepas satu sama lain. Bersama kami saling melengkapi dengan kecacatan yang ada pada kami.

Dua hari setelah pertemuan kami di bawah pohon oak tua di dekat kuil itu, kami pun dipertemukan kembali di sebuah kelas yang sama.

Pagi itu, sebelum jam pelajaran pertama dimulai, wali kelas membawa masuk dua orang siswa laki-laki, lalu memperkenalkan mereka kepada kami di depan kelas.

Tao memperkenalkan dirinya masih dengan bahasa korea yang terbata-bata. Ia pun menceritakan tentang keluarganya yang baru saja pindah dari Beijing satu minggu yang lalu.

Sementara Chanyeol, bocah itu terlihat lebih periang daripada saat pertama kali melihatnya di insiden pohon oak. Matanya yang besar lebih bersinar saat memperkenalkan dirinya di depan kelas.

“Kuharap kita bisa berteman!” katanya menutup sesi perkenalan sambil membungkukan badan.

Aku melambaikan tangan ke arah Tao yang kebetulan menemukan posisi mejaku. Tentu saja ini membuat beberapa siswa di kelas melirik ke arahku dengan tatapan mencibir. Lihat dia! sok kenal sekali, sih!—mungkin itu ada yang dipikiran mereka. Namun setelah Chanyeol bergegas mengambil tempat di sebelahku (waktu itu aku duduk seorang diri yang mejanya berada di baris kedua dari arah belakang dan di banjar pertama dari arah kiri. Posisi mejaku berdekatan dengan jendela) lantas melempar senyum mengejek ke arah Tao yang hanya bisa menampilkan ekspresi kecewa, semuanya terasa terbalas tuntas! Rasanya leherku memanjang dan kepalaku membesar. Aku ingin naik ke atas meja lalu membuktikan kepada mereka jika aku memang sudah mengenal dua orang anak baru itu. Lihat! Aku punya teman! Chanyeol dan Tao adalah temanku!

Siswa-siswa lain menatapku tidak percaya—yang aku balas dengan senyum penuh kemenangan.

Semenjak hari itu, Chanyeol selalu menjadi teman sebangkuku hingga kami berada di kelas enam. Dan yang paling membuatku bersyukur kepada Tuhan, ialah kenyataan bahwa Chanyeol adalah termasuk siswa yang cerdas dan aktif di kelas, dan ia juga tidak pernah pelit dengan jawaban. Hal yang paling kusukai saat meminta Chanyeol mengajariku soal matematika adalah: ia akan menyerah sebelum aku benar-benar mengerti, lalu ia akan memutuskan untuk mengambil alih bukuku, kemudian mengerjakannya sendiri. Jika orang lain percaya tentang seorang ‘sahabat yang selalu ada di saat senang maupun susah’, maka aku lebih percaya jika seorang ‘sahabat adalah yang selalu ada di setiap ulangan harian’.

Chanyeol berbisik di tengah-tengah jam pelajaran matematika, “Bagaimana kalau nanti sore kita berkumpul di bawah pohon lagi? Aku, kamu, dan Tao?”

Aku mengangguk menyetujui. Maka hari itu pula aku menyadari sesuatu: ternyata telinga Chanyeol lebih lebar daripada ukuran telinga manusia pada umumnya.

.

Kami meresmikan status kami sebagai penghuni pohon oak setelah satu minggu mengikuti pertemuan rutin setiap hari selepas pulang sekolah. Selama satu minggu itu pula aku menjadi seorang anak nakal yang berani berbohong dengan ibunya sendiri. Aku berbohong kepada ibu jika aku mengikuti kelas kursus seperti biasa. Padahal sebenarnya saat di tengah perjalanan menuju tempat kursus, aku akan berbelok arah menuju area kuil tua.

Mungkin untuk hari-hari pertama, ibu tidak curiga dengan sikapku yang lebih bersemangat daripada biasanya. Sampai laporan dari Lee seonsaengnim—guru yang mengajar di kelas musik yang kuikuti—membuka semuanya secara tuntas. Ibu pun akhirnya mengetahui alasan yang sebenarnya dari segala tindak-tanduk aneh anaknya selama seminggu terakhir.

