Honey Cacti [Chapter 8]

honey-cacti-poster-3-seohun

Ziajung’s Storyline©

Casts: Oh Se Hun | Choi Seo Ah | Kim Jong In| Lee Ji Eun | Kim Seol Hyun

Genre: Romance, Comedy, Drama

Prev: Prolog || Chapter 1 || Chapter 2 || Chapter 3 || Chapter 4 || Chapter 5 || Chapter 6 || Chapter 7

———————————————–

Chapter 8—New Chapter

 

“Ayo, kita mulai cerita bersama.”

 

***

                Seo Ah tahu, harusnya ia sama sekali tidak boleh memikirkan yang namanya ‘Kim Jong In’ lagi. Dan harusnya juga ia membencinya setengah mati, sampai kalau perlu mengutuk keturunannya. Tapi bagaimana pun tujuh tahun bukan waktu yang sebentar. Tujuh tahun adalah waktu yang cukup untuk Seo Ah mengenal luar-dalam Jong In, mencintainya sekaligus membencinya, dan membuat kenangan indah yang terus membekas di hatinya.

Namun di satu sisi, semakin Seo Ah mengenang semua itu, semakin nyata luka yang ditorehkan pria itu. Seo Ah tidak mau mendengar permintaan maaf Jong In, apapun alasannya. Ia tidak mau melihat dirinya menjadi lemah lalu dihancurkan kembali. Dan ia juga tidak mau membenci Jong In lebih dari ini.

Semua itu membuat kepala Seo Ah sakit.

Ia tidak bisa tidur semalam, dan berangkat ke kantor dengan wajah pucat. Seo Ah bersyukur kepada siapa saja yang membuat make-up menjadi trademark Korea, karena barang-barang itu dengan ajaibnya menghilangkan kantung mata dan bibir pucat Seo Ah. Di rumah, ia hanya ditemani Jung Ahjumma karena ibunya masih di rumah sakit dan Jeong Min bekerja. Tidak ada teman bicara dan kebosanan selama di rumah membuat Seo Ah makin frustasi memikirkan ucapan Jong In di kafe.

                [Aku ingin meminta maaf]

Semudah itu?!

                Setelah dia jelas-jelas membuangku di depan selingkuhannya.

                [Aku kembali ke Korea untuk menemuimu]

Tapi… dia sudah jauh-jauh datang hanya untuk menemuinya. Belum lagi karir model yang—mungkin saja—ditinggalkannya. Hah… semua itu membuat hati Seo Ah cukup bergetar.

Tidak! Aku tidak bisa!

Seo Ah menggelengkan kepalanya tanpa sadar. Sekarang dia sudah ada di kantor, menunggu lift untuk naik ke lantai atas. Beberapa karyawan yang juga sedang menunggu lift melihat Seo Ah dengan dahi berkerut, namun tidak ada yang berani mengatakan apapun. Sampai akhirnya pintu lift terbuka dan para karyawan berdesakan masuk ke dalam lift.

Tubuh Seo Ah tersenggol beberapa kali sebelum akhirnya berhasil ikut masuk. Pintu lift hampir tertutup ketika sebuah tangan ramping menahan pintu itu sehingga pintu itu kembali terbuka. Sesosok tubuh tinggi dan langsing yang dibalut mantel merah muda dan celana jeans boot cut yang tampak pas ditubuhnya. High heels merah mudanya mengetuk indah, memasuki lift yang sudah dipenuhi tatapan memuja juga iri.

“Oh, Seo Ah-ssi, selamat pagi.”

Seo Ah, yang merasa namanya dipanggil, menoleh cepat. Kim Seol Hyun tersenyum dengan gaya khasnya—anggun dan sedikit sinis. Tubuhnya yang tinggi dan ramping tampak menonjol di dalam lift yang sempit ini. Seo Ah mau tidak mau membalas dengan sekadarnya, dan kembali menatap ke depan. Terlalu lama melihat Seol Hyun, hanya akan membuat kepalanya makin pusing. Tentu saja, karena itu mengingatkannya dengan satu orang yang membuat hidupnya jungkir balik dalam satu malam.

Kim Young Kwan—Presdir Kim.

