[Freelance] The Nightfall 4 (Perchance)

POSTER THE NIGHTFALL

OFFICIAL TRAILER: https://youtu.be/iJNAeBLoQ50

Tittle: The Nightfall

Author: Ms.SealedNW

Length: (4/?)

Genre: Romance – School Life – Action & SciFi (a little?)

Rating: PG-15

Main Cast: Kim Jongin – Ahn Cheonsa (0C) & EXO

Disclaimer: Find the next chapter of this fanfiction in: http://www.foreversealedworld.wordpress.com

=THE NIGHTFALL=

© 2013

∞ Ms. SealedNW ∞

.

.

♥♥♥

THE NIGHTFALL #4 [Perchance]

“Apa kau mendapatkan sesuatu?”

Yixing menengadahkan kepalanya dari depan layar komputer miliknya, mencuri pandang ke arah Kris sekilas sebelum kemudian kembali memberi perhatian penuh pada layar di hadapannya. Jari lelaki itu bergerak ke samping, meraih sepotong cookies kering yang ia temukan di lemari ruangannya tadi pagi, lalu kemudian ia kembali melirik ke arah lelaki di sampingnya.

“Aku duduk di sini selama tujuh puluh dua jam terakhir, dan pintu itu sama sekali tidak terbuka.” Yixing mengerjap beberapa kali sambil menunjuk layar komputer miliknya ketika ia mendapati Kris masih saja memasang raut masamnya. Ia lantas menggelengkan kepalanya, kembali mengalihkan pandangannya dari layar selama beberapa saat. “Jangan memasang raut itu di hadapanku, Kris. Mood-ku sudah cukup buruk karena lelaki ini tidak keluar dari persembunyiannya sama sekali dan membuatku harus merelakan waktu tidur dan mandiku.”

Kris mengangkat tangannya, meneguk kopi kalengnya dalam satu tegukan besar. Kepalanya sedikit miring ke kanan, memperhatikan sesuatu di layar komputer milik Yixing dengan pandangan yang terlihat menerawang.

“Dan coba tebak berapa lama lelaki tua di dalam sana itu tidak mandi.” lelaki itu berucap sambil menggelengkan kepalanya sementara matanya tetap memperhatikan layar datar tersebut dengan datar. Yixing mendengus, terlihat agak jengkel dengan fakta bahwa Kris sama sekali tak mengacuhkan rengekannya tadi. “Mana Kai? Aku tidak melihatnya sejak kemarin.”

Yixing kali ini menengadahkan kepalanya. Kedua alisnya terangkat bersamaan. “You really mean it?”

“Maksudmu?”

“Maksudku…” Yixing melirik ke arah layar komputer miliknya selama beberapa saat lagi sebelum akhirnya kembali melirik ke arah Kris. Kedua alisnya masih terangkat. “Kau benar-benar sedang bertanya Kai ada di mana? Padaku?”

Kris terdiam selama beberapa detik, lalu kembali menggeleng seolah menyadari kebodohannya. “Aku juga heran kenapa aku bertanya padamu.”

“Tepat sekali.”

Kali ini giliran Kris yang mengangkat kedua alisnya. Lelaki bertubuh tinggi itu perlahan meletakkan kaleng kosongnya di atas meja tepat di samping tempat duduknya saat ini. Ia menundukkan tubuhnya, menghiraukan bahwa Yixing sedikit mendengus ketika ia memosisikan kepalanya tepat di samping kepala lelaki itu sendiri. Tatapan lelaki itu masih terarah ke layar laptop milik Yixing ketika ia kembali berbicara lagi.

“Omong-omong… Kau bisa membajak kamera rumah sakit, tidak?”

***

“Sepertinya kau tidak terlihat sakit.”

Jongin melirik ke arah kirinya, dan beberapa detik kemudian ia akhirnya memutuskan untuk kembali mengedarkan arah pandangannya ke objek lain. Entah harus merasa beruntung atau tidak, hari ini kelasnya dan kelas Sehun dijadwalkan dalam satu mata pelajaran yang sama dan satu waktu yang sama juga. Sehun hari ini mengenakan seragam olahraganya. Dan seperti yang tadi lelaki itu sendiri katakan, ia jelas kelihatan sama sekali tak percaya ketika ia mendapati Kim Jongin duduk di sudut barisan penonton dengan seragam olahraga yang sama sekali tak melekat di tubuhnya.

Lelaki berkulit lebih gelap itu mengangkat tangannya ke atas lantas menggerakkannya dengan kecepatan yang cukup mengagumkan ke arah kaki kirinya, menimbulkan suara tepukan keras yang cukup keras karena permukaan kulitnya yang beradu. Jongin lantas menolehkan kepalanya kali ini.

“Sekarang kakiku sakit. Masih ada pertanyaan lagi?”

