[CHAPTER 6 ] SALTED WOUND BY HEENA PARK

salted-wound-cover

“Kau milikku, sudah kukatakan dari awal, bukan? Kau adalah milikku.”- Oh Se-Hun

.

A FanFiction 

by

Heena Park

.

SALTED WOUND’

.

Starring: Shin Hee Ra-Oh Se Hun-Kim Jong In

.

Romance–Incest-Thriller–PG15–Chaptered

.

Wattpad : Heena_Park

Facebook : Heena

.

Notes : ff ini juga aku share di WATTPAD. And thanks to Byun Hyunji for this awesome poster!

.

.

Prev :

TEASER

CHAPTER 1

CHAPTER 2

CHAPTER 3

VIDEO TRAILER

CHAPTER 4

CHAPTER 5

.

 

Seusai acara, Hee-Ra buru-buru mengajak keluarganya pergi, tak berniat untuk sekedar mengucapkan selamat pada Jong-In maupun Emma. Sang ibu juga tak protes, beliau bisa mengerti perasaan Hee-Ra yang tengah terluka karena kejadian barusan, meskipun dalam hati, beliau tetap mengira bahwa adegan ciuman Jong-In dan lawan mainnya sudah diatur.

 
Tak ada suara terdengar kecuali alunan musik klasik serta mesin sepanjang perjalanan. Hee-Ra terus menewarang keluar jendela, sementara Se-Hun megamati dari samping.  Pria itu tersenyum tipis. Ia senang karena dengan kejadian ini berarti hubungan Hee-Ra dan Jong-In tidak akan sebaik sebelumnya, tapi di satu sisi ia juga sedih, Se-Hun tak suka melihat raut patah hati Hee-Ra.

 
Bahkan sesampainya di rumah, Hee-Ra langsung ke kamar tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun. Sudah cukup membuat Kang So-Hee khawatir. Tapi mau bagaimana lagi? Beliau tak ingin ikut campur dalam urusan percintaan putrinya.

 
Hee-Ra mematikan ponselnya, kemudian melemparkan badan ke kasur tanpa berganti baju atau sekedar melepas sepatu. Ia terlalu lelah—bukan, hatinya terlalu lelah.

 
Rasa pedulinya pada Jong-In seolah luntur malam ini. Masa bodoh berapa kali pria itu akan mencoba menelpon atau mengirim pesan, ia tak berniat menyalakan ponselnya. Ia butuh waktu untuk sendiri, untuk menerima kenyataan bahwa Jong-In membiarkan Emma menciumnya. Entah sengaja atau tidak.

 
Dalam diam dan kegelisahannya, hawa dingin berhasil membuat Hee-Ra menyerah dan terlelap. Tidur begitu dalam sampai-sampai tiada bayangan akan kenangan pahitnya barusan.

 
Gagang pintu bergerak, seorang pria berkaus coklat masuk begitu saja. Ia langsung duduk di pinggir kasur Hee-Ra, memandang gadis itu dari atas ke bawah.

 
Mendapati Hee-Ra masih megenakan sepatu, Se-Hun segera bergeser dan melepaskan sepatu tersebut dari kaki Hee-Ra. Takut kalau gadisnya terluka.

 
“Kenapa kau bebal sekali, sih? Apa satu kaki tak cukup membuatmu sadar bahwa kesehatan itu mahal?” Se-Hun mendesah.

 
Setelah melepaskan sepatu dari kaki Hee-Ra, Se-Hun kembali mendekat, kali ini ia mengusap lembut kening gadis itu. Menyingkirkan poni yang mengganggu pandangannya dan mengecup sejenak puncak kepala Hee-Ra.

 
“Tidur nyenyak, sayang. Kuharap besok kau bisa melihat kesungguhan hatiku.”

 
Setelah puas mengamati wajah Hee-Ra, Se-Hun segera beranjak. Ia tentu tidak ingin mendengar teriakan penolakan dari Hee-Ra ketika mengetahui dirinya tengah ada di sana.

 

 

•••

 

 
Pagi-pagi sekali Jong-In telah menunggu di depan gerbang rumah Hee-Ra. Berharap gadis itu segera keluar dan ia bisa menjelaskan kejadian sebenarnya.

 
Namun nihil, hampir satu jam berlalu dan belum ada tanda-tanda kehadiran Hee-Ra. Mungkinkah ia mengetahui kalau Jong-In ada di luar dan sedang menunggunya? Makanya Hee-Ra tak keluar.