“Kau tampak sangat bersinar akhir-akhir ini.” Ucapan yang Kim Seol Hyun tiba-tiba membuat Seo Ah lagi-lagi harus menoleh. Tapi sialnya wanita itu sama sekali tidak menatapnya. “Apa kau sedang berkencan? Ah, tapi kau kan baru putus dari Jong In Oppa.”

Seo Ah tidak menjawab, karena menganggap pertanyaan itu hanya omong kosong. Belum lagi Seol Hyun jelas-jelas memanggil Jong In dengan ‘oppa’. Ah, ini gila! Apa wanita ini selalu memanggil pria tampan dengan ‘oppa’? Kenapa tidak ada satu hari pun Kim Seol Hyun tidak mengganggunya, bahkan di hari sepagi ini!

“Mungkin hanya perasaan Anda saja, Manajer Kim.” Tanpa menoleh, Seo Ah merespon dengan datar. Ia sedang tidak ingin berdebat dengan siapapun saat ini, termasuk dengan dirinya sendiri.

Lift berhenti di lantai ruang kantor Seo Ah. Seol Hyun yang terlebih dahulu melangkah keluar, diikuti Seo Ah dengan langkah malas. Ia memang sangat membenci kantor ini, tapi ia lebih membenci kalau harus bertemu Seol Hyun di hari sepagi ini. Hari kesukaannya adalah ketika ia tidak harus bertatap muka dengan Seol Hyun seharian.

So Dam menyapa mereka berdua ketika keduanya masuk ke ruang divisi mereka. Selain So Dam, di ruangan itu juga sudah ada Da Won yang sedang merapikan dokumen di meja Eun Ji dan Seo Ah. So Dam dan Da Won adalah ‘anak baru’ di divisi itu, jadi tidak mengherankan kalau mereka yang paling rajin datang pagi dan berberes.

Seperti biasa, Seol Hyun sama sekali tidak merespon dan langsung berbelok ke ruangannya. Seo Ah mendecih kecil, lalu beralih pada So Dam dan menyapanya ringan. Ketika Seo Ah menarik kursinya ingin duduk, So Dam tiba-tiba saja mengulurkan sebuket mawar merah muda yang tampak indah dan merekah, dengan senyuman lebar sampai ujung bibirnya hampir menyentuh telinga.

“Apa ini?” tanya Seo Ah, belum menerima buket mawar itu.

So Dam malah makin tersenyum lebar, bahkan sekarang ia mengerling genit pada Seo Ah. “Eiy… kenapa bertanya padaku? Aku tidak tahu loh kalau Seonbae ternyata memiliki banyak teman pria.”

Seo Ah memutar bola matanya. “Dari siapa?”

“Dia juga mengirimkan kartu untukmu.” Ucap So Dam sambil mengambil sebuah kartu dari sela bunga-bunga mawar itu.

Tidak ada pilihan lain, Seo Ah mengambil buket bunga itu sekalian kartunya. Tapi So Dam tidak lantas meninggalkan Seo Ah, ia tetap berdiri di depan meja Seo Ah dengan senyum yang sama. Seo Ah menatap So Dam, seolah menyuruhnya pergi tanpa mengucapkan apapun. Namun So Dam tetap di sana, membuat Seo Ah hanya menghela nafas dan membiarkan anak itu mengintip tulisan kartu di tangannya.

 

Pertemuan kita kemarin tidak berjalan dengan baik. Aku berharap bunga ini bisa menyampaikan isi hatiku untukmu. Aku akan menghubungimu.

-Kim Jong In-

 

“Uh… lihat, lihat, siapa yang sudah mendapat kiriman romantis sepagi ini.”

Seo Ah menahan umpatan yang sudah sampai ujung lidahnya ketika mendengar suara Eun Ji. Sebagai gantinya, ia hanya meremas kartu itu dan membuangnya dengan cepat ke tempat sampah. Kim Jong In memang ahli dalam mengacaukan hatinya, sampai Seo Ah sendiri bingung. Ia tidak tahu harus marah atau bahagia, tapi di satu sisi ia juga ingin menangis. Kepala Seo Ah rasanya ingin meledak.

“Dari siapa? Pacarmu yang di Amerika itu?”