Sehun mengerutkan keningnya, lantas mengangkat bahunya dengan seiringan gumaman pelan. “You act like a bitch just now.

Jongin menganggukkan kepalanya, lalu kembali menolehkan kepalanya ke depan. “Yes, I am.

You are a bitch?”

“Yes, you are.

Fuck off, Jongin.

I love you, too.

Dan kemudian hening.

Jongin memang sama sekali tak berniat mengikuti jam olahraganya hari ini. Lelaki itu jelas memantapkan niatnya dengan memasang ekspresi andalannya ketika ia berbicara dengan pembimbing olahraganya hari itu, dan seperti harapannya, guru malang itu hanya menganggukkan kepalanya tanpa bisa berkata apa-apa lagi. Fakta bahwa ibunya baru saja mengeluarkan ‘ultimatum’ pada pihak Dewan Sekolah berkaitan dengan pemindahan status ‘kelasnya’ sepertinya tak luput dari pengetahuan guru olahraga baru tersebut. Dan menilik dari bagaimana pasrahnya lelaki muda itu pada keinginan Jongin, terlihat dengan jelas bahwa ia benar-benar ingin menjauhkan dirinya sejauh mungkin dari keluarga Kim, termasuk Jongin sendiri.

Ia memang tidak terlalu suka mengumbar fakta bahwa ia memiliki status dan kekuasaan yang ‘lebih’, tapi terkadang ia memerlukan hal tersebut. Seperti saat ia menerapkannya pada guru olahraganya, contohnya.

“Aku serius, Jongin. Hanya orang idiot yang percaya bahwa kau itu sedang sakit saat ini.” Sehun lantas memutar bola matanya ketika ia menyadari perkataannya sendiri. “Ah, ya. Guru baru itu memang sudah terlihat seperti orang idiot sejak awal.”

“Kembali ke kelasmu, Oh Sehun. Aku sedang tidak ingin berbincang dengan siapa pun.” Jongin berhenti sebentar, meraih ponsel di dalam saku miliknya sebelum kembali berbicara lagi. “Dan aku serius soal ‘siapa pun’ di sini.”

Jongin mendengar Sehun tertawa sebentar, lantas menjulurkan kakinya ke depan dengan tangan yang otomatis menahan tubuhnya dari belakang.

“Aku mendapat complaint dari adikku. Katanya kau meninggalkannya begitu saja kemarin.” Lelaki itu menghela nafasnya sesaat, lantas kembali menoleh ke arah Jongin. Gestur lelaki itu jelas menunjukkan bahwa ia sama sekali tidak peduli akan apa yang baru saja Jongin ucapkan tadinya. “Apa yang terjadi kemarin antara kau dan dokter itu?”

Dari sekian banyak orang yang Jongin kenal dalam hidupnya, Sehun mungkin bisa diindikasikan sebagai salah satu dari segelintir orang yang mengenal Jongin dengan cukup baik. Bukan tanpa alasan Jongin bisa bertahan berteman dengan lelaki berkulit putih itu selama bertahun-tahun jika bukan karena Jongin merasa teramat cocok dengan lelaki itu. Sehun mempunyai suatu kemampuan yang cukup spesial, dan Jongin juga cukup yakin jika lelaki itu sama sekali tidak menyadari bagaimana kemampuan tersebut membuat dirinya sendiri terlihat ‘keren’. Setidaknya itu menurut Jongin.

Menurut Jongin, kemampuan Sehun untuk membaca keadaan di sekitarnya tanpa perlu dijelaskan secara panjang lebar itu keren. Jongin tidak perlu berbicara panjang lebar untuk memberitahukan bahwa suasana hatinya sedang tidak bagus, atau ia juga tidak perlu berbicara secara terperinci jika ada sesuatu yang membuat perasaannya jengkel. Sehun mengetahuinya. Jongin tidak tahu bagaimana lelaki itu bisa mengambil sikap yang teramat tepat jika Jongin sudah mulai berulah menyebalkan. Tapi jika dipikirkan sekarang, hal itulah yang sejujurnya membuat Jongin betah berteman dengan lelaki itu hingga detik ini.

“Kau tahu, Oh Sehun. Terlepas dari seberapa besar saham keluargamu di jaringan rumah sakit itu, kukira tindakan menyelinap masuk ke ruangan kamera pengintai setiap saat kau merasa bosan itu bukanlah sebuah tindakan yang beradab.” Kai mendengus kecil selama beberapa detik, lalu ikut menjulurkan kakinya ke depan dan menahan tubuhnya dari belakang dengan kedua tangannya. “Ibumu akan pingsan jika ia tahu pelajaran tata krama yang sejak lahir ia berikan padamu kau acuhkan begitu saja. Tsk, dasar bangsawan.”