Hari itu juga, aku mendapat ceramah panjang di ruang tengah dan hukuman. Ibu menyuruhku duduk bersimpuh hampir satu jam. Membuat otot-otot kakiku terasa seperti ditarik kuat-kuat dan aku mengalami kesulitan berjalan.

Aku ingin menangis, tapi tidak bisa.

Aku tidak tahu apakah bersedih atau bersyukur dengan apa yang terjadi hari itu. Ibu memarahiku habis-habisan. Dan dengan amarahnya, ia tidak sengaja membuka petinya sendiri. Peti yang ia dan ayah berusaha menutupinya mati-matian dariku. Peti itu adalah peti yang menyimpan alasan kepergiannya ke Seoul seminggu yang lalu.

Dan pada saat peti itu terbuka, aku pun segara mengetahui bahwa ada yang cacat pada diriku.

.

Pasca terbongkarnya kebohongan itu, aku kembali mengikuti kelas musik seperti biasanya. Aku datang dan mengikuti pelajaran seperti biasa.

Hari itu, jumlah kami bertambah dengan kedatangan seorang tamu istimewa dari Seoul. Dia seorang gadis kecil berumur delapan tahun—sama sepertiku. Dia seorang pianist. Namanya Hwang Seojung. Konon katanya, ia adalah pianist terbaik dan paling muda yang dimiliki SIMC (Seoul Internasiol Music Course) yang merupakan tempat kursus terbaik di Korea Selatan. Kursus musik yang sudah banyak mengirimkan anak-anak didiknya ke ranah internasional dan yang selalu menjanjikan beasiswa masuk ke Berklee College of Music di Boston setiap tahunnya.

“Orang tuaku mendapat tugas selama satu bulan di sini. Dan selama itu pula aku akan berlatih bersama-sama kalian. Aku harap kita bisa saling berteman.” Seojung merundukan tubuhnya, lalu berjalan menuju meja kosong di sebelahku setelah mendapat intruksi dari Lee seonsaengnim.

Seojung… ia sangat mirip dengan tokoh dongeng—itu adalah kesan pertama saat aku melihatnya. Dia mengenakan gaun bewarna putih yang senada dengan warna bando bermotif bunga yang diikat di kepalanya. Rambutnya yang panjang dikuncir ke belakang. Dan ia menyikut tas ransel bergambar hello kitty dan berwarna tosca di punggungnya. Dia terlihat sangat cerah, dan jujur, aku tertarik dengannya. Aku tertarik menjadikan ia temanku. Jika ia mau, aku akan membawanya menuju markas rahasia kami, lalu mengenalkannya kepada Tao dan Chanyeol selepas kelas kursus ini berakhir.

Namun pemikiran itu bertahan hanya sampai beberapa detik sebelum ia mendudukan tubuhnya di sampingku. Ia memasang wajah tanpa ekspresi setelah aku menyapanya. Tidak mempedulikanku. Hanya menatap sejenak setelah aku melontarkan kata ‘annyeong!’ kepadanya, lalu ia memalingkan wajah dan memfokuskan pandangan ke depan kelas. Demi Tuhan, aku benar-benar kehilangan kata-kata, dan kehilangan semua angan-angan manisku beberapa menit sebelum melihat dengan jelas gurat dingin di wajahnya.

Hari itu memang tidak seperti biasanya. Setelah kelas berakhir, aku bergegas keluar. Berharap Tao dan Chanyeol masih menungguku di bawah pohon oak seperti biasanya. Tapi, aku mendapati mereka berdua tengah menungguku di halaman tempat kursus. Aku mengerutkan kening beberapa saat sampai menemukan ada yang lain di antara mereka.

Dengan langkah setengah berlari aku menghampiri mereka. Dan benar apa yang kutebak, belum sempat aku menyapa dan menanyakan alasan kenapa mereka menungguku di tempat kursus, Tao sudah memamerkan sepeda barunya dengan senyuman lebar.