“Bukan siapapun.” Seo Ah pun membuang buket bunga itu ke tempat sampah. Sebenarnya sebagian hatinya tidak tega melihat bunga tanpa dosa itu harus berakhir menjadi buangan—ya, seperti dirinya waktu itu. Tapi kalau dia menerimanya, dia seperti sedang mengkhianati dirinya sendiri.

Seonbae! Apa yang Seonbae lakukan?!”

Seo Ah hanya diam saja ketika So Dam dengan paniknya mengambil kembali buket mawar itu. Ternyata pekikkan dan keributan kecil itu membuat seorang Kim Seol Hyun penasaran dan mengintip dari balik tirai ruangannya. Anak buahnya memang suka ribut, tapi topik yang mereka bahas membuat Sel Hyun tertarik.

Choi Seo Ah mendapat kiriman bunga? Dari pacarnya yang di Amerika? Bukankah itu artinya Jong In Oppa? Tapi bukankah mereka sudah berakhir, dan itu berarti tidak ada alasan untuk Jong In mengirim bunga itu, terlebih kalau ia memesan khusus dari Amerika. Atau jangan-jangan… Jong In meminta Seo Ah kembali?

Tunggu! Atau jangan-jangan kalau itu bukan dari Jong In tapi dari…

“Tidak.” Seol Hyun buru-buru mengenyahkan pikirannya. Ia belum punya bukti kuat atas pikiran gilanya itu. Bisa saja kalau yang waktu itu ia lihat hanya kebetulan.

Tapi kalau itu bukan hanya sekadar kebetulan, maka Choi Seo Ah dalam masalah besar.

***

                Seo Ah menyenderkan punggungnya ke kursi sambil meregangkan kedua tangannya ke atas kepala. Setelah keributan kecil pagi tadi, ia berusaha mengalihkan perhatian dengan fokus bekerja. Bunga terkutuk itu juga sudah berpindah ke meja So Dam. Meski begitu, Seo Ah tidak bisa menahan bola matanya untuk tidak melirik bunga itu. Bunga mawar yang cantik dan menyebarkan aroma segar di seluruh ruangan. Tapi Seo Ah tidak ingin menyentuhnya, juga memandanginya terlalu lama. Ia tidak ingin hatinya kembali lemah.

Seo Ah tersentak ketika ponsel di mejanya bergetar tanda sebuah panggilan masuk. Getaran ponsel yang cukup keras itu tidak hanya membuat Seo Ah, yang sedang termenung sambil memandangi bunga mawar itu, terkejut tapi juga karyawan yang lain. Seo Ah pun dengan cepat mengambil ponsel itu dan menjawab panggilan.

“Halo?”

                “Kau sudah makan siang?”

Seo Ah tidak menjawab langsung. Seketika hatinya kembali bergemuruh mendengar suara pria di seberang sana. Ah, benar, ia pasti sudah membuat Se Hun bingung dengan sikapnya kemarin. Dan Seo Ah tidak menghubungi sejak waktu itu, pasti Seo Ah sudah dianggap wanita jahat.

“Belum.” Jawab Seo Ah akhirnya.

Seo Ah bisa mendengar decakan dari ujung sana, dan entah kenapa itu malah membuat hati Seo Ah sedikit meringan. “Kantor macam apa yang belum mengizinkan karyawannya makan siang jam segini?”

Mendengar ucapan Se Hun, Seo Ah refleks melihat jam tangannya. Ternyata memang sudah masuk jam makan siang. Tapi karena pekerjaan mereka sedang banyak hari ini sehingga tidak ada yang bergerak, Seo Ah tidak menyadarinya. Tanpa sadar, ia pun terkekeh sendiri.

“Pekerjaan kami sedang banyak.”

“Ayo makan siang bersama.”

Hanya makan siang tidak buruk juga, terlebih Seo Ah sepertinya harus meminta maaf soal hari itu pada Se Hun. Ah, Seo Ah juga harus berterima kasih karena Se Hun menemaninya ke rumah sakit. Seo Ah tidak sedang dalam posisi bisa menolak Se Hun. Tapi ia juga tidak tahu harus menunjukkan wajah seperti apa pada Se Hun nanti. Pikiran Seo Ah terus berdebat sendiri sampai membuat kepalanya pusing, ketika suara Se Hun kembali menyapanya.

“Bagaimana? Tidak mau?”

