HUNCH [Chapter 4]—vanillaritrin

 

1414394516078Author : vanillaritrin | Genre : Romance, Fantasy, Surrealism | Length : Chaptered | Rating : PG – 17 | Main Cast : Go Nahyun (OC/You), Oh Sehun | Support Cast : Kang Yura (OC), Park Chanyeol, Hong Jonghyun, Huang Zitao, and the others | Poster : pinkfairy

Disclaimer : The plot is mine!

Thank you jungsangneul for beta-ing!

Intro | Ch 1 | Ch 2 | Ch 3

 ~~~

Tajuk kesenangan terukir di bibir Sehun. Kamarnya rapi dan nyaman dipandang mata. Nahyun sudah berangkat ke kampus sekitar sepuluh menit lalu setelah membangunkannya. Yeah, tentu bukan perkara mudah membangunkan Oh Sehun. Tapi nyatanya gadis itu terlalu keras kepala sampai melempar handuk lagi ke wajahnya.

Hei, dia tidak tahu terima kasih! Sehun sudah menyelamatkan hidupnya!

Suara hatinya pupus seketika mengingat sebelumnya Nahyun sudah memperbolehkannya menginap. Bahkan gadis itu mengobati lukanya. Anggap saja ini impas.

Sehun membuka lemari lalu menarik kaus polo hijau keluar. Detik berikutnya dia kembali menatap lemari yang masih didominasi pakaiannya. Apa Nahyun tidak memasukkan pakaiannya ke lemari?

Pandangan Sehun berkeliaran ke arah cermin. Meja rias di depan cermin masih kosong melompong—hanya ada parfum dan segelintir produk perawatannya. Artinya semalam Nahyun merapikan kamar lalu tidur. Dia mungkin sudah terlalu lelah sehabis berlarian kesana kemari.

Dengan kaus polo santai dan celana hitam yang pas di tubuh, Sehun berjalan ke halte bus. Selama perjalanan di bus, Sehun menyumpal telinganya dengan earphone. Dia kemudian mengirim chat Line pada Tao.

Hei, kau dimana? Temani aku ke dealer.

Sebenarnya hampir bisa dipastikan Tao berada di apartemennya. Anak itu jarang masuk kuliah seperti dirinya. Perbedaannya adalah Sehun pergi melanglang buana sedangkan Tao asyik bermain game atau tidur seharian.

Sebuah chat masuk ke ponsel Sehun menyatakan kesediaan Tao. Sehun mengetikkan nama dealer dan letaknya agar Tao menyusul.

~~~

Nahyun menelan ludah gugup melihat Yura sudah duduk di barisan tengah. Persis di depan Yura, Jonghyun sedang sibuk dengan ponselnya. Biasanya Chanyeol datang di detik – detik terakhir namun dia selalu lolos untuk masuk.

“Nahyun-a,” panggil seseorang di belakang Nahyun. Nahyun terkejut sewaktu dirinya berbalik dan mendapati wajah Chanyeol.

Cengiran lebar yang menjadi khasnya terpatri di bibirnya. Di saat seperti ini, Nahyun beruntung memiliki teman yang selalu bahagia seperti Park Chanyeol.

“Kau tidak takut terlambat? Ayo, masuk.” Chanyeol mendorong punggung Nahyun melewati pintu. Beberapa pasang mata tampak mencuri pandang ke arah mereka.

Nahyun menghentikan langkah sewaktu dia sudah berdiri di samping Yura. Yura sepertinya tidak menyadari kehadirannya.

“Yura-ya…”

Tiba – tiba dua tangan kecil Yura menariknya dalam pelukan hangat. Yura tertawa kecil sambil membenamkan wajahnya di bahu Nahyun.

“Aku tidak bisa marah lama, kau tahu?” Yura merenggangkan pelukannya. Dia terkekeh menemukan Nahyun yang belum mau mengangkat kepala.

“Maaf kemarin aku sensitif sekali. Padahal aku sudah tahu sifatmu tapi entah mengapa kemarin aku kesal,” jelas Yura. Dia mengguncangkan bahu Nahyun agar gadis itu bicara.

“Maafkan aku, Ra…”

“Astaga, Nahyun-a. Aku juga bersalah padamu. Jangan sedih begitu, okay?” Yura mengambil napas dalam sebelum menambahkan, “Aku minta maaf, Nahyun-a.”

Kali ini Nahyun yang memeluk Yura terlebih dahulu. Yura balas memeluk sambil menenangkan Nahyun dengan kalimat ‘sudah tidak apa – apa sekarang’.

Jonghyun dan Chanyeol saling melempar senyum. Rasanya Yura dan Nahyun bertengkar adalah peristiwa terburuk yang pernah mereka alami.

“Terima kasih untuk dress-nya!” Yura tersenyum lebar. Nahyun baru pertama kali melihat jenis senyuman itu sepanjang bersahabat dengan Yura. Mata Yura berbinar, rautnya segar, dan wajahnya berseri – seri.

Nahyun mengusap tengkuk canggung, “Yeah, sebenarnya—“

“Jadi kau membelikannya untuk Yura?” Jonghyun memotong. Dia mengirim sinyal mata pada Nahyun untuk tidak memberitahu Yura atau Yura akan kecewa.

Yura menaikkan kedua alis—menunggu kelanjutan perkataan Nahyun.

“Ya, aku membelinya. Kupikir mungkin kalau aku tidak langsung membelinya baju itu bisa diambil orang lain.” Nahyun mengucapkan terima kasih lewat tatapannya pada Jonghyun.

“Sebenarnya aku memang merasa dress itu sangat manis, Ra. Kalau kau memakainya kau pasti dikira boneka.” Nahyun berbicara kelewat semangat.

“Benarkah??”

Yeah, tentu saja.”

Yura kembali memeluk Nahyun dengan setengah berteriak. Separuh isi kelas menatapnya tajam namun dia tidak peduli.

“Artinya kita jadi main ke Daejeon minggu depan?” Chanyeol memutar tubuhnya ke belakang.

“Ah, aku akan memakai dress pemberianmu ke Daejeon!” Yura berkata sambil menangkupkan kedua tangan.

Nahyun dan Jonghyun menanggapinya dengan tawa ringan sedangkan Chanyeol memutar bola matanya.

“Hei, jangan marah lagi. Kau menakutkan, tahu.” Chanyeol mengingatkan Yura mengenai kejadian sebelumnya.

“Kau takut padaku, heh? Bukankah lebih menakutkan ular pantai?”

Chanyeol hendak mengelak dan mendebat Yura atas pertanyaan gadis itu. Sebelum itu terjadi, Dosen Ahn secara tak terduga sudah berdiri di podium kelas dan membuka laptop.