“Ayah bilang dia tidak membelikanku mobilan remot karena ia ingin aku memiliki sepeda! Bagaimana bagus, kan?”

Aku mengangguk sambil mengelus permukan sepeda baru Tao. “Kau boleh mencobanya!” ucap Tao kemudian.

Aku membelalakan mata mendengarnya. “Jinja?”

“Oh!” sahut Tao. Aku melonjak girang, lalu bergegas mengambil alih sepeda itu dari Tao.

Sekitar lima menit, aku asyik menunggangi sepeda Tao dan mengayuhnya mengelilingi halaman luas tempat kursus. Mereka memperhatikanku dan sesekali terdengar suara mereka mentertawakanku. Memiliki sepeda sungguh sangat menyenangkan sekali rasanya. Aku membayangkan jika ayah akan mengirimkan hadiah untukku lagi dan itu adalah sebuah sepeda. Aku berjanji akan lebih bersemangat belajar di tempat kursus dan berlatih biola.

“Hyoyoung ah! Ayo, kita kuil!” Tao berteriak kepadaku yang masih belum ikhlas turun dari sepedanya.

Aku yang berada beberapa meter di depan, membelokan haluan menuju kea rah Tao dan Chanyeol berdiri. Namun, tanpa diduga sama sekali, sebuah kuasa menabrakku dari arah samping. Sukses membuatku kehilangan keseimbangan. Aku oleng kea rah kanan, peganganku terlepas, dan hanya dalam sekejap mata, tubuhku terhempas begitu saja ke tanah dengan posisi kaki kananku yang tertindis badan sepeda. Untuk hitungan sekitar sepuluh detik, aku masih dikuasai rasa syok.

Aku mendengar derap langkah kaki Tao dan Chanyeol berlari ke arahku.

“Hyoyoung ah! Gwenchana?” Saat itu, aku tidak menggubris pertanyaan Chanyeol, karena ada sebuah suara yang lebih menarik perhatianku. Suara lirih seseorang di dekatku yang mengaduh kesakitan.

Begitu aku menoleh, pada saat itu pula aku menyadari posisi Seojung yang bersimpuh di dekat sepedaku, sambil menatapi goresan merah bercampur tanah di siku kirinya. Wajahnya meringis kesakitan.

Seolah-olah kalap dengan keadaan, aku bergegas bangkit menuju kea rah Seojung dan mencoba memeriksa keadaannya. “Seojung ah! Gwenchana? Manhi apha?”

Namun Seojung malah menepis tanganku dengan kasar. Bola matanya berkilat saat menatap mataku untuk beberapa saat. Ia bergegas bangkit kemudian. Sejenak membersihkan bagian belakang gaunnya sebelum melewatiku tanpa sepatah katapun dengan langkah berlari.

Aku tercenung di tempat hingga suara Tao yang berteriak kembali mengetuk gendang telingaku. “YA! Kau! Cepat minta maaf!” Ia menatap lekat punggung Hwang Seojung yang terus saja berlari menjauh. Tidak mempedulikan Tao yang berteriak-teriak marah menyebutnya ‘tidak sopan’ dan ‘tidak bertanggung jawab’.

“Aish. Jinja!” Tao mendengus frustasi. “YA! Kau tidak apa-apa, kan?” tanyanya begitu mengembalikan fokus ke arahku.

“Ah! Tidak apa-apa.” Aku tersenyum meyakinkan.

Tao menghembuskan nafasnya, lantas membantuku membersihkan bagian belakang seragamku yang kotor terkena tanah. Melihat Chanyeol yang sedang berusaha mengangkat sepeda Tao, seketika aku tersentak dan tersadar saat itu juga. Oh Tuhan! Aku baru saja menjatuhkan sepeda Tao! Itu sepeda barunya! Bagaimana jika aku merusakannya? Tao… bagaimana jika dia marah kepadaku?

Aku bergegas menghampiri Chanyeol dan memeriksa kondisi sepeda Tao.

“Tao yya! Sepedamu tidak apa-apa, kan? Maaf, aku menjatuhkannya. Seharusnya aku lebih hati-hati.”