Hah… baiklah, aku harus menyakinkan diriku sekarang. “Baiklah. Kita bertemu di restoran saja. Kau mau makan di mana?”

                “Tidak perlu, aku sudah di depan kantormu.”

“APA?!”

                “Kapan kau turun? Ototku sudah kendur semua karena terlalu lama menunggumu.”

Se Hun memang selalu bisa membuat perasaannya teraduk-aduk dalam satu waktu sekaligus. Sebentar Seo Ah sudah merasa tersanjung dengan ucapan hangat pria itu, tapi sikapnya yang selalu seenaknya sendiri lagi-lagi sukses membuat Seo Ah jengkel. Seo Ah pun meremas ponsel yang masih menempel di telinganya itu. Harus dengan apa ia menasehati Oh Se Hun ini.

                “Ya, kau tidak mau turun juga? Atau aku yang harus menjemputmu ke sana?”

“Iya, iya, aku akan turun!” balas Seo Ah dengan nada kelewat ketus—hampir berteriak—sambil meraih tasnya dengan kasar. “Akan kubunuh kau kalau berani ke sini!”

Bukannya takut, Seo Ah malah mendengar tawa renyah Se Hun dari seberang sana. “Baiklah, Sayang. Pelan-pelan saja, aku tidak ingin kau tersandung kakimu sendiri.”

Seo Ah tidak menjawab, hanya memautuskan panggilan itu sambil mengumpat pelan. Ia pun menyuruh para bawahannya untuk makan siang juga sebelum meninggalkan ruangan divisi dengan langkah terburu-buru. Ia juga menekan tombol lift dengan tidak sabar. Mendapat kiriman bunga dari Jong In saja sudah cukup membuat kepalanya ingin pecah, tidak bisa dibayangkan bagaimana kalau Se Hun sampai datang ke sini dan bertingkah menjijikan seperti biasanya. Seo Ah tidak punya cara lain selain menuruti kemauan pria itu.

Pintu lift terbuka tepat saat Seo Ah merasakan kehadiran seseorang di sebelahnya. Kim Seol Hyun sudah berdiri dengan anggun sambil membawa tasnya. Dalam hati, Seo Ah terus mempertanyakan apa dosa besar yang telah ia lakukan di kehidupan sebelumnya, sampai harus bertemu Kim Seol Hyun setiap waktu. Namun karena sedang tidak ingin berdebat, Seo Ah masuk saja ke dalam lift dan diikuti dengan Seol Hyun.

“Anda ingin ke lantai berapa, Manajer Kim?” tanya Seo Ah, dengan jari yang sudah siap di atas tombol lift.

“Bagaimana denganmu?”

“Apa?”

Seol Hyun tersenyum sambil mengibaskan rambutnya. “Sebenarnya aku ingin makan siang dengan ayahku, tapi… ada urusan kecil di lantai dasar, jadi tidak masalah kalau kau ingin ke lantai dasar.”

Sambil menekan tombol ‘GF’, Seo Ah terus mencerna perkataan Seol Hyun barusan. Kenapa wanita ini menjelaskan dengan cara berputar-putar? Apa dia ingin Seo Ah bertanya ada urusan apa dia di lantai dasar, atau mungkin takut dicurigai karena seolah sedang mengikuti Seo Ah? Oh, Seo Ah bukan tipe orang yang mau sibuk-sibuk memikirkan itu. Apalagi kalau orang itu adalah Kim Seol Hyun.

Keheningan menyelimuti ruang kecil itu sampai akhirnya suara Seol Hyun kembali masuk ke pendengaran Seo Ah. “Apa kau akan pergi makan siang?”

“Iya, begitulah.” Sebenarnya, Seo Ah ingin menjawab dengan lebih kasar seperti; memangnya apa urusanmu? Kenapa terus bertanya? Apa aku juga harus melapor padamu setiap waktu, termasuk ketika jam jelas-jelas sudah menunjukkan jam makan siang tapi kau terus menyuruh kami bekerja?!

Sebagai gantinya, Seo Ah hanya menghela nafas panjang.

“Sendirian? Tidak bersama Jung Eun Ji atau yang lainnya?”