“Siapkan alat tulis kalian. Hari ini kita kuis.”

~~~

Sehun menyesap caramel machiatos favoritnya. Berdasarkan usul dari Tao, dia akhirnya memilih mobil daripada motor. Walaupun pada saat darurat dia tetap membutuhkan motor. Mungkin dia akan membelinya sewaktu kuliah. Menurut Tao, kalau Sehun mencari tingkat keselamatan tentu lebih baik membeli mobil.

“Kenapa tiba – tiba kau membelinya?” Tao—yang duduk di hadapan Sehun—tidak menyentuh minumannya sama sekali.

Sehun merenggangkan otot ke kanan dan kiri kemudian tertawa sambil mengatakan, “Aku hanya ingin.”

“Oh Sehun, aku bukan mengenalmu satu-dua bulan. Kau sedang cemas, ‘kan?” Tao menyedekapkan tangan di dada. Nadanya menghakimi.

Sehun terdiam beberapa detik. “Bukan cemas. Aku… terpaksa membelinya.”

“Terpaksa?” Tao mengorek telinganya—memastikan tak ada yang salah dengan pendengarannya.

Sehun mengangguk kecil.

“Terpaksa karena apa? Hei, memang ada orang yang terpaksa membeli barang mewah? Harta orang tuamu terlalu banyak atau bagaimana?!” omel Tao tidak terima.

“Aku terpaksa karena sekarang bukan hanya diriku yang harus kulindungi.”

“Sekarang bukan hanya—apa?”

Sehun meneguk habis kopinya. Di mata Tao, Sehun menghabiskannya seperti sedang minum alkohol. Rautnya frustrasi. Entah apa yang sedang dipikirkannya.

“Ada seseorang yang harus kulindungi,” Sehun memulai dengan satu helaan napas panjang, “dia sepertinya sedang diincar sekelompok orang jahat. Aku merasa… iba padanya. Dia hanya tinggal sendiri di sebuah flat kecil dan aku takut orang – orang itu akan mengetahui tempat tinggalnya. Jadi aku membawanya ke rumah.”

Tao mendengarkan dengan saksama. Mulutnya separuh terbuka dan matanya tak mengerjap.

“Dia sangat menyebalkan, kau tahu. Dia selalu berkata sinis dan tajam. Dia juga tidak tahu terima kasih. Dia membangunkanku dengan melempar handuk ke wajahku. Hell, wanita mana yang berani melakukan itu padaku?” Sehun menyelipkan tawa di kalimat terakhir.

“Tapi dia pernah menolongku waktu itu. Dia membukakan pintu flat padaku—yang jelas – jelas orang asing—saat aku babak belur karena bertemu para pria bertubuh besar. Dia mengobati lukaku, membuatkan teh hangat, memberikan handuk dan selimut untukku. Yeah, kuanggap ini impas. Dia menolongku dan aku menolongnya. Begitulah.”

Tao baru mengerjap setelah Sehun tidak membuka mulutnya lagi. Sepanjang dia berteman dengan Sehun, inilah kalimat terpanjang yang pernah Sehun utarakan padanya.

“Lalu kau memutuskan membeli mobil agar bisa menjemputnya setiap hari?” Tao menghirup aroma frappucino sebelum minuman tersebut membasahi kerongkongannya.

Sehun mendesah, “Bukan hanya menjemput atau mengantar. Yeah, aku hanya ingin menjaganya sebab sepertinya kelompok itu belum berhenti mencarinya.”

Tao tertegun. Ucapan Sehun terdengar sangat tulus di telinganya dan entah mengapa itu membuat Tao tersentuh. Setiap kata yang terlontar dari kedua belah bibirnya, sorot matanya yang berkilau serta caranya menceritakan gadis itu membuat Tao dapat menyimpulkan satu hal. Tidak dipungkiri Tao sangat bahagia. Walaupun hal itu terjadi pada sahabatnya dan bukan dirinya. Tao merasa air matanya akan jatuh sebentar lagi.

Keheningan melingkupi keduanya dalam jeda waktu. Tao tidak ingin membuat Sehun mengaku atau menyangkal. Tepatnya, dia ingin memancing. Sehingga dugaannya bisa disebut akurat. Dalam benaknya, tersusun beberapa kata yang mulai dirangkai menjadi sebuah kalimat.

“Bolehkah aku bertemu dengannya?” tanya Tao santai. Dia menandaskan frappucino kemudian membersihkan sekitar bibirnya dengan tisu.

“Hm. Nanti kutanyakan kapan dia punya waktu luang. Dia termasuk cukup rajin masuk kuliah,” kekeh Sehun, “dia hanya berbeda jurusan dengan kita, Tao-ya.”

“Benarkah?” Tao tersenyum simpul. Tentu semakin banyak informasi yang diketahuinya.

Derai tawa tergelincir dari bibir Sehun. “Ya.”

Sedalam itukah Sehun mengetahui gadis itu? Mengapa Sehun sampai membeli mobil untuk menjaganya? Mengapa Sehun harus repot menanyakan kapan dia ada waktu kosong? Apa karena gadis itu galak?

Bukan semata – mata karena itu.

Kalau Tao mengatakan hal ini sekarang, Sehun akan menolaknya mentah – mentah. Dia bisa saja melunturkan perasaannya sesegera mungkin agar tetap berpegang pada prinsipnya. Atau dia tidak akan menceritakan tentang gadis itu lagi pada Tao dan memilih menyimpannya sendiri. Jadi saat ini Tao akan memendamnya. Sampai saat yang tepat tiba, Tao akan menyadarkan Sehun dengan semua bukti ini.

Tao menatap Sehun yang sedang sibuk dengan ponselnya. Dia mencermati air muka Sehun yang sangat bersinar hari ini. Tidak pernah ada di kamus Sehun, dia lebih lemah dari wanita. Dia selalu lebih berkuasa atas wanita, selalu melakukan hal seenaknya pada wanita, tidak memedulikan perasaan wanita, berbuat sesuka hati dengan meniduri mereka. Sehun yang Tao kenal selama ini adalah orang yang tidak jelas arah hidupnya, tidak pernah memikirkan hari esok, dan… dia pernah mengatakan bahwa dia tidak akan jatuh cinta.

Tapi apa yang terjadi hari ini adalah dia melanggar kata – katanya sendiri.

Oh Sehun, kau sedang jatuh cinta.

~~~

Nahyun sedang berada dalam bus yang akan membawanya menuju flat ketika ponselnya bergetar. Nomornya tidak dikenal hingga Nahyun tidak mengangkat teleponnya. Sepersekian detik kemudian, sebuah getar pendek membuatnya harus merogoh tas kembali.

Angkat teleponnya. Ini aku, Oh Sehun.

Alhasil dia memegangi ponselnya sepanjang jalan. Bicara tentang Sehun… tunggu. Kenapa dia pulang ke flat?!

“Halo,” sapa Nahyun ketika Sehun menelepon lagi.

“Kau di mana?”

“Ah, aku sedang di bus. Kenapa?” Nahyun berusaha tidak gugup karena salah jurusan. Dia berdiri menekan tombol pemberhentian berikutnya.

“Kau mau dikejar pria – pria itu lagi?”

“Apa?”

“Untuk apa kembali ke flat?”

“Dari mana kau tahu?”

“Kau baru saja menekan tombol pemberhentian, Nona Go. Suaramu panik.”

Nahyun mengentakkan napas kesal sampai nenek di sebelahnya menoleh.

