[CHAPTER 5] SALTED WOUND BY HEENA PARK

salted-wound-cover

“Kau milikku, sudah kukatakan dari awal, bukan? Kau adalah milikku.”- Oh Se-Hun

.

A FanFiction 

by

Heena Park

.

SALTED WOUND’

.

Starring: Shin Hee Ra-Oh Se Hun-Kim Jong In

.

Romance–Incest-Thriller–PG15–Chaptered

.

Wattpad : Heena_Park

Facebook : Heena

.

Notes : ff ini juga aku share di WATTPAD. And thanks to Byun Hyunji for this awesome poster!

.

.

Prev :

TEASER

CHAPTER 1

CHAPTER 2

CHAPTER 3

VIDEO TRAILER

CHAPTER 4

.

Makan malam mereka terasa dingin. Hee-Ra berkali-kali berusaha mencuri pandang keluar ruangan, matanya menelusuk sosok Jong-In yang kelihatan senang bersama Emma di luar sana.

 

Sementara Se-Hun hanya tersenyum kecut mendapati Hee-Ra tak fokus padanya dan malah mencuri pandang melalui pintu ke arah Jong-In.

 

“Ada yang bilang, pergi dengan orang jatuh cinta akan makan hati.” Se-Hun meringis.

 

“Apa maksudmu?”

 

“Mengacalah.” Ia mengikuti arah pandang Hee-Ra. “Bukankah tidak sopan saat kau mengacuhkan orang yang bersamamu dan malah fokus pada orang lain?” Se-Hun berhenti sebentar, ia menyandar ke kursi dan menyilangkan kedua tangannya. “Apa aku harus menyeretmu ke sana dan berkata pada pria itu agar tak kelihatan sangat senang dengan wanita lain karena kekasihnya terbakar cemburu?”

 

Oh shit!

 

Hee-Ra tak akan ragu-ragu memukul Se-Hun kalau ia berani melakukannya. Ya, Hee-Ra mengakui kalau dirinya memang cemburu karena Jong-In kelihatan bahagia di sana, sementara Hee-Ra malah terperangkap bersama pria jahat ini. Dunia kadang memang tak adil, terlebih baginya.

 

Berusaha mengatur emosinya, Hee-Ra menarik napas dalam-dalam, ia meletakkan sendok dan garpu kemudian menyandarkan punggung ke kursi. “Kau tidak perlu melakukan itu. Aku sudah cukup dewasa untuk menerima bahwa mereka hanya sekedar teman.”

 

Se-Hun tertawa. “Sekedar teman? Benarkah?” Wajahnya berubah serius, ia mendekatkan bibirnya ke wajah Hee-Ra. “Aku yakin kau bisa melihat kalau gadis itu sangat tertarik…untuk merebut kekasih yang selalu kau banggakan. Aku benar, kan?”

 

Demi apapun, kenapa mulut pria ini sangat tidak beretika? Maksudku, haruskah dia memanasi Hee-Ra yang sudah panas? Bagaimana kalau saat ini posisi mereka terbalik?

 

“Shin Hee-Ra, sudah kukatakan dari awal, bukan? Kau seharusnya tak menjalin hubungan dengan Jong-In atau siapalah itu, karena pada akhirnya mereka akan melukaimu.”

 

Hee-Ra menyeringai, geli mendengar ucapan yang barusan keluar dari mulut Se-Hun. “Lalu? Aku harus bersamamu? Orang yang jelas-jelas lebih jahat dari dia?”

 

“Aku jahat? Tunggu dulu, aku bahkan tak pernah melukai tubuhmu. Bagaimana mungkin kau bisa menganggapku jahat?”

 

Hee-Ra tergelak, sadar pada kenyataan bahwa Se-Hun memang tak pernah melukainya, bahkan ia tergolong melindungi Hee-Ra.

 

“Kau memang tak pernah melukai fisikku, tapi apakah kau sadar berapa kali melukai perasaanku, Oh Se-Hun?”

 

Senyum liciknya pudar, tak menyangka Hee-Ra akan menjawab seperti itu. Ia seolah menyalahkan Se-Hun atas semua penderitaan hati yang dideranya.