 
Sebagai seorang pria seharusnya Jong-In memberanikan diri untuk menekan bel dan bertanya pada siapapun yang keluar, adakah Hee-Ra di dalam?

 
Ya! Benar, kenapa ia tak melakukannya sejak tadi? Oh tentu, pikirannya sedang kalut hingga bersikap layaknya anak SMP yang tengah pacaran dalam diam.

 
Tunggu dulu, bagaimana kalau yang keluar bukanlah Hee-Ra atau orang tuanya, melainkan Se-Hun? Pria itu jelas tidak akan membiarkan Jong-In menemui adiknya, kan? Menyebalkan sekali.

 
Oh ayolah, setidaknya Jong-In harus mencoba dulu. Siapapun yang keluar tak jadi masalah, tujuannya saat ini untuk menemui Hee-Ra, ia tak boleh menyia-nyiakan waktu.

 
Setelah sempat berpikir beberapa detik, Jong-In akhirnya memberanikan diri untuk menekan bel. Hatinya terus berdoa semoga Hee-Ra atau orang tuanyalah yang keluar dan bukan Se-Hun. Ia tak suka pada Se-Hun, bukan, lebih tepatnya Jong-In tak begitu nyaman apabila harus berhadapan dengan Se-Hun.

 
Sayangnya keberuntungan tak berpihak padanya. Wajah dingin itu muncul, seorang pria bermata tajam keluar dengan angkuhnya, bersikap seolah Jong-In tak seharusnya berada di sini.

 
Jantungnya berdegup kencang, entah kenapa setiap kali menghadapi saudara laki-laki Hee-Ra selalu terasa menegangkan. Sepertinya pria itu tidak menyukai kehadiran Jong-In. Baiklah, siapapun pasti bisa membaca pikiran Se-Hun, ia memasang wajah datar dengan tatapan yang sangat tajam pada Jong-In.

 
“Bisa kau panggilkan adikmu?”

 
Se-Hun menengok sebentar ke belakang, beberapa detik kemudian ia kembali menatap Jong-In. “Tidak.”

 
“Kalau begitu bisakah kau membiarkan aku masuk dan memanggilnya?”

 
“Tidak akan pernah.”

 
Jong-In mendengus, kali ini ia berkacak pinggang. “Hei, apa kau memiliki dendam padaku? Apa aku salah jika menjalin hubungan dengan adikmu?”

 
Melihat reaksi Jong-In barusan, Se-Hun tertawa licik. Ia mengalihkan pandangannya dari Jong In. “Aku bersumpah kau tidak akan pernah bisa memilikinya.”

 
Apa pria ini mabuk? Maksudku, Jong-In sudah menjalin hubungan dengan Hee-Ra, tapi kenapa Se-Hun berkata seolah Hee-Ra belum menjadi miliknya?

 
Jong-In mendesis, “Terimalah kenyataan Oh Se-Hun, adikmu adalah kekasihku.”

 
“Tahu apa kau tentang menerima kenyataan?” tanya Se-Hun, lebih pada dirinya sendiri. “Akan kuberitahu kau tentang apa itu menerima kenyataan, sesegera mungkin.” Senyum licik kembali mengembang, hanya segaris tipis namun penuh arti. Berhasil membuat Jong-In bertanya-tanya apa maksud dari perkataan Se-Hun barusan.

 
Well, kusarankan kau pergi saja. Aku berani bertaruh kalau Hee-Ra tak berniat untuk menemuimu setelah apa yang kau lakukan, dude.”
Setelah dipikir-pikir, ucapan Se-Hun ada benarnya juga. Kalau saat ini Jong-In yang berada di posisi Hee-Ra, sudah pasti ia malas untuk menemui gadis itu. Ia butuh waktu untuk menenangkan diri dan menata hati. Namun layaknya orang dewasa, seharusnya mereka bisa duduk berhadapan dan saling menjelaskan. Diam dan lari hanyalah sifat kekanakan serta egoisme yang akan mempersulit keadaan.

 
“Baiklah, aku akan pergi,” kata Jong-In akhirnya. “Tapi aku tidak akan menyerah untuk menemuinya lagi. Mungkin Hee-Ra memang butuh waktu sendiri.”

 
Tidak ada jawaban dari Se-Hun selain tatapan mengusir. Dengan langkah gontai, Jong-In berjalan ke mobil, sesaat sebelum menyalakan mesin, kedua matanya menerawang ke jendela kamar Hee-Ra. Apakah gadis itu benar-benar marah? Andai dia tahu kalau Jong-In tidak berniat mencium Emma dan hanya menjadi korban.