“Kau seharusnya memeriksa dirimu!” sahut Tao menghampiri. Aku menundukan kepala dalam-dalam. “Sudah. Tidak ada apa-apa. Lagi pula sepedaku baik-baik saja. Itu tadi juga bukan karena salahmu.” Lalu mengambil alih sepedanya dari tangan Chanyeol. Aku merasa hatiku sedikit lapang mendengarnya. Tao memang adalah yang paling bisa mengerti.

Chanyeol merangkulku dari samping, “Sudahlah. Jangan cemberut seperti itu. Ayo, kita ke kuil!”

Kami pun melangkah meninggalkan halaman tempat kursus dan menuju kuil beriringan. Tao menuntun sepedanya di sebelah kiriku, sementara di sebelah kanan, Chanyeol terus saja berceloteh panjang. “Itu tadi salahnya. Dia yang menabrakmu. Dan seharusnya dia meminta maaf!” Chanyeol mendengus sebal. Dia mengomel dengan wajah berapi-api. “Benar-benar tidak sopan!” Tambahnya lagi. Membuatku semakin yakin jika ia bukanlah Park Chanyeol yang pertama kali kutemukan di bawah pohon oak waktu itu.

Dia benar-benar berbeda. Kesan awal saat aku mengenalnya, aku beranggapan jika Park Chanyeol adalah pribadi anak yang tidak banyak bicara dan berulah. Namun sayang, pemikiran itu tidak ada benarnya sama sekali. Dia sangat cerewet. Senang mengomentari apapun sesuka hatinya. Dia juga sangat percaya diri. Bahkan dia menganggap telinganya yang berukuran tidak normal adalah suatu kelebihan yang tidak dimiliki oleh banyak orang. Aku sempat berpikir, apakah Chanyeol adalah hasil kloningan?

“Kau mengenalnya?”

“Oh?” Chanyeol menatapku—yang entah sejak kapan memandanginya—dengan tiba-tiba.

“Gadis itu. Dia pasti belajar di kelas yang sama denganmu. Dan, kau pasti mengenalnya, kan?” Ia mengulangi pertanyaannya.

Aku menganggukan kepala, “Oh! Dia… dia gadis piano!”

-.

Porcupine…

Selama ini aku memberontak dengan caraku sendiri: berkata ‘iya’ setiap kali ibu mencangkan perintahnya, tapi tidak pernah melaksanakannya dengan baik. Aku tidak pernah membuat ibu marah karena berani menyahut ucapannya. Yakinlah, orang-orang lebih banyak beranggapan jika aku anak yang manis daripada anak yang nakal.

Aku tidak menyahut saat ibu memarahiku karena berani bolos berlatih biola. Atau ketika ibu menarikku dengan paksa di hadapan Tao dan Chanyeol. Lalu keesokannya ibu mengurungku di kamar saat kedua sahabatku itu datang ke rumah untuk menanyakan keberadaanku. Aku sama sekali tidak mengutuk tindakan ibu dengan kata-kata.

Aku menangis hanya ketika mengetahui jika ibu dan ayah telah resmi bercerai. Sebuah alasan kepergiannya ke Seoul yang ia tutupi dariku semenjak beberapa bulan yang lalu. Aku tidak bisa bersikap biasa-biasa saja, dan seolah-olah kuat menghadapi kenyataan.

Aku tak ubahnya seperti seekor anak landak yang cacat. Tidak bisa menggandeng tangan ibu dan tangan ayahku secara bersamaan lagi. Jika aku berada di suatu tempat bersama ayah, ibuku selalu berada di tempat yang lain. Jika aku kembali pulang bersama ibu, ayahku berbalik badan meninggalkan kami. Sehingga aku merasa, jika situasiku saat itu seperti tengah berjalan di atas jembatan kecil yang oleng, dan aku membutuhkan pasak di sebelah kanan dan kiriku, namun semakin oleng jembatan itu, pasaknya pun semakin goyah. Aku kehilangan satu pegangan setiap akan melangkahkan kaki. Pilihan yang tersisa hanyalah: melanjutkan perjalanan meskipun penuh rasa was-was, atau menjatuhkan diri sendiri jika ingin lebih pintas.