Sehun menganggukkan kepalanya, terlihat tak acuh dengan kalimat sarkastik yang baru saja diucapkan oleh lelaki berkulit gelap di sampingnya. “Singkirkan topik itu untuk nanti. Aku lebih tertarik pada hubunganmu dengan Dokter Byun sekarang.”

Jongin lagi-lagi mendengus. “Kalimatmu barusan membuat aku terdengar seperti seorang gay atau semacamnya.”

Dan ketika Sehun tidak menyahut perkataannya yang satu itu, Jongin tahu bahwa lelaki itu sedang tidak ingin mengulur-ulur waktunya lagi. Jongin memperhatikan lapangan voli di sudut lain, mendapati beberapa orang yang kemungkinan berasal dari kelas Sehun saat ini sedang mencuri pandang ke arah mereka berdua. Kelas lelaki itu mungkin akan dimulai dalam hitungan menit lagi, dan Jongin masih belum memutuskan apakah ia harus memberitahukan pada lelaki itu atau tidak tentang apa yang lelaki itu tanyakan tadi.

Sejujurnya ia tidak tahu apa yang masih ia pertimbangkan. Mungkin karena kemungkinan bahwa Sehun akan mengecapnya kurang waras karena hal tersebut? Entahlah.

Di sampingnya, Sehun menghela nafasnya. Apa yang lelaki itu katakan selanjutnya sukses membuat Kai sedikit mengangkat alisnya. “Kau pernah dengar gosip aneh tentang Baekhyun hyung?”

“Kau mengenal lelaki itu?” Kai masih mengangkat alisnya sementara keningnya mulai berkerut. “Dan apa yang kau maksud dengan ‘gosip aneh’?”

Dan saat itu Sehun tertawa. Hanya tawa singkat, namun tawa tersebut dengan cukup jelas menyatakan bahwa Sehun sendiri tampak tak senang akan apa yang akan ia ucapkan. Pandangannya sedikit terlihat menerawang ketika ia berkata-kata lagi. Kepalanya tak lagi mengarah ke arah Jongin, dan butuh beberapa detik bagi Jongin untuk menyadari bahwa lelaki itu saat ini sedang mengingat-ngingat sesuatu di otaknya.

“Gosip-gosip aneh…” Sehun terhenti sebentar, lalu menghela nafasnya beberapa detik kemudian. “…ah, kukira ini bukan tempat yang tepat untuk mengatakannya.”

Dan nama Oh Sehun terdengar diteriakkan beberapa detik setelahnya. Membuat lelaki itu memutar bola matanya jengkel sebelum kemudian akhirnya memutuskan untuk pergi melangkah dari tempat duduknya saat itu.

Lelaki itu sempat menoleh ke belakang ketika ia berdiri. Bibirnya terangkat sebelah, membentuk smirk yang cukup membuat ekspresi lelaki itu terlihat agak aneh saat ini.

“Jika kau mau, aku bisa membantumu bertemu dengannya baik-baik pulang sekolah nanti. Kau tahu maksudku, kan? Tanpa kekerasan, Jongin.”

***

Cheonsa gugup.

Oke, baiklah. Ia gugup sepanjang pagi. Gadis itu sendiri tidak mengetahui apa yang persisnya membuatnya merasa seperti itu. Pagi ini ia terbangun dengan perasaan tak nyaman di dalam dadanya, membuatnya bergerak gelisah di tempat tidurnya dan harus menenangkan dirinya sendiri selama setengah jam karena hal tersebut. Ia bahkan menghabiskan sarapannya tanpa meninggalkan sedikit pun sisa tadi. Hal yang cukup aneh, mengingat bagaimana gadis itu tidak pernah mempunyai nafsu makan yang baik saat pagi hari. Ia hanya terus menyendokkan sendok tersebut ke dalam mulutnya, dan tahu-tahu saja ia mendapati piringnya kosong begitu saja.

“Kau bisa membuat Baekhyun-ssi mentraktir makan siang seisi rumah sakit jika kau terus menghabiskan sarapanmu seperti ini setiap pagi, Cheonsa-ssi.”

Mendengar hal tersebut terucap dari bibir salah seorang perawat rumah sakit tersebut membuat Cheonsa mendadak mual. Gadis itu melirik seram ke piring miliknya, lantas memberikan senyum teramat tipis beberapa detik berikutnya. Perawat tersebut meninggalkan ruangannya tepat ketika ia benar-benar merasa perutnya bergejolak dengan parah.

Dan ia memang benar-benar mengeluarkan segala isi perutnya saat itu juga. Setidaknya ia masih sempat berlari ke wastafel, memuntahkan isi perutnya di sana, dan kemudian terduduk dengan lemas sambil bersandar di kaki ranjangnya sendiri.

Lima menit berselang, ia mendapati pintu ruangannya lagi-lagi terbuka.