 

 

•••

 

 
Setiap orang memiliki hobi, begitupula Jasmine. Ia dengan penuh penghayatan menggesek senar biolanya, menciptakan sederetan nada indah nan menyentuh hati. Sungguh, sisi tak terduga dari seorang pembunuh cantik berdarah dingin, bukan?

 
Bermain biola sudah ditekuninya sejak kecil, beberapa tahun sebelum ia dijual pada Bruce oleh ibu tirinya sendiri, dan betapa baiknya Bruce Waylon ketika ia berkata akan membiayai les biola Jasmine.

 
Bruce selalu bilang, apapun pekerjaanmu, entah baik atau tidak, hobi dan keahlian harus tetap dikembangkan.

 
Miss. Rochester, klien anda sudah menunggu di ruang tamu,” ujar seorang pria bertuxedo setelah tiga kali mengetuk pintu kamar Jasmine.

 
Jasmine mengerjap, ia menaruh biolanya dengan agak kesal. Kenapa sih orang itu harus datang di saat yang tak tepat? Jasmine butuh waktu lebih lama untuk menyalurkan bakatnya.

 
“Aku akan segera keluar,” ujar Jasmine kemudian.

 
Ia segera menggerai rambutnya. Berbeda dengan Se-Hun yang selalu mengenakan topeng, Jasmine lebih suka tampil apa adanya. Ia tidak masalah kalau sang klien mengetahui jati dirinya, toh kalau mereka berani macam-macam taruhannya adalah nyawa.

 
Organisasi begitu memperhatikan keselamatan anggota. Sebelum melakukan keinginan klien, mereka diwajibkan menandatangani perjanjian hitam di atas putih yang berisi kesepakatan untuk tidak menyeret nama sang pembunuh apabila suatu hari kedok mereka ketahuan, dalam arti kesalahan berada pada sang klien. Apabila klien melanggar perjanjian, maka organisasi tak akan tinggal diam dan menghabisi nyawa orang tersebut.

 
Sesuai prosedur, Jasmine meraih map di atas meja dan membawanya keluar. Seorang pria berusia sekitar akhir lima puluhan tengah berbincang dengan Bruce Waylon, seolah mereka telah kenal lama.

 
Oh, Jasmine Rochester, my dear!” Bruce melebarkan kedua tangannya, membanggakan Jasmine yang tengah berjalan menghampirinya.

 
“Jasmine Rochester,” gumamnya memperkenalkan diri. “Organisasi bilang, akan ada klien yang kemari.”

 
Pria yang tadinya tengah mengobrol dengan Bruce-pun bangkit. “Alexander Jones, senang bertemu denganmu, pretty.”

 

Jasmine tersenyum ramah kemudian duduk di samping Bruce. Ia menyodorkan map hijau kepada Alexander dan bergumam, “Anda tentu sudah tahu perjanjiannya, bukan?”

 

Pria itu megangguk mantap. “Ya, menandatangani perjanjian dan membayar lima puluh persen di awal.”

 
Jasmine mengangguk dua kali. Ia mengerutkan kening. “Well, siapa orang yang harus kulenyapkan, Mr. Jones?”

 
Pria yang dipanggil Mr. Jones itu tersenyum tipis, ia mengeluarkan amplop coklat dari tas, kemudian memberikannya pada Jasmine.

 
“Seorang pria Korea yang sangat mengesalkan. Aku muak melihat sikap angkuhnya,” ujar Alexander.

 
Jasmine segera mengambil amplop tersebut. Batinnya berkata bahwa sesungguhnya Alexander hanya iri pada target. Setelah dilihat-lihat, pria yang menjadi targer Alexander adalah orang sukses yang kemungkinan selalu mengalahkannya.

 
“Shin Jae-Woo, usianya empat puluh sembilan tahun. Oh, dia tampan juga.” Jasmine tanpa sadar berkata-kata, memuji sosok pria tampan di foto.

 
Tidak, ia bukannya menyukai pria yang berusia jauh lebih tua darinya. Hanya saja, orang yang ada di foto itu memang benar-benar tampan. Jasmine bahkan sebelumnya mengira bahwa Shin Jae-Woo masih berusia pertengahan tiga puluhan. Sayang sekali orang setampan ini harus dilenyapkan.

 
Setelah mengamati beberapa saat, Jasmine kembali memasukkan foto dan beberapa lembar dokumen ke amplop.