Di sekolah, aku semakin dikenal sebagai anggota trio pembuat onar. Kami sering berkelahi, terutama saat kami berada di kelas empat. Zi Tao menjadi yang paling sering menyulut suasana panas jika sudah berhadapan dengan siswa-siswa sok berkuasa di sekolah. Ia akan maju paling depan di antara kami dan juga menjadi yang pertama kali dipukuli.

Tao adalah biang keladi dari setiap peristiwa runyam yang selalu berakhir di ruang konseling.

Bibi Han adalah yang selalu datang setiap kali mendapat surat panggilan dari sekolah untuk wali. Sebagai pengganti yang sudah mulai sibuk dengan pekerjaannya di sebuah perusahaan properti di Jeonju.

Saat ibu berencana untuk membawaku pindah ke Jeonju, aku menolaknya mentah-mentah tanpa dalih apapun. Cara pemberontakanku saat itu hanyalah dengan melarikan diri ke rumah bibi Han. Bibi Han yang paling bisa mengerti, akhirnya meminta ibu untuk tidak memaksakan kehendaknya dan juga berjanji untuk merawatku selagi ibu bekerja. Dia meyakinkan ibu dengan kata-katanya. “Hyoyoung akan menjadi anak yang penurut jika bersamaku.”

Dan setiap kali ibu pulang, lalu menanyakan bagaimana perkembangan belajarku di sekolah maupun di tempat kursus, bibi Han akan selalu menyampaikan laporan yang berbanding terbalik dengan kenyataan yang terjadi.

Aku percaya tentang keberadaan malaikat yang ditugaskan oleh Tuhan untuk melindungi manusia, semenjak manusia itu lahir di dunia hingga akhir hayatnya. Dan, aku percaya jika malaikat yang Tuhan tugaskan untuk melindungiku ialah bibi Han.

Ibu pulang tepat pada hari pembagian hasil belajar sekaligus pengumuman kenaikan ke kelas lima. Setelah dua bulan disibukan dengan pekerjannya yang mengharuskan ia berada di Busan untuk beberapa waktu. Dan selama itu pula kami tidak bertemu.

Bibi Han yang hari itu masih menjadi waliku di sekolah, mengantarkanku hingga di depan pagar rumah. Aku mendengar suara ibu saat sudah berada di depan pintu dan menemukan sepasang sepatu kulit berwarna hitam di atas rak. Apakah itu sepatu ayah?

Aku melesak ke dapur, lantas mendapati ibuku tengah mengobrol berhadapan dengan seorang laki-laki di meja makan. Dan, ia bukan ayahku.

Orang itu menyadari keberadaanku lantas menyapaku dengan akrab. Seolah-olah kami pernah bertemu sebelumnya. “Hyoyoung, halo! Apa kabar?”

Ibu serta-merta menoleh ke belakang, dan ikut melemparkan pertanyaan, “Kau sudah pulang?”

“Siapa dia?” Bukannya menjawab, aku malah balik melemparkan pertanyaan kepada ibu.

Aku tidak tahu kenapa aku merasa tidak suka dengan kehadiran ‘ahjussi’ aneh itu dan serta merta memvonisnya ‘tidak-baik’. Padahal dia kelihatan ramah. Buktinya, dia menyapaku lebih dahulu. Penampilannya juga tidak menunjukan kalau dia pria jahat. Dia mengenakan stelan yang rapi hari itu: kemaja biru muda dengan celana bahan berwarna hitam. Sebenarnya aku tidak memiliki alasan untuk tidak menyukainya. Tapi, karena ia datang bersama ibu, aku jadi harus memiliki prasangka buruk terhadapnya.

“Dia teman kantor eomma. Ayo, beri salam!”

“Tidak mau!” Aku melihat dengan jelas raut wajah ibu yang berubah seketika setelah aku menolah permintaannya mentah-mentah. “Aku tidak mengenalnya. Kenapa aku harus memberi salam?”