Mulut Seo Ah terbuka lalu terkatup lagi. Ia tidak mungkin mengatakan kalau dirinya akan makan siang bersama Se Hun. Seo Ah masih belum pikun untuk mengingat bagaimana tergila-gilanya Kim Seol Hyun terhadap Oh Se Hun. Wanita ini bahkan pernah memakai pakaian cabai hanya untuk menggoda pria tampan itu.

Ah, iya, Se Hun memang tampan.

Dan, ketika Seo Ah menyadari kalau Seol Hyun sangat cantik dan seksi—yang tampak serasi jika disandingkan dengan Se Hun—membuat Seo Ah kesal sendiri.

“Aku ada janji dengan temanku.”

“Teman….”

Ucapan Seol Hyun yang terdengar menggantung itu, membuat Seo Ah menaikan alisnya. Nada bicaranya terkesan janggal. Entah itu bermaksud pertanyaan atau hanya retoris saja. Jujur, itu cukup mengganggu Seo Ah.

Untungnya perasaan aneh itu dengan cepat menghilang karena lift sudah sampai di lantai dasar. Seo Ah dan Seol Hyun keluar bersamaan. Seo Ah sengaja melambatkan langkah kakinya, dengan maksud mengawasi Seol Hyun. Wanita itu tidak boleh tahu kalau Seo Ah akan menemui Se Hun. Begitu Seol Hyun berbelok ke lorong lain, barulah Seo Ah bisa bernafas lega dan melangkah dengan normal.

Melangkah ke arah pintu masuk, Seo Ah mengambil ponselnya untuk bertanya di mana posisi Se Hun. Namun, sebelum panggilannya tersambung ke Se Hun, sebuah mobil hitam yang Seo Ah kenal. Benar saja, ketika kaca jendela mobil itu diturunkan, Seo Ah bisa melihat pria menyebalkan itu tersenyum di balik kacamata hitamnya. Tanpa sadar Seo Ah memutar bola mata, namun akhirnya naik ke mobil itu. Semakin cepat ia pergi, semakin sedikit risiko yang ia dapatkan.

Meski sebenarnya Seo Ah tidak tahu, selincah apapun gerakkannya, risiko itu tetap ada.

***

                Makan siang Se Hun dan Seo Ah berjalan cukup alot hari ini. Tidak banyak yang terjadi atau yang mereka bicarakan. Hanya obrolan biasa seperti cuaca, urusan kantor, dan sebagainya. Sebenarnya Seo Ah ingin membahas masalah waktu itu, tapi melihat Se Hun seperti tidak ingin membicarakannya, ia pun memendam keinginannya itu. Seo Ah juga melihat Se Hun agak berbeda hari ini. Ia tetap jahil, tapi Seo Ah merasa ada yang berbeda dalam sikap yang ditunjukkan pria itu.

Apa Se Hun sedang menjaga jarak dengannya?

Terus memikirkan sikap Se Hun hari ini, Seo Ah meminta pria itu untuk mampir ke Sungai Han dan berjalan-jalan sebentar di sana. Se Hun pun menurutinya tanpa berdebat. Jadi di sinilah mereka—berjalan berdampingan di pedestrian taman, di tepi Sungai Han. Jarak lima puluh senti yang mereka ciptakan seolah menjadi jurang pemisah di antara keduanya. Se Hun berjalan seperti biasa, dengan gaya khasnya—tenang, berkharisma, dan sedikit genit ketika matanya bertatapan dengan wanita yang sekadar lewat di dekatnya. Tapi Seo Ah belum juga bisa tenang. Ia lebih suka kalau Se Hun memberondongnya dengan pertanyaan, kalau perlu sampai membuat pertengkaran, daripada bersikap biasa namun terkesan dingin seperti ini.

Seo Ah pun menghela nafas, mencoba menguatkan diri untuk menceritakan semuanya. “Aku… hari ini Jong In mengirimiku bunga.”

Ucapan Seo Ah itu sukses membuat Se Hun menoleh. Meski pria itu menyembunyikan ekspresi terkejutnya dengan baik, tapi Seo Ah tetap merasa tidak tenang. Ia pun berhenti melangkah dan memutar tubuhnya ke arah Se Hun.

“Dia terus menghubungiku, tapi kuabaikan.” Ucap Seo Ah, menghindari tatapan Se Hun. “Aku tidak tahu harus bagaimana…. bunga itu, pesan-pesannnya, semuanya….”