“Ya, aku akan berhenti di halte berikutnya lalu naik bus lain. Ada apa?” Nahyun mencoba tetap tenang meski tingkat kekesalannya hampir mencapai puncak.

“Kau tahu ‘kan kulkasku kosong? Kita harus belanja.”

“Kau saja yang belanja. Itu ‘kan rumahmu.”

Selanjutnya nenek di sebelah Nahyun dan dua pekerja kantoran yang berdiri di dekat Nahyun menatapnya tajam.

“Kau tahu maksudku tidak, sih? Aku ingin kau aman. Kalau aku pergi belanja dan kau di rumah lalu para pria itu—“

“Ya, aku ke sana.”

Sebelum keadaan menjadi lebih kalut, Nahyun memutus sambungan telepon. Dia berdiri dan menunggu di dekat pintu sampai halte berikutnya.

~~~

Segala sumpah serapah sudah Nahyun ucapkan dalam hati untuk Sehun. Gara – gara dia menelepon, beberapa penumpang seperti mengusirnya dari dalam bus. Siapa suruh Sehun mengajaknya berdebat di telepon? Ternyata Sehun sangat menyebalkan.

“Nona Go,” Sehun tiba – tiba muncul dan berdiri di samping Nahyun, “kau tidak sopan sekali menutup teleponku duluan.”

“Kalau tidak kututup kau tidak akan berhenti meracau, Tuan Oh.” Nahyun melempar tatapan menusuk pada Sehun.

Sehun berdecih, “Sudahlah. Aku lelah berdebat denganmu. Dasar keras kepala.”

“Kau bilang apa? Hei!”

Sehun membawanya masuk ke dalam hypermart sebelum gadis itu bicara panjang lebar. Dia menggenggam tangan Nahyun sampai menemukan troli. Dia mendorong troli sambil mengarahkan Nahyun mengambil keperluan sehari – hari.

Sehun mengamati Nahyun yang sedang memasukkan kornet sapi dan kentang beku ke dalam troli. Waktu – waktu bersama Nahyun selalu terasa menyenangkan dan menjadi sangat cepat dilalui. Tiba – tiba dia harus menghadapi kenyataan bahwa hari sudah pagi—yang artinya Nahyun akan melempar handuk ke wajahnya kemudian berangkat kuliah.

“Makaroni?” Nahyun menggerakkan kotak makaroni di tangannya. Sehun mengangguk dan dalam sekejap kotak itu telah menjadi satu dengan barang – barang di troli.

Mereka menyusuri satu persatu koridor dengan santai. Nahyun selalu mendapati sesuatu yang bisa diambil di setiap rak. Sehun sendiri lupa sudah berapa lama dia tidak berbelanja dengan seorang gadis sehingga lupa dengan kebiasaan mereka. Mereka akan mengambil apa saja di setiap bagian yang dikunjungi.

“Biasanya kau membeli makanan kecil apa?” Nahyun membalikkan tubuh menghadap Sehun. Dia selalu berjalan di depan dan mengambil barang yang diperintahkan Sehun.

“Biskuit, wafer, snack bungkus besar. Eum… kue kering?” Sehun mengernyit saat Nahyun memasukkan semua yang disebut Sehun ke dalam troli.

“Kau mau membuatku bangkrut, ya?”

Nahyun menoleh. “Ini persediaanmu, Tuan Oh.”

“Aku tidak pernah belanja sebanyak ini. Hei, lihat ke sini. Dari tadi kau hanya memasukkan barang – barang ke troli.” Sehun menunjuk troli yang hampir penuh.

Nahyun memegang besi troli tidak sabar. “Pantas persediaanmu sudah habis sebelum akhir bulan. Ini persediaan sebulan. Lihat, apa yang tidak kumasukkan? Makanan beku, makanan ringan, ikan fillet, ayam, makanan laut—“

“Ya, lihat apa yang tidak kau masukkan. Kau memasukkan semuanya.Se-mu-a-nya,” Sehun menyela dengan tegas.

“Kalau begitu aku akan kembalikan semuanya. Se-mu-a-nya.” Nahyun hendak mengambil isi paling atas troli namun tangan Sehun menahannya.

Ada yang aneh.

Tangan Nahyun seakan tersengat listrik sewaktu kulitnya dan Sehun bersentuhan. Padahal mereka baru saja bertengkar tapi begitu tangan Sehun yang dingin berada di atas tangannya, seketika kekesalannya pergi ditiup angin malam.

“Kita sudah dekat kasir. Ayo, jalan. Supaya kita cepat pulang.”

Setelah antrean yang tidak terlalu panjang—karena ini pertengahan bulan jadi tidak terlampau panjang—dan dua gelas bubble tea, Sehun dan Nahyun membagi kantong belanja untuk dibawa. Sehun berjalan ke area parkir lebih dulu diikuti Nahyun. Walau bingung, Nahyun tidak banyak protes karena bawaannya yang cukup berat membuatnya agak kesulitan bernapas.

Juga sepertinya ini efek sentuhan Sehun tadi.

Nahyun menggeleng kuat. Dia tidak boleh memikirkan hal aneh – aneh.

Nahyun termangu ketika Sehun membuka kunci sebuah mobil sedan biru dongker. Dia membuka bagasi lalu memasukkan kantong belanja yang dibawanya ke sana.

“Sampai kapan kau mau berdiri di sana? Bawa kemari lalu masuk,” ujar Sehun. Nahyun sedikit menunduk lalu meletakkan kantong belanjanya berjejeran dengan yang dibawa Sehun tadi.

Sepanjang perjalanan menuju rumah Sehun, Nahyun tidak banyak bicara. Terlalu banyak pertanyaan mengenai Sehun di benaknya. Sehun sangat misterius. Bagaimana bisa dia punya rumah atap dan mobil? Dia kuliah, belanja sebanyak ini. Kalau dia mempunyai bisnis tertentu, bisnis apa yang bisa dihasilkan sambil kuliah? Toko online? Atau dia punya toko di Myeongdong atau punya pabrik garmen di Dongdaemun?

“Hei, aku mau tanya sesuatu.” Nahyun akhirnya memberanikan diri bicara ketika mereka hampir sampai.

Sehun menunggu kelanjutan ucapan Nahyun.

“Kau menjual narkoba, ya?”

Sehun menginjak rem mendadak. Hal itu membuat kepala Nahyun nyaris membentur jendela andai dia tidak memakai sabuk pengaman.

“Kau sudah gila, huh?” Nahyun mengusap – usap kepala.

“Kau yang gila! Kalau tidak tahu apa – apa, diam saja!” Sehun tidak mau kalah berteriak.

“Kalau begitu beritahu aku apa pekerjaanmu!” balas Nahyun namun sedetik kemudian dia menyesal karena raut Sehun berubah muram.

“Ma-maksudku, aku tidak akan komentar apapun. Pekerjaan apapun menurutku baik asal dijalani dengan tulus. Aku juga tidak suka menilai orang dari pekerjaannya,” ralat Nahyun sambil menggigit bibir bawahnya. Sehun mungkin tersinggung dengan ucapannya barusan.

Sehun mengembuskan napas panjang. “Bukankah sudah kubilang aku tidak bisa memberitahumu? Aku tidak bisa memberitahu mengenai diriku. Kau bisa menilaiku dari luar tapi aku tidak akan memberitahu apapun mengenai diriku.”

“Dan… aku tidak menjual narkoba atau barang terlarang lainnya,” tandas Sehun sebelum mereka melanjutkan perjalanan yang tinggal sedikit menuju rumah atap.