“Hyoyoung ah-”

“Eomma!” Aku menggeser arah pandangku ke wajah ibu yang seketika terlihat menengang di tempat setelah mendengar suaraku yang melengking begitu saja. Sebenarnya, aku pun merasa syok dengan apa yang sudah kulakukan. Tapi, demi Tuhan, aku tidak bisa menahan apapun lagi. Semuanya terjadi secara impulsif. “Jika tujuan eomma hanya untuk mengenalkan seorang teman, akan lebih baik kalau eomma tidak pulang saja.”

“Hyoyoung ah!”

“Aku akan pulang jika ahjussi itu tidak ada lagi.”

Ibu bergegas bangkit. Mencoba menahanku yang segera melarikan diri setelah berhasil melontarkan kalimat yang rasanya seperti bola berduri bara saat masih tersangkut di tenggorokan.

Aku bahkan tidak sempat mengambil alas kaki. Berlari secepat yang kubisa untuk menghindar dari ibu. Aku tidak ingin melihatnya untuk beberapa saat. Yang kuperlukan hanyalah tempat persembunyian yang sepi untuk melarikan diri, lalu memikirkan ulang apa sebenarnya yang terjadi, apa yang baru saja kulihat, dan apa yang baru saja kulakukan.

Demi Tuhan, aku benar-benar tidak bisa menahan apapun lagi. Ibu sudah bertindak diluar toleransi. Aku tidak bisa menerima laki-laki lain yang berada di sisi ibu selain ayah. Sampai kapanpun aku tidak bisa memaafkannya.

Hari itu, lagi-lagi, aku melarikan diri di bawah lindungan pohon oak. Tidak ada siapa-siapa saat itu. Kami memang tidak memiliki janji berkumpul. Karena Chanyeol berencana kembali ke Jeonju selama liburan, sementara Tao, dia akan mengunjungi tempat kakek dari ibunya di Daegu.

Aku terduduk di bawah naungan dahan-dahan pohon oak sendirian. Aku sama sekali tidak bisa melampiaskan kemarahanku dengan berteriak atau memukul-mukul apapun seperti orang kebanyakan. Hanya duduk memeluk lutut dengan tubuh yang bergetar hebat, dan telapak tangan yang mengepal kuat-kuat.

Sampai pandanganku tertumbuk pada seberkas cairan merah yang mengalir di sela jari-jari kakiku, maka saat itu pula aku menyadari bahwa kakiku terluka.

A Letter To Mother…

Tidak menghiraukan panggilan bibi Han yang bersaing dengan suara gedoran pintu dari luar, aku memilih untuk tetap duduk pada posisiku di samping jendela. Sedikit-sedikit aku bisa mendengar suara kecipak saat butiran hujan jatuh pada genangan air di tanah. Langit masih diselaput awan pekat, dan nampaknya belum sama sekali akan menunjukan tanda-tanda bahwa matahari akan muncul hari itu.

Hingga bibi Han sepertinya putus asa sendiri dengan usahanya. Aku tidak mendengar lagi ia memanggil-manggilku setelah kurang lebih lima menit tidak kuacuhkan.

Beberapa saat hening. Aku terdiam masih dengan kepala bersandar pada teralis jendela. Sampai pendengaranku menangkap sesuatu. Untuk sekilas, aku seperti mendengar suara ibu memanggilku agar bergegas berangkat ke tempat kursus.

‘Hyoyoung ah…’

Semuanya terasa nyata. Aku mendengar ibu memanggilku dari arah yang sangat dekat sekali.

Sejenak menerawang, mencari-cari dimana keberadaan ibu sebenarnya. Bibirku bergerak menggumamkan kata ‘eomma’ berkali-kali. Berharap ibu mendengar lantas menghampiriku dengan segera.

Gerakanku terhenti untuk sepersekian detik saat mendengar suara pintu yang berderit. Pemikiran yang tercetus saat itu ialah ibu sudah pulang dari Jeonju. Dengan sigap aku berdiri dan bergegas mendekat kea rah pintu yang terbuka. Kurang lebih lima langkah, saat kakiku terhenti tiba-tiba di tengah-tengah kamar. Mataku tidak menangkap keberadaan ibu, melainkan tubuh tinggi milik seseorang yang sudah sekian lama tidak kulihat. Dia… ayahku.