 
“Aku akan menyamar dengan melamar pekerjaan di perusahaannya. Seperti keinginanmu, aku akan membunuhnya secara perlahan dan menyakitkan, Mr. Jones.”

 

 

•••

 

 
Bangun kesiangan membuat Hee-Ra harus diantar oleh sang ayah ke kampus. Ia masih belum boleh mengendarai mobil meskipun kakinya sudah jauh lebih baik, lagipula Shin Jae-Woo juga tidak keberatan kalau diminta untuk mengantar putri satu-satunya itu.

 
Sepanjang perjalanan, Hee-Ra telah menguap entah tujuh atau delapan kali. Kepalanya dibiarkan menyandar ke kaca jendela, sementara matanya kadang tertutup dan terbuka. Aku yakin dia tidak kurang tidur kemarin malam, tapi kenapa pagi ini tetap mengantuk seperti itu?

 
“Papa dengar tadi pagi Jong-In mampir ke rumah.” Shin Jae-Woo mengawali percakapan.

 
Tidak ada gerakan berarti dari Hee-Ra seperti apa yang diharapkan ayahnya. Gadis itu tetap kelihatan mengantuk dan tak begitu fokus—atau lebih tepatnya tidak tertarik—pada topik pembicaraan.

 
“Aku sudah menduganya,” balas Hee-Ra cepat.

 
“Kau tidak berniat memaafkannya?” Mata Shin Jae-Woo menyipit. Sebelum Hee-Ra membalas, ia cepat-cepat menambahi, “Bukannya ingin ikut campur, hanya saja papa yakin Jong-In adalah pria baik, aku bisa melihat ketulusannya padamu, sayang.”

 
Kurasa tidak ada pria baik yang pasrah ketika bibirnya dijamah wanita lain begitu saja.

 
“Pertengkaran, salah paham, orang ketiga, semua itu wajar dalam suatu hubungan. Begitupula papa dan mama, kisah kami tidak berjalan mulus begitu saja,” ungkap Shin Jae-Woo. Matanya menatap lurus ke jalanan.

 
“Apa kalian tidak ingin membicarakannya secara baik-baik? Terkadang kita harus megalahkan ke-egoisan dan berusaha menerima penjelasan.”

 
Hee-Ra terdiam. Pikirannya melayang. Kalau dipikir-pikir memang Jong-In tidak salah seratus persen, bagaimanapun pria itu pasti sangat terkejut saat Emma tiba-tiba menciumnya. Tapi tetap saja, perasaan wanita tidak akan mau menerima penjelasan seperti itu.

 
Intinya, apapun kebenarannya, Jong-In tetap salah. Titik.

 
“Kalau ada pria yang cukup baik untukku, kurasa sifatnya sebelas-duabelas dengan papa,” kata Hee-Ra akhirnya.

 
Shin Jae-Woo tertawa, pipinya merona ketika mendengar pujian dari putrinya. Sepersekian detik kemudian, setelah tawanya reda, Shin Jae-Woo kembali menunjukkan raut serius.

 
“Kalau ada pria yang cukup baik untukmu, kuharap ia memiliki sifat seperti kakakmu.”

 
Kakak?

 
Hee-Ra membulatkan matanya, tak percaya pada apa yang didengarnya barusan. Apa yang bagus dari sifat Se-Hun? Si penjahat berdarah dingin yang suka mempermainkan wanita.

 
“Kuharap ini salah, tapi terkadang papa melihat tatapan bencimu pada Se-Hun.”

 
Oh tentu, Hee-Ra sangat membenci Se-Hun.

 
Shin Jae-Woo melirik Hee-Ra sebentar, hanya beberapa detik kemudian kembali. “Se-Hun, walaupun dia bukan anak kandung papa, tapi papa sangat bangga padanya. Dia patut untuk dicintai, sayang.”

 
Ingin rasanya Hee-Ra melayangkan protes pada ayahnya. Ia bisa saja membongkar seluruh kedok kejahatan Se-Hun, tapi Hee-Ra tak sampai hati untuk menghancurkan kebanggaan sang ayah.

 
“Papa tidak tahu apa yang membuatmu kadang melemparkan tatapan benci pada Se-Hun, mungkin karena ia adalah anak hasil hubungan di luar nikah mamamu, atau apapun itu. Tapi ketahuilah sayang, dia sangat mencintaimu. Dia benar-benar berusaha melindungimu sebagai adiknya.”