~~~

Menu makan malam kali ini adalah sup krim ayam. Nahyun hanya mengambil pilihan sederhana sebab tidak ingin berlama – lama di dapur. Dia ingin segera masuk ke kamar sambil memikirkan kemana dia harus pindah.

Yeah, Sehun tidak mungkin terus menampungnya di sini, bukan? Dia punya privasi dan mengatakan secara tidak langsung bahwa dia tidak ingin hidupnya diganggu. Nahyun tersenyum miris. Dia memang bukan siapa – siapa dan tidak seharusnya menanyakan hal tersebut.

Seusai makan malam, Sehun beranjak ke sofa. Nahyun semakin tidak enak hati membiarkan tuan rumah tidur di sofa sementara dirinya di kasur empuk. Sehun juga tidak mengajaknya bicara sedikitpun. Nahyun jadi semakin merasa bersalah.

Mungkin besok Nahyun akan menulis surat permintaan maaf sekaligus mengucapkan terima kasih karena sudah rela mengizinkannya menginap.

Di sisi lain, Sehun sedang bertempur dengan egonya. Dia ingin menceritakan sedikit kehidupannya pada Nahyun. Nahyun sudah pernah memergokinya menghilangkan orang lain. Nahyun pantas untuk tahu namun Sehun bimbang. Kasus Nahyun berbeda dengan kebanyakan orang dan dia masih tidak tahu hukumnya.

Sehun menarik selimut sampai dada sebelum memejamkan mata. Dia mengepal tangan—merasakan dingin di jemarinya. Sebentar lagi waktunya tiba.

~~~

“AAAAAAAAAAAA!!!”

“Diam atau pisau ini akan menancap di lehermu!”

“Jangan lukai istriku! Lepaskan dia!”

“Diam kau!”

EommaAppa…”

“Diam kau, anak kecil!”

Eonni…”

“Bocah tengik! Kau berisik sekali!”

“Cepat habisi mereka!”

“JANGAAAAAN!”

Suara melengking seorang wanita membuat mata Nahyun terbuka cepat. Keringat dingin membasahi pelipis dan lehernya. Dia mengubah posisi menjadi duduk. Napasnya pendek dan tipis seolah baru melewati jurang antara hidup dan mati.

“Nahyun! Nahyun!” Suara Sehun terdengar dari balik pintu.

Nahyun tak menjawab. Dia tak bisa membuka mulutnya. Bahkan sesudah Sehun membuka pintu dan duduk di tepi ranjang, Nahyun tidak mengatakan apapun.

“Kau bermimpi buruk?”

Baru saja Sehun menarik napas, suara teriakan seorang wanita pecah di udara. Mata Nahyun membesar. Mulutnya terbuka untuk mengambil oksigen lebih banyak.

Sehun memutar kepala ke belakang kemudian menatap Nahyun. “Aku mau memeriksa keadaan. Kunci pintunya dan jangan keluar sampai aku kembali. Mengerti?”

Nahyun masih dapat mengangguk kecil. Sehun melesat keluar dari kamar disusul Nahyun yang langsung mengunci pintu.

Apa dia bisa disebut peramal? Mengapa keadaannya selalu sama belakangan ini? Apa yang terjadi padanya?

Dua kali teriakan. Artinya kejadian itu sudah berlangsung sewaktu Nahyun masih bermimpi. Tidak, dia bukan peramal. Dia seolah melihat langsung kejadian ini dalam mimpinya, bukan memimpikannya sebelum peristiwa ini terjadi.

Nahyun mendengar gelak tawa dari rumah tetangganya. Suaranya familiar. Juga sepertinya itu bukan tawa dari satu orang. Ada sekitar empat atau lima orang yang tertawa bersamaan.

Tunggu.

Mereka bukan para pria gempal, bukan?

Nahyun memeluk dirinya sendiri sambil berjalan mondar – mandir di depan pintu rumah Sehun. Dia sudah bertekad jika Sehun tidak kembali dalam lima menit, dia akan keluar. Dia akan meminta bantuan orang lain.

Pikiran Nahyun seperti benang kusut sewaktu potongan kejadian mimpi – mimpi buruknya hadir. Saat dia bermimpi pergelangannya dicengkeram, bermimpi seseorang hampir mencelakai Bibi Geum sampai tetangga Sehun yang dalam bahaya.

Mengapa sekarang mimpi dan kenyataannya bercampur aduk?

Derap langkah seseorang menyirnakan semua pikiran Nahyun. Nahyun yang kalut segera mencari sesuatu yang bisa dijadikan senjata. Matanya menangkap tongkat baseball di sudut ruangan. Segera diambilnya tongkat tersebut dan disembunyikan di belakang tubuh.

“Nahyun, buka pintunya.”

Nahyun bersiap di samping pintu. Dia membuka kunci perlahan. Tongkat baseball siap diayunkan bila ini hanya jebakan.

Sehun muncul dan langsung mengunci pintu dengan slot atas dan bawah. Dia menunjuk kedua slot tersebut bergantian sambil menegaskan pada Nahyun.

“Kau harus menguncinya seperti ini kalau aku tidak ada di rumah. Jangan sembarangan membuka pintu pada orang lain.”

Tongkat baseball di tangan Nahyun terjatuh. Dia mengikuti Sehun ke dapur dengan lunglai. Nahyun tidak bisa berkata apapun, lidahnya begitu kelu. Sehun sudah agak tenang setelah menenggak beberapa gelas air putih.

“Pria – pria yang mengejarmu,” Sehun meneguk air liurnya, “salah satu dari mereka sudah gila. Tiga orang lainnya mengancam untuk membunuh keluarga Nam. Aku tidak memerhatikan apa mereka mencuri atau tidak. Saat aku sampai, keempat pria itu sudah menodongkan pisau di leher setiap anggota keluarga. Selang beberapa lama, polisi datang. Sepertinya tetangga lain menelepon polisi.”

Kepala Nahyun terjatuh. Dia bingung. Ingin dia mengatakan apa yang dirasakannya akhir – akhir ini namun kata – kata itu tertahan di ujung lidah.

“Tidurlah.” Sehun berlalu dari hadapan Nahyun sambil menyeka keringat. Dia menjatuhkan diri ke sofa.

Meski Nahyun berbaring di ranjang yang empuk, dia tidak bisa begitu saja melupakan kejadian tadi. Dia masih terus memikirkan peristiwa – peristiwa aneh yang terjadi pada hidupnya belakangan ini. Apa dia terlalu shock hingga tidak bisa bersuara ketika berhadapan dengan Sehun?

Pada saat yang sama dengan semua pikiran tumpang tindih Nahyun, Sehun mengintip kamarnya. Dia mendapati Nahyun begitu gelisah dan belum tidur. Nahyun pasti sulit tidur setelah mimpi buruk dan kejadian tadi.

Nahyun menatap Sehun dari kejauhan. Dia tidak tahu bagaimana rautnya sekarang sampai Sehun akhirnya masuk. Sehun berjalan dan terus mendekat pada Nahyun. Dia duduk di sisi ranjang seraya memerhatikan Nahyun dengan pandangan yang sulit diartikan.

“Belum bisa tidur, hm?” Sehun menilik gurat kekhawatiran yang belum pergi dari wajah Nahyun. Tapi gadis itu sangat hebat. Dia tidak menangis sesudah kejadian buruk di rumah tetangganya.

Nahyun menjawab dengan helaan napas.

Sehun memutuskan untuk masuk ke dalam selimut kemudian memutar tubuh Nahyun menghadapnya. Dia menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajah Nahyun lalu mengeliminasi jarak di antara mereka dengan sebuah dekapan.

“Semua sudah baik – baik saja. Tidurlah dengan tenang.” Sehun mengusap lembut punggung Nahyun.

Nahyun bergeming. Sehun menarik kepala Nahyun hingga terbenam di dadanya.

“Aku di sini. Tidurlah.” Sehun menyandarkan dagunya di puncak kepala Nahyun. Dia mengusap punggung Nahyun hingga tubuh gadis itu terasa lebih berat—pertanda Nahyun sudah terlelap.