“Kudengar dari Jinri kau menghabiskan sarapanmu pagi ini?”

Pagi itu Baekhyun mengenakan kemeja polos berwarna hitam sebagai dalaman jas putihnya. Cheonsa samar-samar mengingat bahwa kemeja itu adalah pemberian dari Cheonsa sendiri sekitar beberapa bulan yang lalu. Rambut lelaki itu terlihat agak acak, membuat wajah lelaki itu terlihat lebih muda dari umurnya yang seharusnya. Terkadang Cheonsa selalu membenci bagaimana lelaki itu selalu bisa terlihat seperti bocah namun dewasa di saat yang bersamaan.

Lelaki itu melangkah lebih dalam, kali ini memberikan akses penuh padanya untuk memperhatikan Cheonsa yang bersandar di kaki ranjangnya dengan beberapa butir keringat di dahinya. Lelaki itu mengerutkan keningnya, lantas mengedarkan pandangannya setelah mendapati bahwa tidak ada yang salah dengan penampilan gadis itu saat ini. Matanya sedikit menyipit ketika memperhatikan wastafel. Tak berapa lama, ia menggelengkan kepalanya.

“Lebih baik kau hanya memasukkan tiga suap ke dalam perutmu daripada kau harus mengeluarkan semuanya seperti ini, Cheonsa.” Lelaki itu menghela nafasnya, mengulurkan tangannya untuk meraih keran air wastafel dan memutarnya tepat setelah ia berhasil meraihnya. Lelaki itu berdecak. “Kelihatannya niat Jinri untuk menghemat pengeluaran makan siangnya gagal, huh? Kau menghancurkan harapannya, Ahn Cheonsa.”

Cheonsa lantas memutar matanya. Nafasnya masih terengah. “Kau yang memberinya harapan, Byun Baekhyun. Bukan aku.”

Cheonsa bisa mendengar tawa renyah lelaki itu beberapa detik kemudian. Lelaki itu kali ini mengalihkan pandangannya dari wastafel ke arahnya. Tangan lelaki itu lantas terulur, menawarkan bantuan pada Cheonsa yang tampak sama sekali tak keberatan akan bantuan tersebut. Gadis itu perlahan berdiri, merasakan nafasnya akhirnya mulai stabil ketika ia kembali duduk di ranjangnya lagi saat ini. Gadis itu mendongak ketika merasakan Baekhyun berdiri di hadapannya. Alis lelaki itu agak terangkat, membuatnya terlihat hampir menyatu di tengah.

Sambil mengangkat tangannya ke arah leher belakangnya, gadis itu akhirnya memutuskan untuk berbicara lagi beberapa detik kemudian. “Apa?”

“Bagaimana keadaanmu?” Baekhyun kali ini menyilangkan lengan di depan dadanya, pandangannya fokus ke depan. “Masih gugup? Jantungmu masih berdetak kencang?”

Gerakan tangan gadis itu terhenti secara tiba-tiba. Sekarang giliran kedua alisnya yang terangkat. “Bagaimana kau tahu?”

“Aku seorang dokter.” Baekhyun berucap sambil mengangkat salah satu telapak tangannya ke kening, mengusapnya dengan ekspresi tak bisa dibaca. “Tentu saja aku tahu apa yang akan terjadi jika aku menyuntikkan terlalu banyak obat penenang pada pasienku sendiri.”

Dan Cheonsa baru saja berniat membuka mulutnya untuk menanyakan apa maksud lelaki itu sebenarnya ketika kenyataan tersebut mendadak membanjiri ingatannya dengan cepat. Ia terdiam, berusaha menelan satu demi satu kepingan-kepingan ingatan yang tanpa ia sadari berusaha ia kubur di dalam  bagian bawah sadarnya. Gadis itu lantas menelan ludahnya.

“Kim Jongin…”

Gadis itu menutup mulutnya dengan cepat di detik ketika bibirnya akhirnya meluncurkan nama tersebut keluar. Tiba-tiba saja ia merasa ingin muntah lagi.

“Sudah mengingat semuanya sekarang?”

Cheonsa lantas mengangguk. Gadis itu mendapati Baekhyun kali ini mengambil posisi duduk tepat di sebelahnya. Perutnya lagi-lagi bergejolak, dan tingkah Baekhyun ―sejujurnya― sama sekali tidak membantunya. Ingatan-ingatan tentang kejadian yang ia lalui kemarin juga hanya memperburuk segalanya. Dan mendadak, ia merasa marah pada Baekhyun yang mengingatkannya dengan cepat.

“Ahn Cheonsa, seberapa jauh lagi kau akan bertindak, huh?”

Tapi Cheonsa juga tahu. Seberapa marah pun ia, Baekhyun sama sekali tidak berbuat hal yang salah.