 

“Jadi kau berpikir seperti itu?” Se-Hun memutar bola matanya, ia menggenggam tangannya satu sama lain dan berbisik, “Lalu apakah kau pernah menghitung, berapa kali telah menyakiti perasaanku yang jelas tulus padamu?”

 

Hee-Ra terkesiap, wajahnya memerah kesal. Apa telinganya tak salah dengar? Hee-Ra melukai Se-Hun? Apa pria itu sudah mabuk?

 

“Sanggupkah kau berada di posisiku? Sebagai pihak yang selalu ditolak dan tak diinginkan, Shin Hee-Ra?”

 

 

•••

 

 

Semilir angin membuat Jong-In memejamkan matanya, membiarkan rambutnya terbang berhela kelembutan.

 

Wajahnya memang nampak tenang, berbanding terbalik dengan hati serta perasaannya. Tadi siang, Hee-Ra menolak untuk diantar ke toko buku. Ia lebih memilih pergi bersama Jessica. Entah, Jong-In merasa kalau perubahan sikap Hee-Ra adalah akibat dari perbuatannya kemarin. Memang tak begitu kentara kesalahannya, tapi Jong-In telah melanggar janjinya sendiri untuk langsung mengantar Emma dan malah mampir makan malam.

 

Hei, apakah ada pria yang tega membiarkan seorang gadis kelaparan ketika bersamanya? Jong-In juga begitu. Ia tak sampai hati membiarkan Emma kelaparan dan terus merengek sakit perut.

 

Jong-In mengambil ponsel dan mencari nama Hee-Ra di kontak, kemudian mulai menulis pesan.

 

‘To : Shin Hee-Ra

 

Aku merindukanmu. Nanti malam aku akan mampir sebentar.’

 

 

Setelah menekan tombol kirim, Jong-In tidak menyimpan ponselnya ke saku, melainkan menggenggam sambil berharap Hee-Ra akan segera membalas pesannya.

 

Namun nihil, tiga puluh menit berlalu dan Hee-Ra belum juga memberikan balasan.

 

Apa dia benar-benar marah karena Emma? Sejak kapan Hee-Ra jadi cemburuan seperti itu?

 

Berniat pulang, tiba-tiba ponselnya bergetar. Jong-In segera memasang mata dan tersenyum senang ketika melihat nama Hee-Ra tertera di layar. Tanpa butuh waktu lama, ia segera menekan tombol jawab.

 

“Halo? Shin Hee-Ra?” ia memulai percakapan.

 

Seolah tak ingin membalas rasa rindu Jong-In atau sekedar berbasa-basi, Hee-Ra segera mengatakan maksudnya, “Jangan datang malam ini. Aku ada kerja kelompok.”

 

“Tidak masalah. Aku akan ikut denganmu.”

 

Hee-Ra mendecak, “Kenapa kau tidak beristirahat dan mempersiapkan diri agar penampilanmu dengan Emma besok berjalan lancar?

 

“Aku sudah cukup beristirahat,” Jong-In mendesah berat. “Apa kau marah padaku karena mengajak Emma makan malam kemarin? Aku benar-benar tidak memiliki maksud apapun selain tidak tega membiarkannya kelaparan, sungguh.”

 

Hee-Ra tak langsung menjawabpp. Ia hanya mendesah berat beberapa kali, malas membalas ucapan Jong-In kah?

 

Aku tahu. Kau tidak perlu khawatir.”

 

Hee-Ra memang berkata seperti itu, tapi Jong-In yakin seratus persen bahwa hatinya tak mengatakan demikian.

 

“Aku tahu kau cemburu.” Jong-In berhenti sebentar, senyumnya muncul begitu saja. “Terima kasih sudah cemburu, itu artinya kau memang mencintaiku. Dan akupun begitu, aku mencintaimu, Shin Hee-Ra.”

 

Aku tahu.”

 

“Shin Hee-Ra?”

 

Ya?”

 

“Aku telah memilih hatimu, kau tidak perlu khawatir akan kehilanganku.”

 

Aku akan menutup teleponnya.”