~~~

Nahyun bangun dalam dekapan Sehun yang menenteramkan. Dia sempat mendongak dan mendapati ketenangan di wajah Sehun. Hari ini Nahyun tidak akan membangunkan Sehun dengan melempar handuk ke wajahnya. Dia membiarkan Sehun tidur setelah kejadian yang membuat jantung mereka mendapat terapi alami.

Tanpa sepengetahuan Nahyun, semalam Sehun meninggalkannya beberapa jam. Dia menjalankan tugas sehingga suhu tubuhnya kembali normal. Nahyun tampak damai dan tak berdosa dalam tidurnya. Bahkan sampai Sehun kembali dari tugas, aura positif Nahyun membuat Sehun ingin selalu melindunginya.

Sehun membayar jam tidurnya yang terpotong tugas dengan tidur lebih lama. Tidak peduli jika Nahyun melempar handuk ke wajahnya lagi, Sehun tidak akan bangun. Mungkin nanti Nahyun panik karena dia seperti orang mati. Tapi Nahyun bisa memeriksa denyut nadinya jadi tidak masalah.

“Sehun, aku berangkat.” Nahyun mengguncangkan lengan Sehun.

Tidak ada jawaban.

“Aku sudah buat sarapan.” Nahyun beranjak dari tempat tidur. Dia melirik koper kecil cokelatnya di sudut kamar namun diurungkan niatnya untuk pergi sekarang. Nahyun ingin berpamitan pada Sehun sekaligus mengucapkan terima kasih setelah pulang kuliah.

Sekalipun Sehun sangat menyebalkan dan misterius, dia sudah menolong Nahyun. Dia bahkan menenangkan Nahyun semalam. Pelukannya mengusir mimpi buruk Nahyun hingga dia tidur nyenyak.

Di sisi lain, ada satu bagian dari diri Sehun yang tidak memperbolehkan siapapun untuk menyentuhnya. Dia mengesampingkan bagian itu ke tempat tersendiri. Bagian itu tidak boleh dijamah oleh orang lain. Dia sudah memasang garis pembatas sejauh apa orang lain boleh mengetahui tentang dirinya dan sekiranya Nahyun cukup pandai dalam membaca maksud tersebut.

Dan entah mengapa itu menyakitkan.

Nahyun tahu Sehun berniat baik. Sepertinya ada yang salah dalam dirinya sejak Sehun menciumnya waktu itu. Dia ingin mengetahui Sehun lebih dalam, ingin memahami kehidupannya serta bagian hitam dirinya yang disimpan rapi di sudut kecil hatinya. Dan kata – kata Sehun kemarin sudah cukup menjadi sebuah penolakan baginya.

Mungkin memang tidak seharusnya dia mencampuri hidup Sehun.

Sehun memintanya untuk berpura – pura tidak melihat yang Sehun lakukan dua kali di depan matanya. Seolah Sehun tidak ingin berurusan lagi dengan Nahyun setelah ini. Maka dia harus berterima kasih atas pertolongan yang Sehun berikan beberapa hari terakhir sekaligus mengucapkan salam perpisahan. Ya, itulah yang harus dia lakukan.

~~~

Dengan mulut penuh suapan terakhir nasi goreng Nahyun, Sehun menatap nanar kamarnya. Bukan, kali ini kamarnya masih terbilang cukup rapi selama Sehun berada di rumah. Koper di sudut ruanganlah yang membuat Sehun menaikkan sebelah alis.

Nahyun sama sekali tidak memasukkan pakaiannya ke lemari. Oh, apa dia tidak mau berbagi lemari dengan Sehun? Sehun rasa tidak masalah mengingat pakaiannya tidak terlalu banyak. Masih banyak ruang kosong di lemari.

Selagi mengguyur kepalanya dengan air dingin, Sehun mulai menimbang – nimbang untuk memberitahu Nahyun sedikit perihal dirinya. Sehun tidak pernah memikirkan ini sebelumnya namun Nahyun telah mengetahui rahasia terbesarnya—meski Nahyun belum mengerti korelasi peristiwa itu dengan rahasianya.

Sehun mengamati pantulan dirinya di cermin. Dia mengancing kemejanya dan menyisakan dua kancing teratas terbuka. Rambutnya diacak sedikit setelah sebelumnya disisir—menguatkan kesan bad boy pada dirinya.

Sehun memastikan keadaan rumah aman sebelum mengunci pintunya.

~~~

“Kita mau kemana hari ini?” Chanyeol bertanya dengan senyuman lebar. Dia menatap Nahyun, Jonghyun, dan Yura bergantian.

Yura sibuk menjejalkan alat tulis dan catatan ke dalam tas. Menjelang ujian tengah semester, dia harus merapikan semua catatannya agar mempermudahnya belajar. Jonghyun memilah beberapa catatan Yura untuk dibawa pulang lalu disalin. Nahyun membalas senyuman Chanyeol dengan memasang ekspresi enggan.

“Tidak mau makan kue?” goda Chanyeol pada Yura. Biasanya radar gadis itu akan menyala begitu mendengar kata kue.

“Kau tidak mau belajar untuk ujian, hah? Aku mau langsung pulang,” Yura berkata sembari menggelengkan kepala.

“Ra, aku pinjam ini.” Jonghyun merapikan setumpuk kertas di tangannya. Dia memasukkannya ke dalam tas dengan hati – hati.

Chanyeol memutar bola matanya. “Berarti rencana kita ke Daejeon harus ditunda? Tidak jadi akhir minggu depan karena masih ujian?”