“Aku tidak tahu, Baek. Aku―” Cheonsa kali ini menundukkan kepalanya. Tangannya mulai mencengkram seragam rumah sakitnya dengan kuat. “―kukira aku tidak akan pernah bisa, Baek.”

Baekhyun lagi-lagi menghembuskan nafasnya. “Aku mengerti saat ini kau berada dalam posisi yang sulit, Cheonsa. Tapi cobalah mengerti. Kau sudah menghindari terlalu banyak hal belakangan ini dan aku tidak―”

“Aku selalu melihat kilasan-kilasan itu jika aku menatapnya, Baek.”

Cheonsa menelan ludahnya ketika mendapati Baekhyun menutup mulutnya dengan cepat ketika ia selesai memotong perkataan lelaki itu. Gadis itu mencengkram pakaiannya semakin kuat, mengindikasikan bahwa pikirannya saat ini mulai dipenuhi oleh berbagai hal yang tak seharusnya ia pikirkan. Gadis itu memikirkan tentang berbagai hal, termasuk apa saja yang sudah ia lalui kemarin. Ia ingat bagaimana lelaki itu menatapnya saat akhirnya ia menyadari bahwa Cheonsa berada di dekatnya. Ia ingat bagaimana tubuhnya mulai bereaksi dengan terus gemetar ketika Baekhyun dan lelaki itu berjalan mendekatinya. Ia ingat bagaimana ia menatap mata lelaki itu selama sepuluh detik terpanjang selama hidupnya sebelum akhirnya ia menekukkan lututnya ke arah wajahnya dan mulai bertingkah seperti orang kurang waras di hadapan kedua lelaki itu.

Sepuluh detik yang terasa amat mengguncang pertahanannya.

Selama ini, Cheonsa selalu menatap lelaki itu dari jauh. Ia selalu memastikan bahwa ia tidak termasuk dalam jarak pandang lelaki itu, tapi ia juga memastikan lelaki itu akan selalu berada dalam jarak pandangnya. Ia selalu membuat lelaki itu juga tidak akan pernah menyadari kehadirannya, apalagi menatapnya. Ia selalu menghindari tatapan lelaki itu di manapun ia berada, walaupun pada kenyataannya Cheonsa teramat menyukai saat-saat di mana ia menatap punggung lelaki itu secara diam-diam. Karena ia tahu, jika lelaki itu sampai menatapnya sekali saja, maka rencananya selama beberapa tahun ini akan hancur.

Dan Cheonsa juga tahu, kehancurannya sudah dimulai kemarin.

“Kilasan… Maksudmu?”

“Aku melihat apa yang akan ia lalui nanti.” Cheonsa berucap dengan volume teramat rendah, nyaris berbisik. Tanpa ia sadari, ia mulai menggelengkan kepalanya. “Ia… Ia tidak membutuhkanku. Aku hanya akan membawa kesulitan untuknya. Kau tahu, Baek? Aku, aku mungkin saja akan menjadi penyebab―”

“Sshh. Cukup. Cukup.”

Dalam beberapa detik, posisinya dengan Baekhyun kemarin akhirnya kembali terulang. Gadis itu tidak berontak ataupun berusaha melepaskan diri dari dekapan lelaki itu, ia bahkan sama sekali tidak yakin jika ia masih punya cukup kekuatan untuk berontak saat ini. Cheonsa teramat membutuhkan sandaran, dan ia tahu Baekhyun merupakan sosok yang tepat untuk ia jadikan sandaran saat ini. Lelaki itu mengerti tanpa perlu Cheonsa jelaskan lagi; ia membutuhkan Baekhyun.

“Kau bisa menangis lagi, Cheonsa. Menahannya terus menerus tidak baik untuk kesehatan jiwamu, kau tahu?”

“Kukira jiwaku memang sudah bermasalah, Baek. Aku tidak bisa menangis.” Cheonsa lagi-lagi menggeleng. Kali ini kepalanya mendongak. “Kukira aku bahkan hampir lupa bagaimana cara untuk menangis.”

***

Beberapa tahun belakangan ini, Jongin benar-benar membenci fakta bahwa ia mempunyai seorang kakak laki-laki.

Ia sejujurnya tidak masalah dengan fakta bahwa ia memiliki seorang saudara, apalagi saudaranya tersebut berjenis kelamin sama dengannya. Bahkan sejujurnya, Jongin sangat menyukai kakak laki-lakinya itu. Setidaknya hingga beberapa tahun lalu, ketika kakaknya tersebut memasuki SMA dan mendapatkan teman-teman barunya. Laki-laki itu mulai berubah.

Kim Jong Dae mulai menjadi sosok yang teramat ‘berisik’, dan Jongin sama sekali tidak menyukai hal itu.

“Hei hei hei, Jongin baby. Jawab dulu pertanyaanku, baru kau boleh pergi? Hmm?”