Beberapa detik kemudian, ayah mengunciku dalam pelukannya yang erat, dan aku pun menangis di dadanya.

Tiga hari setelah pemakaman ibu, aku baru mengunjungi makamnya untuk pertama kali. Hari itu, aku datang bersama ayah, juga ditemani Chanyeol dan Tao yang baru kembali dari liburan mereka. Aku menyikut case biola dan memakai seragam seperti akan berangkat kursus. Aku juga membawakan sebuket bunga seruni untuk ibu—yang kemudian kuletakan di atas nisannya. Lalu kami bersama-sama memberikan penghormatan.

Tidak banyak yang bisa kukatakan. Aku hanya menyapa singkat ibu lalu memberitahunya jika aku ingin berpamitan pergi bersama ayah. Tidak lupa mengucapkan terimakasih atas oleh-oleh yang ibu dari Tokyo. Sebuah buku diary bergambar rilakuma yang rencananya akan ia berikan secara langsung kepadaku jika saja Tuhan tidak mengizinkannya menjadi salah satu korban kecelakaan berantai.

“Eomma. Lewat buku harian ini, aku berjanji akan menceritakan apapun yang kualami. Tentu kita masih bisa mengobrol seperti biasa, kan? Walaupun dengan cara seperti ini, aku yakin eomma tetap akan mendengarnya. Eomma sehat selalu ya di sana. Aku berjanji akan baik-baik saja.”

.

Sebelum berangkat, aku meminta izin kepada ayah untuk mengunjungi kuil bersama Chanyeol dan Tao sebentar. Aku ingin berpamitan dengan pohon oak tua yang selama ini menjadi markas rahasia kami. Sekaligus ingin berterimakasih karena selama ini selalu menyediakan batangnya untuk kami jadikan sandaran. Menyediakan dahan-dahannya untuk memayungi kami saat kami perlu tempat berteduh.

Dan hari itu, aku seperti mendengar pohon oak itu berbicara kepadaku. Dari deru angin yang menggoyangkan ranting dan daun-daunnya, ia menyampaikan satu pesan yang tidak akan pernah kulupakan: sejatinya manusia tidak akan pernah mengerti betapa berharganya apa yang ia miliki sebelum ia benar-benar kehilangannya.

*

A/N:

Aku bingung tentang apa yang harus kulakukan setelah merampungkan cerita ini. Apakah memang akan harus ada versi chapternya atau tuntas sampai di sini doang?

Yups, beberapa waktu yang lalu, aku sudah pernah memposting sebagian cerita ini dengan embel-embel ‘PROLOG’ di sini. Tapi, … sekali lagi, aku bingung. Hahahaha….

Aku sudah punya bayang-bayang bagaimana cerita Trio-Porcupine versi remajanya sebenarnya. Tapi aku nggak tahu bakal mulai dari mana -___- Dan berhubung sekarang aku lagi disibukan dengan bimbel dan persiapan UAN, yasudah, aku posting aja Recusant ini dalam bentuk ONESHOT. Ya, doakan saja semoga nanti setelah UAN, aku bisa lanjutin ceritanya 🙂

Terimakasih sudah baca dan sedia meninggalkan jejaknya di kolom komentar ^^

7 responses to “[ONESHOT] RECUSANT

  1. ffnya bgus author feelnya dpet bkin aku nangis 😥 dan klo bsa bkin sequelnya donk trus itu eommnya hyoyoung mninggal krna apa ?

  2. ya ampun . . Apa ini ?
    Kenapa miris banget kehidupan hyoyoung ? Setelah perceraian ayah ibunya, trus ternyata ibunya meninggal ! Ga kebayang nyeseknya
    Jujur emosiku sempet naik loh pas bc tadi dan parahnya lg aku gk bs nahan utk gk nangis ! Huhuhu~ *cengeng ya aku?* /abaikan/
    Good luck ya UAN nya ^^

Leave a comment