Jonghyun terdiam beberapa detik. “Tidak apa. Aku akan memberitahu bibi kalau waktunya sudah dekat dan pasti.”

“Sesudah ujian, okay?” Yura berdiri di tempat.

“Padahal aku sudah berencana bolos tiga hari,” Chanyeol mengangkat bahu tak acuh,” kalau begitu kita harus menginap! Ini konsekuensi dari batalnya rencana minggu depan!”

“Memangnya kita yang mengatur jadwal ujian? Ini juga bukan kemauan kita, Tuan Park. Kalau mengikuti kemauan, aku juga ingin minggu depan!” Yura menanggapinya dengan tidak santai.

“Hei, hei. Kenapa kalian bertengkar?” Jonghyun menengahi. Dia menatap Nahyun sekilas—yang sedang duduk menopang dagu dengan pandangan kosong.

“Chanyeol tidak menyalahkanmu atau siapapun karena minggu depan ujian, Ra. Dia hanya ingin mengobati kekecewaan karena agenda minggu depan batal,” jelas Jonghyun.

Air muka Yura masih terlihat kesal dan tidak mengalah sedikitpun.

“Lagipula aku memang berencana menginap. Tapi kalau kita berempat menginap, tidak bisa di rumah bibiku. Mungkin kita bisa cari penginapan atau kalau ternyata menyewa lebih murah, kita bisa menyewa rumah kecil di sekitar sana,” saran Jonghyun.

Wajah Yura yang tadinya merengut kini berangsur – angsur tenang.

“Ide bagus, Jonghyun-a.” Chanyeol menepuk pundak Jonghyun.

Yura berdehem kecil. “Ya, boleh juga.”

Giliran semua mata tertuju pada Nahyun yang sedari tadi tampak tidak fokus.

“Nahyun-a, kau baik – baik saja?” tanya Jonghyun lembut.

Nahyun seketika tersadar. “Uhm…yeah, aku baik – baik saja.”

“Ada yang kau pikirkan?” Chanyeol sedikit khawatir karena Nahyun sering melamun akhir – akhir ini.

“Ah, tidak. Aku hanya sedang memikirkan ujian,” Nahyun berbohong. Yeah, pikirannya sangat berkecamuk belakangan. Dia bahkan merasa dunianya akan runtuh sebentar lagi.

Dengan semua keanehan yang terjadi padanya—dan semalam adalah yang terparah—Nahyun terus memikirkan apa yang salah darinya. Mengapa kehidupannya yang semula berada pada jalurnya menjadi berantakan? Pria – pria gempal, mimpi buruk, dan penolakan Sehun. Semua menjadi satu hingga dia lupa ujian sudah dekat.

“Kau mau pinjam catatanku?” Yura menawarkan. Nahyun belum menjawab apapun ketika Yura menyodorkan satu bundel catatannya.

“Tapi belum kurapikan. Kalau ada yang tidak kau mengerti, tanyakan saja.” Yura menggerakkan sebundel kertas di tangannya. Nahyun memasukkannya ke dalam tas dengan gerakan lamban.

Yura menggandeng Nahyun keluar dari kelas bersamaan dengan siswa lain yang menghambur ke dalam kelas. Mereka sempat menabrak beberapa orang hingga berhasil keluar dengan selamat.

Chanyeol dan Jonghyun sudah berada di luar. Mereka berjalan beriringan menuju gerbang kampus. Sesekali Yura mengeluarkan gurauan dan sedikit banyak sukses membuat ketiga temannya tertawa. Yeah, Yura tidak pernah lama dalam urusan marah.

Langkah Nahyun dan Yura berhenti serempak sewaktu mata mereka terpaut pada sesosok pria. Pria tersebut sedang berjalan dari arah berlawanan. Jonghyun dan Chanyeol yang melihat kedua gadis itu mematung turut menghentikan langkah.

“Ada apa?” Tatap Jonghyun heran pada kedua gadis itu. Mereka tak menjawab hingga sebuah suara lain terdengar jelas.

“Ayo, kita pu—”

“Kita mau minum kopi, ya? Ah, aku lupa membayar traktiranmu waktu itu. Ayo, pergi sekarang.” Nahyun menginterupsi sebelum Sehun menyelesaikan kalimatnya. Dia mendorong tubuh Sehun lalu tersenyum kaku pada teman – temannya.

“Aku pulang duluan, teman – teman. Hati – hati di jalan!” Nahyun melambai sambil menjauhi ketiga temannya. Sehun berjalan di sebelahnya dan mereka kelihatan bertengkar kecil.

Yura dan Jonghyun masih terpaku saat Chanyeol buka suara. Suaranya dilanda keterkejutan besar, begitupun ekspresinya.