Jongin tidak menyalahkan teman-teman kakak lelakinya itu. Sungguh. Ia sejujurnya bahkan cukup lega karena Jong Dae tidak lagi terus menerus memilih untuk lebih berteman dengan buku dan mulai membuka dirinya. Tetapi terkadang ada sisi egois dalam diri Jongin yang memaksa untuk muncul. Sisi di mana ia merasa ia lebih menyukai kakaknya yang pendiam dan tidak terlalu suka mencampuri urusannya dibandingkan dengan kakaknya yang cerewet dan teramat senang menggali kehidupan pribadi Jongin.

Shit, hyung. Aku tidak punya waktu untuk bermain-main dengan leluconmu sekarang.” Jongin memutar bola matanya. Tangan lelaki itu terarah ke samping pintu, mengambil sebentuk kunci yang tergantung di tepi pintu sambil tetap mendelik pada sosok di hadapannya. “And don’t baby me, dude. Stop act like a creep for God’s sake.

Jongin tentu saja tidak main-main saat ia mengatakan bahwa ia tidak memiliki banyak waktu untuk bermain-main saat ini. Dan ia pun sebenarnya ragu apakah jika ia memiliki banyak waktu luang ia akan rela meluangkan waktunya tersebut untuk ‘bermain’ dengan sosok lelaki di hadapannya ini. Lelaki itu tadinya berpikir bahwa ia tidak akan menghabiskan banyak waktu di rumahnya. Rencana awalnya, ia hanya akan pulang ke rumahnya untuk mengambil kunci mobil miliknya dan beberapa benda keperluannya. Tentu saja hal tersebut berjalan lancar pada awalnya. Sehun bahkan sudah berbaik hati untuk menungguinya di ruang tamu rumahnya dengan cukup tenang. Dan jika saja semuanya berjalan dengan lancar, seharusnya saat ini ia dan Sehun sudah duduk dengan tenang di dalam mobilnya dalam perjalanan ke tujuan mereka yang sesungguhnya.

Jika saja kemudian Jongin tidak mendapati Kim Jong Dae dan antek-anteknya itu berjalan memasuki rumahnya dan melontarkan lelucon satu sama lain dengan diiringi tawa yang bergema di sepanjang dinding-dinding rumahnya, tentu saja rencana Jongin akan berjalan dengan lancar.

Dan sekarang, Jongin kehabisan ide bagaimana cara agar ia bisa kabur dari kakak lelakinya itu.

“Aku melihat Sehun di bawah tadi. Sudah lama juga ia tidak berkunjung ke sini, ya.” Jong Dae berucap sambil lagi-lagi melangkahkan kakinya ke arah kiri, mengikuti Jongin yang berusaha melewatinya dengan cepat. “Hei, hei. Sudah kubilang, jangan pergi sebelum menjawab pertanyaanku. Kalian mau pergi ke mana?”

Jongin kali ini menggeleng, sepenuhnya terlihat kesal. “Kenapa kau tidak duduk saja di meja kantormu di hadapan kertas-kertas membosankan itu, eh?”

“Bukan hanya kau yang jenius di keluarga ini, Kim Jongin. Aku sudah menyelesaikannya jauh sebelum kau menanyakannya.” Jong Dae lantas berucap dengan senyum teramat lebar yang membuat Jongin lagi-lagi memutar bola mata malas. “Na-ah. Cut the crap. Kau ingin pergi ke mana, eoh?”

Jongin, untuk ke sekian kalinya, lagi-lagi memutar bola matanya. “Tugas kelompok, kurasa?”

“Oh-ho… Siapa yang kau pikir sedang kau bohongi sekarang, huh? Sejak kapan seorang Kim Jongin peduli pada tugas kelompok, eh?” Lalu pandangan mata lelaki itu sedikit turun ke bawah, memperhatikan sesuatu yang tergantung di antara jari-jari adik lelakinya dengan senyum yang masih tertempel di wajahnya. “Kau tahu, Jongin. Belakangan kudengar polisi-polisi itu semakin sulit diajak bekerja sama. Kau tidak bisa membawa mobilmu keliling dunia dengan usiamu sekarang, kau tahu?”

“Dan sejak kapan kau peduli pada apa yang kulakukan, Kim Jong Dae?” Kali ini Jongin berdecak tak sabar. Kepalanya sedikit miring ke kanan, menatap sosok di hadapannya dengan kening berlipat. “Oh, serius. Menyingkirlah sekarang dan berhenti menguji kesabaranku, hyung. Aku benar-benar sedang buru-buru.”

Sebagai balasan dari ucapannya, Jongin mendapati kakak lelakinya itu kali ini lagi-lagi tersenyum.