 
Hee-Ra menggeleng. “Aku tidak mengerti arah pembicaraan papa,” ungkapnya bingung.

 
Sayangnya Shin Jae-Woo tak berniat untuk menejelaskan. Ia hanya menarik salah satu ujung bibirnya. “Ada banyak hal yang telah Se-Hun lakukan untukmu dan keluarga kita. Suatu hari nanti kau akan mengetahuinya, sayang.”

 
Kepalanya penuh tanda tanya. Kenapa ayahnya berkata seperti itu? Memang apa yang telah dilakukan Se-Hun? Apakah Hee-Ra terlalu keras pada dirinya sendiri untuk tak mempedulikan sang kakak hingga tidak mengetahui apapun? Aneh sekali.

 
“Sayang?”

 
Hee-Ra mengangkat alisnya. “Iya, pa?”

 
“Kosongkan jadwalmu selama lima hari, mulai Rabu.”

 
Eh? Memang kenapa?

 
Hee-Ra menatap penuh tanya. “Apa kita akan pergi ke suatu tempat?”

 
Shin Jae-Woo mengangguk mantap. Setelah memikirkannya semalaman, sepertinya keluarga kecilnya memang butuh liburan untuk saling merekatkan hubungan satu sama lain.

 
“Kita akan berlibur ke Venice.”

 

 

•••

 

 
Se-Hun baru saja memutus panggilan teleponnya. Shin Jae-Woo barusan menghubungi dan berkata kalau Se-Hun harus mengosongkan jadwalnya selama lima hari mulai Rabu.

 
Tanpa dijelaskanpun Se-Hun sudah mengerti kalau ayahnya sengaja mengajak berlibur karena akhir-akhir ini mereka memang tak punya cukup waktu untuk berkumpul, selain itu, empat hari lagi Hee-Ra akan berulang tahun yang ke dua puluh dua. Mungkin ayahnya ingin sesuatu berbeda diulang tahu Hee-Ra kali ini.

 
Sudah beberapa hari belakangan ia memikirkannya, hadiah apa yang cocok untuk Hee-Ra? Gadis itu tidak menyukai make up, tidak juga fashion, lalu apa yang pantas? Kalung dan gelang bukanlah pilihan yang tepat, kurasa.

 
Sebenarnya ada satu hal yang lebih penting dari semua itu. Seindah atau sebagus apapun hadiahnya, bila Hee-Ra tak mau menerima apakah ada manfaatnya? Tahun lalu bahkan Hee-Ra tak berniat membuka kotak kado dari Se-Hun, sehingga sampai sekarang masih berada di tangan Se-Hun.

 
Padahal kotak itu berisi boneka Sally, bebek kecil yang sangat disukai Hee-Ra sejak lama.

 
Ah, yang paling menyedihkan adalah Se-Hun sudah terbiasa ditolak. Ia sangat terbiasa.

 
Padahal tujuannya selama ini hanya mengarah pada Hee-Ra. Ia ingin gadis itu juga menginginkannya, ia ingin Hee-Ra membalas perasaannya, ia ingin Hee-Ra melihat ketulusannya. Walau memang kenyataannya sangat susah, mengingat betapa bencinya gadis itu pada Se-Hun—si pembunuh berdarah dingin.

 
Ditolak itu tidak enak, ditolak itu menyakitkan, terlebih lagi setelah begitu banyak pengorbanan yang ia lakukan selama ini. Tapi kembali pada kenyataan, Hee-Ra adalah kelemahannya, Hee-Ra adalah satu-satunya hal yang membuat Se-Hun tetap memiliki hati nurani, dan Hee-Ra adalah satu-satunya alasan bagi Se-Hun untuk terus hidup

 

TO BE CONTINUED

 

86 responses to “[CHAPTER 6 ] SALTED WOUND BY HEENA PARK

  1. Kasian jongin diabaikan. Kasian juga sih sama sehun kesiksa batinnya , padahalkan dulu yg suka itu heera tapi sekarang kok kayanya kebalik

  2. Wajar aja sih Hee Ra ngabaikan Jongin. Meski itu gak segajaa tetap aja sakit bila harus melihat pacar kita ciuman sama cewek lain

  3. Penasaran bgt… Se Hun emang ngebunuh siapa, sih?
    Aduh, Ayahnya Hee-Ra mau dibunuh, bukan? 😮😱
    Aku lanjut baca, Kakak authoor ^^…

Leave a reply to Heena Park Cancel reply