“Dia… Oh Sehun, ‘kan?”

~~~

Sesekali Sehun melirik spion dalam yang merefleksikan diri Nahyun. Posisi gadis itu masih sama—menatap hampa keluar jendela. Ketika lampu lalu lintas berubah warna menjadi merah, Sehun menarik rem tangan. Kerlipan lampu kota kian menyemarakkan suasana Seoul malam ini. Layar – layar besar terpampang di gedung tinggi. Begitu banyak orang menyeberang dari satu sisi ke sisi lain jalan. Malam ini sangat ramai. Mungkin karena ini akhir minggu.

Tanpa manusia ketahui, kota ini mempunyai satu sudut yang gelap. Bagian yang luput, bagian yang terlupakan dari satu kehidupan yang utuh. Mereka tidak ingat bahwa di setiap cahaya yang berpendar, terdapat satu kegelapan yang abadi. Sebanyak kebahagiaan yang mereka bagi dan wariskan, sebanyak itu pula kesedihan dan penderitaan berkembang di tengah mereka.

Hanya saja manusia seringkali melupakan bagian itu.

Dan betapa tidak beruntungnya gadis di samping Oh Sehun ini. Dia menyaksikan kepahitan hidup diantara pekatnya malam, dua kali.

“Jangan bicara seperti itu di depan mereka. Nanti mereka mengira yang tidak – tidak,” ucap Nahyun memukul telak kesunyian. Dia enggan mempertemukan matanya dengan Sehun dan memilih memerhatikan pedestrian di sebelahnya.

“Siapa?” Sehun bertanya dengan nada datar.

“Teman – temanku,” Nahyun mendesah, “mereka akan mengira kita tinggal bersama atau semacamnya.”

Bicara soal tinggal bersama, Sehun teringat sesuatu yang berlarian di kepalanya sedari tadi.

“Kenapa tidak merapikan barang – barangmu? Kau mau kabur, ya?” Sehun berusaha mengatakannya dengan tidak peduli namun akhirnya terkesan menuduh.

Nahyun terkesiap. Dia menjatuhkan wajah sambil memilin ujung kardigannya.

“Sehun,” Nahyun mengembuskan napas berat, “terima kasih atas semua pertolongan yang kau berikan. Kau menyelamatkanku dari kejaran pria – pria itu, membawaku ke rumahmu, mengizinkanku tinggal di sana hingga… menenangkanku semalam. Aku sangat berterima kasih padamu.”

Sehun menopang kepalanya dengan tangan yang disandarkan pada jendela.

“Tapi aku tidak mungkin merepotkanmu terus. Kau punya privasi, punya duniamu sendiri, punya hidupmu sendiri… dan aku tidak ingin menyampuri urusanmu lebih jauh. Kurasa sudah cukup aku lancang selama ini. Maaf kalau aku sempat membuatmu tersinggung,” tambahnya.

“Jadi malam ini… kuputuskan untuk mencari tempat tinggal lain. Aku akan pindah. Dan kau bisa melanjutkan hidupmu lagi tanpa diganggu olehku,” Nahyun mengakhiri dengan suara nyaris berbisik.

Hening beberapa saat. Sehun semakin bingung dengan situasi ini. Dia ingin menahan Nahyun tapi tak ada alasan untuk menahannya. Semua alasan Nahyun tak dapat dibantah, semua dapat diterima akal sehat.

“Kau mau pindah ke mana?” Suara Sehun melemah. Mobilnya sudah melaju kembali setelah lampu hijau menyala.

Nahyun menggigit bibir bawah ragu. “Aku bisa sewa flat baru. Atau mungkin tinggal berdua dengan Bibi Geum.”

“Siapa Bibi Geum?”

“Tetanggaku di flat dulu. Flat-nya tepat di depanku. Aku cukup dekat dengannya.”

Sehun menghela napas bimbang. “Berapa umur Bibi Geum?”

Nahyun mengira – ngira dalam hati. Dia sendiri tidak tahu tepatnya tahun lahir Bibi Geum. Mungkin seumur ibunya? Tidak, sepertinya lebih tua dari ibunya.

“Sekitar… pertengahan empat puluh.”

Sehun diam. Nahyun diam. Keduanya berpikir keras.

“Apa yang bisa dilakukan seorang gadis dan bibi berumur 45 tahun di flat ketika ada orang jahat mendobrak masuk?” Sehun menepikan mobil di bahu jalan.

Nahyun sontak menoleh pada Sehun. “Kau meragukanku? Bibi Geum wanita yang kuat, kau tahu!”

“Sekuat apa wanita dibanding pria?” Sehun tidak bermaksud meremehkan namun yang didengar Nahyun justru sebaliknya.

“Kau pikir kami hanya makhluk lemah yang tidak bisa melawan, begitu? Aku bisa menggunakan senjata tajam! Di dapur Bibi Geum ada pisau, gunting, cutter, dan benda lainnya! Kau pikir kami tidak bisa melakukan apapun, huh?!”

Sehun mengusap wajahnya. Nahyun sudah terlalu jauh salah paham disini.

“Go Nahyun, tinggallah di rumahku.”

Nahyun mematung. Matanya berada dalam satu garis lurus dengan mata Sehun tanpa penghalang. Nahyun bisa melihat kejujuran di bola matanya saat Sehun berkata,

“Aku ingin memastikan kau aman oleh diriku sendiri. Aku ingin bisa memeriksa keadaanmu langsung. Aku ingin kau berada di sekitarku agar aku bisa mengawasimu. Tidak ada yang bisa menjamin para pria itu tidak akan mengganggumu lagi. Mereka bisa kembali kapan saja. Atau jenis kejahatan lain yang beredar belakangan ini. Sangat mengerikan dan aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu.”

Nahyun membasahi tenggorokannya dengan saliva sebelum mengembalikan tubuh pada posisi awal. Saat ini memang hanya dengan Sehunlah dia aman. Namun jika Sehun terus menarik garis pembatas, Nahyun tidak tahu akan sehancur apa dirinya. Itulah hal terbesar yang memberatkannya untuk tinggal di rumah Sehun.

“Bisa kita pulang sekarang?” Sehun meminta konfirmasi Nahyun.

“Ada banyak hal yang ingin—”

“Aku tahu. Bisakah kita pulang dulu?” potong Sehun to the point.

Satu anggukan dari Nahyun dan mereka melanjutkan perjalanan menuju rumah Sehun.

~~~

Usai merapikan pakaian ke lemari dan mengisi meja rias Sehun dengan produk perawatan miliknya, Nahyun membuat burger dan menggoreng kentang. Dia membawa makanan itu ke depan televisi—tepatnya ke sebuah sofa panjang tempat Sehun biasa tidur. Sehun menyambut dengan senyuman lebar kemudian Nahyun duduk di sampingnya.

Sehun asyik dengan film action yang tengah bermain di televisi juga burger dan kentangnya. Nahyun melahap habis burger-nya dan sedikit mengambil kentang. Pikirannya melambung jauh. Dia sibuk menyusun beberapa pertanyaan yang akan diajukan pada Sehun. Di tengah kekisruhan pertanyaan dalam benaknya, satu hal cukup mengusiknya.

Kalau memang dia akan tinggal di sini dalam waktu lama, apa itu artinya Sehun harus tidur di sofa selama itu?

Nahyun mencuri pandang ke arah Sehun yang sedang tertawa karena bagian komedi dalam film itu. Sehun baru saja memasukkan kentang ke mulutnya. Dia terlihat tanpa beban pada saat seperti ini.

Tanpa Nahyun ketahui, Sehun sedang mempersiapkan diri untuk menjawab pertanyaan beruntunnya selagi menonton. Dia sudah pernah menonton Pirates of Caribbean seri Heart of Davy Jones sebelumnya jadi pikirannya tidak terlalu fokus ke sana. Nahyun pasti akan menanyakan pertanyaan – pertanyaan mendasar tentang dirinya.

Tak terasa film yang ditonton telah beranjak ke credit title. Sehun mengucek mata sedangkan Nahyun membawa piring kotor ke bak cuci piring. Dia meyucinya dengan cepat kemudian beranjak ke kamar.

Sebelum Nahyun membuka pintu kamar, dia berjalan sedikit menuju sofa tempat Sehun tidur.

“Sehun,” Nahyun mengguncang lengan Sehun, “tidur di kamar saja.”

TBC

Note:

HAAAIIIII 😀 aku cepetin postnya soalnya kmrn chap 3 ngaret banget, jadi ini buat menebus dosa ehehe

THANK YOUUU FOR UP TO 100 COMMENTS! :’’’’) Uhuhu makasi juga buat clicknya sampe hunch masuk top post. Thank you endlessly :’’’’)

Aku mau ngerangkum jawaban komen kalian dari intro. Jadi ada yg bilang ini mirip code breaker, black butler sama ghost rider yaa (maaf kalo ada yg blm kesebut, nanti aku baca lagi komen2nya yaa). Aku sbnrnya gatau soal tiga cerita itu tapi code breaker aku udah tanya2 sama anime freak dan lumayan dapet ceritanya. Ghost Rider aku blm tanya, udah sempet googling tapi blm dapet… ada yg mau ceritain plotnya? 😀 Terus ichigo di bleach ngusir roh jahat yaah? Wah kalian kaya sekali imajinasinya! XD Kalo Black Butler aku nemu versi sehunnya! Yang mau liat klik di sini dan di sini (twoshots). Yg mau liat surealis juga itu salah satu contohnya yaa! Jadi aku paling tau cerita itu di antara yg tiga ini. Terus kalian juga nyebutin plotnya jadi aku ngerti hehe sebastian kan?