“Buru-buru? Bisa ku tahu siapa yang ingin kau temui sampai kau terburu-buru seperti ini, hmm?” Lelaki itu lantas berhenti sebentar, memberikan jeda pada kalimatnya sementara kali ini ia kembali tersenyum lagi. “Aku memperhatikanmu lebih dari yang bisa kau ketahui, Jongin-ah.”

Dan detik itu juga, Jongin berhenti mengerutkan keningnya.

Kesadaran tersebut menghantamnya tepat ketika ia mengira ia benar-benar akan meledak karena tingkah kakak lelakinya tersebut. Jongin mengumpat dalam hati, mengutuki kebodohannya akan apa yang sebenarnya sedang terjadi saat ini. Lelaki itu seharusnya sudah mencium keanehan sejak mendapati Jong Dae membuka pintu kamarnya tadi. Kakak lelakinya itu, seperti yang pernah ia katakan sebelumnya, jelas tidak akan tersenyum seperti orang idiot jika saja ia tidak memiliki hal lucu yang berada dalam otaknya.

Jongin seharusnya menyadarinya lebih cepat.

“Apa maumu kali ini, eoh?” Jongin kali ini berucap dengan pandangan yang tertancap ke arah kakak lelakinya, lantas sedikit mendesis ketika mendapati kakaknya tersebut masih memasang senyum menyebalkan tersebut di wajahnya. “Cut the crap and stop that freaking creepy smile of yours. It’s disguisting.”

Jong Dae masih tersenyum ketika ia berbicara lagi beberapa detik berikutnya. “Kris meneleponku pagi ini. Ingin menebak apa yang ia beri tahukan padaku tentangmu, hmm?”

Oh shit.

“Dengar, hyung. Apapun yang dikatakan oleh―”

“Nah, nah… Aku tahu Kris tidak mungkin berbohong padaku, Jongin. Berniat memberitahuku siapa gadis beruntung itu?”

Dan satu hal lagi yang tidak Jongin sukai dari perubahan-perubahan kakak lelakinya itu adalah bagaimana lelaki itu kini memelihara hobinya memotong ucapan orang lain dengan teramat baik.

Kali ini Jongin akhirnya memilih untuk tak lagi menyahut perkataan lelaki di hadapannya. Jongin kira ia sudah cukup bersabar dengan tingkah kakak lelakinya itu, dan ia sendiri pun punya batas kesabarannya ―yang ia rasa juga sudah berada dalam taraf memprihatinkan―. Ia bisa saja meladeni ucapan-ucapan kakaknya, tapi meladeni ucapan seorang Kim Jong Dae hanya akan membuat lelaki itu terhibur dan Jongin sama sekali sedang tidak ingin membuat kakaknya itu terhibur untuk saat ini. Tangan lelaki itu lantas terjulur, sedikit mendorong bahu Jong Dae dengan raut wajah datar yang sama sekali tak ia buat-buat. Lelaki itu mendelik ketika ia mendapati Jong Dae lagi-lagi membuka mulutnya.

“Aku benar-benar serius akan memberitahukan pada ayah tentang hobi terlarangmu itu jika kau berbicara satu patah kata lagi, hyung.” Jongin lantas berdecak, melangkahkan kakinya dengan lebar sementara Jong Dae tampak membesarkan matanya. “Aku menyesal harus mengancammu seperti ini. Tapi kau tahu, kan. Aku tidak pernah bercanda akan ucapanku. I mean what I said, remember?”

“Kim Jong―”

“Kim Jong Dae! Tebak siapa yang kubawa!”

Selama bertahun-tahun mengenal Park Chanyeol, Jongin tidak pernah menyangka ia akan sesenang ini saat mendengar suara keras milik lelaki itu memasuki gendang telinganya.

Lelaki bertubuh tinggi itu adalah salah satu anggota dari kelompok lingkaran ‘pertemanan’ yang dimiliki oleh kakaknya. Jongin sudah tahu bahwa lelaki ini adalah seorang tipe berisik ketika lelaki itu pertama kali menginjakkan kaki di halaman rumahnya bertahun-tahun silam dengan seragam sekolah yang waktu itu masih melekat di tubuhnya. Chanyeol adalah seorang lelaki yang tentu saja meninggalkan kenangan ―dalam konteks buruk― pada Jongin sejak pertama kali Jongin bertatap muka dengan lelaki itu. Dan bahkan hingga sekarang, Jongin masih ingat dengan jelas bagaimana senyum tak bersalah yang melukisi wajah Park Chanyeol ketika Jongin mendapati lelaki itu menghancurkan lemari koleksi replika mobil balapnya hingga benar-benar hancur tak bersisa di saat pertama kali ia menjelajahi rumah keluarga Kim ―rumahnya― dengan semangat yang teramat berlebihan.

Dan dengan alasan itu, Jongin tentu saja tidak pernah mengira ia akan sesenang ini ketika mendengar suara dan melihat Park Chanyeol lagi.