 

“Jangan pulang terlalu malam, mengerti?”

 

Baiklah. Aku akan menghubungimu lagi nanti.

 

 

•••

 

Long time no see, Mr. Oh.”

 

Alis Se-Hun terangkat ketika mendapati gadis yang dikatakan oleh sekretarisnya ingin menemui barusan adalah Jasmine.

 

“Jasmine Rochester?” tanya Se-Hun.

 

Gadis di depannya itu duduk bersilang kaki, ia mendekatkan wajahnya kepada Se-Hun. “Apakah aku berubah begitu banyak hingga membuatmu harus bertanya kalau ini memang diriku?”

 

Se-Hun menggeleng. “Tidak, maksudku ya, kau tumbuh menjadi wanita dewasa yang menakjubkan.” Matanya mengerjap beberapa kali.

 

“Dan seksi,” tambah Jasmine untuk memuji dirinya sendiri.

 

Oh tentu, Se-Hun tak akan mengelak. Kenyataannya memang Jasmine tumbuh menjadi gadis cantik nan seksi yang mampu membuat siapapun terpana.

 

“Mm..,” Jasmine bertopang dagu. “Kudengar kau jatuh cinta dengan seorang gadis.”

 

Tanpa butuh waktu lama, Se-Hun langsung mengerti bahwa gadis yang dimaksud Jasmine adalah Hee-Ra. Tak aneh memang kalau Jasmine mengetahui hal itu, mengingat mereka sama-sama terhubung dengan Bruce Waylon.

 

“Jadi?”

 

“Aku berniat menikahinya,” jawab Se-Hun santai.

 

Jasmine tak suka mendengar jawaban Se-Hun. Ia lebih suka kalau Se-Hun mengatakan akan meninggalkan gadis bodoh itu demi dirinya yang lebih cantik.

 

“Oh, baiklah.” Ia berpikir sebentar. “Ada waktu malam ini? Aku baru tiba beberapa hari lalu dan kau tak berniat mengucapkan selamat datang?”

 

Selamat datang yang dimaksud Jasmine bukanlah dua kata pada umumnya, melainkan melakukan percintaan panas di atas ranjang. Seperti yang sempat mereka lakukan beberapa tahun lalu, sebelum Jasmine memutuskan untuk pindah ke Australia.

 

Se-Hun melirik kalender kecil di atas mejanya sebentar. “Aku akan menghubungimu lagi nanti sore. Tinggalkan kontakmu di sini, Jaze.”

 

Berubah!

 

Se-Hun memang telah berubah. Buktinya ia tidak langsung mengiyakan keinginan Jasmine, melainkan butuh waktu untuk berpikir. Tapi tak apa, mungkin Se-Hun belum tersadar akan pesona Jasmine seperti dulu.

 

“Baiklah, aku akan menunggu panggilanmu. Kuharap masih ada sedikit tempat bagiku dalam dirimu, Mr. Oh.”

 

Jasmine langsung bangkit setelah menyelesaikan kata-katanya, sedangkan Se-Hun tak membalas, ia hanya mengangkat kedua alisnya bersamaan dan membiarkan Jasmine menghilang di balik pintu.

 

Jasmine Rochester telah kembali, mungkinkah perasaannya pada Se-Hun juga masih sama? Kalau begitu, Se-Hun harus semakin meningkatkan perlindungannya pada Hee-Ra. Ia tidak ingin Jasmine menyentuh Hee-Ra sedikitpun.

 

 

•••

 

 

Hari yang ditunggu-tunggu tiba. Bukan bagi Hee-Ra, tapi semua orang yang ikut andil dalam pementasan—menginggat Hee-Ra telah terdepak gara-gara kakinya terkilir.

 

Se-Hun baru saja keluar dari kamar. Ia mengenakan tuxedo, rambutnya klimis, tampan seperti biasa.

 

Sementara Hee-Ra membalut tubuh indahnya dengan dress biru dongker, keadaan kaki yang tak begitu baik membuat Hee-Ra terpaksa mengenakan sepatu kets, serta alat bantu jalan di kaki kanannya. Ekspresinya tidak menunjukan rasa senang. Muram karena kesal pada kenyataan. Harusnya Hee-Ra yang berdiri di panggung bersama Jong-In, bukannya Emma.