Kalian bisa banget sih nebak sehun siapa…. next chapter yaa! Ehehe aku sengaja emang blm buka di chapter 3, sehun sendiri masih bimbang kan. Jadi pelan2 yaa. Ohya soal manipulasi waktu BENAR SEKALI. Nanti diliat lagi aja soal manipulasi waktunya hehe

Ada beberapa yang nanya sikap nahyun, kenapa dia masih berani buka pintu buat sehun. Liat aja nahyun orangnya gimana, walaupun dia takut dia ga menunjukkan ketakutannya. Dia cenderung cuek, ga terlalu peduli sama sekitarnya. Dan pas sehun datang berdarah2 bisa dibilang sisi perempuannya keluar. Jadi dia lebih ngerasa kasihan. Sisanya silakan analisis sendiri kenapa bisa gitu yaa. Kalian cerdas2 kok, kalian teliti. Next chap mudah2an bisa lebih ngerti lagi kenapa nahyun bisa begitu 😀

Ohya di chapter2 tengah aku gabakal nunjukin terus proses ‘ngilangin orang’ soalnya sama aja, nanti kalian bosen. Jadi mungkin tanda2nya aja sama mungkin kalian liat sehun lebih manusiawi wkwk

You all are the best! <3333333

Love,

vanillaritrin ❤

P.S : Pemantik itu kayak yang ada di kompor gas. Kalo kalian nyalain kompor gas itu pake pemantik. Tapi maksud aku di sini korek api gas, kaya zippo bentuknya cuma warnanya perak polos 😀

tumblr_nhcivbMZGs1u68wu6o2_400

226 responses to “HUNCH [Chapter 4]—vanillaritrin

  1. tadinya gua fokus ke “siapa sehun sebenernya?” tapi semenjak chapter ini gua fokus ke moment sehun nahyunnya hahaha emanh otak gua ini otak² romance ahahaha… penasaran kelanjutannya si sehun bakalan tidur sekamar sama nahyun atau nahyun tidur di sofa? lanjut baca yakaka ^^

  2. jeng jeng jeeeng..sehun, tidur di kamar saja..oow oow ooww..
    okeii yaa kasian sehun sih yaa badannya rentek kalo tidur di sofa teus, lagian lumayan kan yaa hyun tidur smbil dipeluk sama abang sehun, hihihhiii
    mmmh ada tanda2 perubahan suhu tubuh yaa kalo sehun mau ngerjain tugasnya? dan jadi makin penasaran sih, perubahan suhu tubuh, perubahan warna mata. yah kita akan tau yaa seiring sehun jawab pertanyaan2 nahyun nantii.
    dan, apa nahyun punya kemampuan khusus yg belum dia sadari??? dan, apa krna suatu kemampuan itu makanya sehun ga bisa hapus ingatannya nahyun tentang kejadian menghilangkan orang itu??

  3. Entahlah mau commnet apa, nguap semua. Kesenengan baca jafi lupa mau nanya apa hehee..
    Tapi ya..apa yura juga tau ttg sehun? Entah pah..yura kadang” punya sisi misterius.

  4. Duuuuh ga tau kenapa jadi senyum2 sendiri baca interaksinya Sehun sama Nahyun. Hati2 hun, suruh tidur dikamar tuh kekekeke
    Hmmm kayaknya kemampuan Nahyun itu deh yang ada korelasi sama kenapa dia bisa ga takut sama sehun, kenapa efeknya sehun ga kayak biasanya ke Nahyun. Well, yang bikin penasaran siapa sehun adalah dia manusiawi meskipun dia ada ‘tugas’ yang berpengaruh sama perubahan2 dalam dirinya. Hmm, need to read more nih.

  5. Kalimat panjang sehun itu jadi pertanda kah…
    Si tao aja langsung nyadar…
    Moga aja itu beneran…
    Soalnya hubungan mereka juga semakin baik kan…

  6. Sehun akhirnya bilang ya kalo dia gak mw nahyun pergi
    Wkwkwkwkkw
    So sweet kali lah

    Jangan2 nahyun bisa mimpi gtu gara2 pas dia skinship sama sehun pas d hypermarket ya

    Masih misteri banget

  7. udah kehabisan kata untuk mendeskrisikkkan Sehun. Jujur deh ya…Sehun kek orang baik tapi entah terjebak apa. Ntahlahh aku juga bingung bagaiman bisa Nahyun sama Sehun. Apalagi Yura dkk.. :v
    Kok Nahyun kek bisa membaca masa depa gitu? Ahh bukan hanya Sehun yang misterius tapi Nahyun juga begitu. Wah wahh…Sehun tanda-tanda jatuh cinta? Semoga aja bener. Tao juga pinter juga ya mancing kata-kta yang Sehun keluarin tentang Nahyun, btw emang Sehun antusias banget cerita tentang Nahyun

  8. Aq bner2 blm pham ttg surealis dan bru tw jg.tp ni seru bkin penasaran.dan aq sm sx g bs nebak hehe.hun dgin2 romantis

  9. Hayoloh nahyun… ngapain ngajak sehun masuk kamar.. :vv
    Awal” pengennya cari tahu mulu siapa sebenenrya sehun itu… tapi lama” malah haus akan sehun nahyun moment.. xD

  10. Eh eh eh romantis amat neng bang… Senyum senyum sendiri kayak orang gila baca bagian romantisnye hahaha :))

  11. Apa nahyun jg pny kekuatan kyk sehun?krn dy jg kykny bs mimpi hal yg bkal jd knytaan…
    Hehe,akhrny sehun berani jg nyuruh nahyun tggal brg..

  12. kok hebat mimpinya Nahyun bisa jadi kenyataan gitu..
    ceilahh.. pengen ngelindungin Nahyun hahah, ya ya cinta..
    kok kalimat “tidur dikamar saja” bikin merinding..
    hehe keep writing ya!

  13. Cieee nahyun ajk sehun tdr dikamarrr… eittsss jgn slh laham dlu ap tau nahyunny mnt gantian tdr dy disofa kann hihihi

  14. Ngomong-ngomong… Gue mau tanya ‘surealis’ itu apa sih?? o_o /pasang tampang polos/
    Soalnya dari chapter 1 nyampe chapter ini, gue masih dan tetep dan sama aja binggung ‘surealis’ itu apa o_o Terus siapa Sehun sebenaenya masih tanda tanya besar di kepala gue -.-
    (Tebak terakhir gue) Sehun itu sejenis (?) utusan dewa devil kah??

  15. aku gak kuat lagi bingung pisan dan nebak2 sehun itu siapa ? dia orangnya gimana ? alamat rumahnya di mana ? apa makanan ke sukaannya lah lah kok aku nanyanya merembet ke sana sini #Abaikan ……makin suka….

Leave a reply to haneul Cancel reply