“Oh? Hai, Jongin. Sudah lama tidak melihatmu!”

Saat Jongin melihat Chanyeol, ia tahu bahwa kakaknya sama sekali tidak main-main saat ia mengatakan bahwa ia sudah menyelesaikan segala pekerjaan kantornya. Seingatnya, Jong Dae pernah memberitahukan padanya bahwa Chanyeol saat ini bekerja di tempat yang sama di tempat Jong Dae bekerja, dan dengan kata lain, Chanyeol sedang bekerja di Jeonseung Grup, perusahaan keluarganya. Terakhir kali Jongin melihat lelaki itu mungkin hampir dua bulan lalu, tapi tampaknya sama sekali tak ada yang berubah dengan penampilan lelaki itu terkecuali rambutnya yang kali ini dipotong pendek. Pakaian lelaki itu terlihat tampak tak berada di tempatnya dengan kemeja putih membosankan dan jas hitam yang saat ini mungkin entah berada di sudut mana rumahnya. Lelaki tinggi itu melangkahkan kakinya menyusuri tapak-tapak tangga dengan tangan yang berada di belakang tubuhnya, tampak menarik-narik sesuatu dengan senyum terlalu bersemangat yang hampir setiap saat terlihat di wajahnya.

Jongin melirik Jong Dae, mendapati kakaknya itu juga sama bingungnya dengan dirinya saat ini. Dan bahkan, untuk sesaat kakaknya terlihat sama sekali tak menyadari kehadiran Jongin di sisinya.

“Hoi! Jangan bergerak terus! Kau bisa membuat kita berdua jatuh!”

Dan saat itulah Jongin menyadari ada yang aneh dengan gerak-gerik Chanyeol sedari tadi.

Jongin kali ini mengalihkan pandangannya, sedikit mengangkat alis ketika mendapati Sehun juga muncul dari tapak-tapak tangga yang berada di rumahnya tersebut dengan ekspresi yang sulit di baca tertera di wajahnya. Lelaki berkulit putih itu jelas tidak sedang memperhatikan Jongin, dan Jongin semakin mengerutkan kening ketika mendapati lelaki itu tampak sedang berbicara. Jongin pasti menganggap lelaki itu berbicara sendiri ―yang sejujurnya sempat membuat Jongin agak merinding― jika saja ia tak mendapati pemandangan lain lagi yang berlangsung di hadapannya.

Park Chanyeol tidak sedang menarik ‘sesuatu’. Ia sedang menarik ‘seseorang’.

Fuck, giant. Aku bisa berjalan sendiri tanpa perlu kau tarik-tarik!”

Dan Jongin mulai bertanya-tanya apakah takdir sedang bermain-main dengan yang namanya ‘kebetulan’ pada hidupnya ketika ia mendapati siapa sosok yang sedang meronta dengan wajah jengkel tepat di belakang tubuh tinggi milik Park Chanyeol.

Byun Baekhyun.

.

***

.

a/n:

I know this chapter sucks. Sorry for the late update 😦 Aku sedang punya beberapa masalah pribadi yang membuat aku terkena writer’s block tingkat akut 😦 Semoga kalian cukup puas dengan chap 4-nya, ya 🙂

 

14 responses to “[Freelance] The Nightfall 4 (Perchance)

  1. Akhirnya update jugaa. Hehe jujur di bagian akhir chapter ini aku ga kudeng sama kalimat-kalimatnya /otak aku bermasalah lagi
    Tapi cukup puas kok, walaupun masih berusaha keras buat ngerti alurnya yang misterius/? xD
    Ditunggu chapter selanjutnya kak. Fighting ^^

  2. oke…
    bener2 bikin penasaran.. ternyata si jongdae kenal sama kris..

    jadi mereka apa? T.T

    byun baek terkenal yaa kayaknya dimana mana wkwk semuanya kenal gitu —

    semangat yaa ngelanjutinnya ^^

  3. Kyaaa… Akhirnya muncul nih ff hehe.. Bagus kok kak.. Penasaran sma ingatan” cheonsa. Chapter 5 nya juga dah ada.. Mau baca deh.. Keep writing ya kak

  4. Knpa semua orang pada tahu Byun Baekhyun… Adiknya Sehun suka ngadu… Fix gw penasaran sama Cheonsa…

  5. Ya ampun baekhyun terkenal banget ya .
    Eoh jadi cheonsa merasa takut mendekatinya karena ia akan membuat jongin hancur gitu .
    Next chapternya ya

  6. Waaaaah mulai ada pengenalan karakter2 baru dan harus inget detailnya nih biar gak lupa 😀 sumpah banyak banget teka tekinya gitu. Semangat chingu semoga writer blocknya nggak dateng2 lagi hihi

Leave a comment