 

Apa sebaiknya Hee-Ra tidak usah datang saja?

 

Tapi ia telah berjanji pada Jong-In untuk menyaksikan pentasnya. Menyebalkan.

 

“Sedang berpikir untuk kabur dari rencana, sister?” Se-Hun mengangkat alisnya. Menyadari Hee-Ra yang tengah gelisah.

 

“Aku tidak sepengecut itu, asal kau tahu,” dustanya.

 

“Kalau begitu kenapa kau tidak segera masuk ke mobil? Mama dan papa sudah menunggumu sejak tadi.”

 

Berbeda dengan Hee-Ra, Shin Jae-Woo dan Kang So-Hee begitu antusias menyaksikan pementasan Jong-In. Mereka telah menganggap Jong-In sebagai anggota keluarga, dan begitu mendapat kabar bahwa kekasih putrinya telah membelikan tiket pertunjukan, mereka langsung kembali dari Birmingham.

 

Dengan kesal Hee-Ra mengikuti Se-Hun dari belakang. Mereka duduk bersampingan di mobil, sementara Shin Jae-Woo menyetir.

 

Dalam perjalanan sang ibu tak henti-hentinya memuji Jong-In. Cukup membuat Hee-Ra kesal karena itu berarti ia harus mengingat Emma.

 

Mereka tiba lima menit sebelum pertunjukan dimulai. Hee-Ra tak berniat pergi ke belakang panggung untuk sekedar melihat Jong-In, melainkan langsung duduk ke kursinya.

 

Pilihan Jong-In bisa diakui sangat bagus. Keluarganya bisa melihat penari dengan sangat jelas, beberapa baris di depan Hee-Ra ada Charlie Sullivans—paman Jong-In beserta istrinya.

 

Bersamaan dengan terbukanya layar, riuh tepuk tangan penonton terdengar selama beberapa detik sebelum akhirnya fokus pada tarian mereka.

 

Instrumental nan indah serta gerakan gemulai penuh perasaan membuat semua yang hadir begitu larut dan menikmati. Tiada bisikan terdengar, semua mata terfokus pada bintang di atas panggung.

 

Begitupula Hee-Ra, ia memang tidak menyukai Emma, tapi itu bukan berarti Hee-Ra tak mengagumi kelihaiannya dalam menari. Jujur saja, Jong-In dan Emma bisa dikatakan sempurna membawakan tarian ini.

 

Hee-Ra memang sakit hati, tapi mau bagaimana lagi? Kenyataan tak bisa dielak, melainkan harus diakui.

 

Hee-Ra tanpa sadar mulai larut dalam tarian, ia begitu mengagumi sosok Jong-In dengan kemeja putih kebesaran dan celana hitam. Ia menari dalam lubang air, gemricik hujan buatan semakin mendramatisir keadaan seolah Jong-In dan Emma adalah pasangan yang tengah dilema. Pandangan Jong-In mengisyaratkan bahwa ia tak ingin kehilangan Emma, begitupun sebaliknya.

 

Perasaan apa ini? Mungkinkah Jong-In hanya larut dalam tarian atau memang berdasar kenyataan?

 

Kenapa pandangannya seperti itu? Hee-Ra tidak menyukainya.

 

Tarian berakhir saat Emma dan Jong-In tengah duduk berdua di kursi taman, saling berpandangan juga berpegang tangan, melepaskan kerinduan yang begitu dalam setelah terpisah lama.

 

Para penonton bangkit dan bertepuk tangan, begitupula keluarga Hee-Ra. Namun tiba-tiba seisi gedung heboh. Emma menarik wajah Jong-In dan menciumnya tanpa permisi, sepersekian detik kemudian, layar tertutup.

 

Hee-Ra tercengang. Apakah memang ada adegan ciuman dalam skrip? Atau Emma yang terlalu larut dalam peran? Oh sungguh, Hee-Ra yakin akhir dari tarian mereka hanya sebatas duduk berdua di atas bangku, bukannya sang gadis agresif menarik si pria dan menciumnya.

 

Ini salah!

 

Emma menumbuhkan perasaan pada Jong-In, dan pria itu hanya terdiam tak kuasa melakukan apapun saat Emma menguasainya.

 

 

•••

 

Inikah yang dinamakan bau kesuksesan? Jong-In menutup matanya, mendengar dan merasakan riuh tepuk tangan penonton yang terhibur olehnya.

 

Dalam kepalanya terbayang senyuman lebar Hee-Ra yang bangga akan dirinya malam ini. Sebuah pelukan hangat serta kecupan manis di kening tentu tak akan berlebihan, bukan? Ia akan segera mencari keberadaan Hee-Ra setelah ini.

 

Namun senyumnya pudar kala seseorang tiba-tiba menarik dan menepelkan bibir dingin itu dengan bibirnya.

 

Jong-In membuka mata, terkejut kala Emma telah menangkup kedua pipi dan menciumnya.

 

Tapi bukan itu masalahnya!

 

Layar masih terbuka dan Emma memberikan ciuman begitu saja? Sontak para penonton semakin heboh, tapi untung saja layar cepat-cepat tertutup sehingga adegan ciuman tak terduga itu hanya berlangsung beberapa detik saja.

 

Jong-In langsung mendorong Emma, tidak terlalu keras tapi sudah cukup membuat gadis itu melepaskan ciumannya.

 

“Apa yang kau lakukan?!” protes Jong-In yang mulai kesal pada kelakuan Emma.

 

Ekspresi tak mengerti tergambar begitu jelas pada wajah Emma. “Apa maksudmu? Aku hanya memberikan ciuman selamat, tidak lebih.”

 

Jong-In bangkit dengan marah. “Kau seharusnya tak melakukan itu, Emma Carter!”

 

“Apa yang salah?!” Tak terima akan kemarahan Jong-In, Emma ikut bangkit dan berteriak, “Kau seharusnya tak membesar-besarkan persoalan kecil seperti ini! Aku hanya memberimu ciuman selamat!”

 

Dagunya mengeras. Pertengkaran mereka secara tak sadar menjadi tontonan bagi para penari lain, begitupula Mrs. Sanders. Ia tak melakukan apapun, takut salah dan malah semakin membuat dua orang itu saling benci.

 

“Bagimu ciuman ini memang biasa, tapi tidak bagi Hee-Ra. Kau harus menghargainya sebagai kekasihku, Emma Carter.”

 

Setelah menyelesaikan kalimatnya, Jong-In langsung beranjak pergi. Meninggalkan Emma yang masih terpaku di tempat, berusaha tak mengambil pusing tatapan-tatapan penuh tanya dari semua orang di sekelilingnya.

 

Yang terpenting, setelah ini Jong-In harus menjelaskan segalanya pada Hee-Ra. Apa yang gadis itu lihat bukanlah kejadian sebenarnya, Jong-In tak pernah berniat untuk mencium Emma.

 

 

TO BE CONTINUED

 

98 responses to “[CHAPTER 5] SALTED WOUND BY HEENA PARK

  1. “Lalu apakah kau pernah menghitung, berapa kali telah menyakiti perasaanku yang jelas tulus padamu?”
    “Sanggupkah kau berada di posisiku? Sebagai pihak yang selalu ditolak dan tak diinginkan, Shin Hee-Ra?”
    entah kenapa, suka bgt sama kalimat kutipan di atas.. intiny, nge-feel bgt sama keadaanny Sehun.. kasian bgt 😞
    Waahh.. ada Jasmine niih. Sainganny Heera?? :v wkwkwkwkwk siap” aja yaa, Heera.. Jasmine bukan sembarang orang (??) -mungkin.
    Dasar si Emma itu!! main nyolot ajaa(??) Heera sempet liat.. masalah lagi niiih 😌

  2. Emang Aku nething-an kali, yak? Kai, maafkan Akuu 😂…
    Aku takut Jasmine buat Hee Ra tersakiti… 😞 Aku lanjut 😉.

Leave a reply to osehn96 Cancel reply