Seo Ah mengangkat kepalanya. “Aku harus bagaimana?”

Melihat mata Seo Ah yang sudah berkaca-kaca dan ekspresi frustasinya, Se Hun tidak tahan untuk tidak mendekati wanita itu. Ia menangkup wajah Seo Ah yang lembut dan memberi sapuan hangat di pipinya. Pipi Seo Ah yang dingin seperti sedang menusuk hati Se Hun. Ia tahu, Seo Ah pasti menyadari perubahan sikapnya tadi. Se Hun pun tidak mau seperti ini, tapi ia tidak mau memaksa Seo Ah bercerita. Sikap Seo Ah waktu itu membuatnya kembali memikirkan keputusannya. Apakah kalau Se Hun terus egois, ia akan melukai Seo Ah? Apakah Seo Ah akan baik-baik saja kalau ia bertanya seperti itu?

“Katakan, aku harus melakukan apa?” tanya Seo Ah lagi, kali ini suaranya mulai bergetar. Se Hun pun melihat air mata sudah berkumpul di sudut matanya.

“Jawabannya ada padamu, Seo Ah-ya.”

Se Hun mengusapkan ibu jarinya ke mata Seo Ah, membuat wanita itu terpejam sejenak sebelum kembali menatap Se Hun. Seo Ah tidak meminta jawaban darinya, jadi Se Hun tidak akan menjawab pertanyaan itu. Se Hun ingin meyakinkan Seo Ah dan dirinya sendiri kalau pilihan hatilah yang terbaik untuk hal ini. Meski ketakutan itu ada, Se Hun masih berharap kalau Seo Ah tidak akan goyah.

“Bagaimana denganmu?”

Jantung Se Hun langsung tertohok mendengar pertanyaan Seo Ah. Tatapan Seo Ah yang penuh keraguan membuat kaki Se Hun seolah kehilangan kekuatannya. Jadi apakah Seo Ah sudah membuat keputusan? Dan keputusannya adalah kembali ke pria brengsek itu?

Meski Se Hun tidak mau, dan meski terdengar bodoh, Se Hun malah menjawab “aku akan baik-baik saja kalau kau bahagia.”. Se Hun pernah menertawakan seorang tokoh pria di film romantis—yang waktu itu ia tonton bersama pacarnya—ketika mengucapkan kalimat itu. Dan sekarang, Se Hun merasa aneh dengan mulutnya sendiri. Hatinya berkata tidak mau, tapi mulutnya bergerak di luar kendali. Tapi bagaimanapun, kalimat itu tidak bisa ditarik kembali.

Se Hun tidak melihat perubahan raut wajah Seo Ah, wanita itu masih berada di ambang keraguan. Mencoba untuk mengenyahkan guncangan di hatinya, Se Hun pun memindahkan tangannya dari wajah Seo Ah ke telapak tangan wanita itu, menggenggamnya lembut. Tidak lupa ia tersenyum. Sebagian diri Se Hun sedang menenangkan Seo Ah, memberikan keyakinan pada wanita itu, sedangkan sebagiannya lagi sibuk mengkhawatirkan hatinya sendiri. Dulu mungkin Se Hun benar-benar akan baik-baik saja (atau malah kelewat ‘baik-baik saja’) saat menghadapi situasi seperti ini, tapi perasaan berat yang baru ini sangat membuatnya gelisah. Ia tidak ingin melepaskan Seo Ah, namun tidak juga ingin menahannya.

Karena Seo Ah terus tenggelam dalam pikirannya tanpa mengucapkan apapun, Se Hun menggerakkan tangannya hingga perhatian Seo Ah kembali padanya. Tepat saat wanita itu menatapnya, Se Hun mengulaskan senyum. Senyum yang mempunyai arti banyak dan terkesan aneh.

“Aku baik-baik saja, jangan khawatir.” Kata Se Hun.

“Benarkah?”

Tidak, aku tidak akan baik-baik saja! Tapi bukannya mengucapkan itu, Se Hun malah mengangguk  dan menjawab “iya”.

Helaan nafas panjang Seo Ah membuat tubuh Se Hun menegang. Perlahan, wanita itu melepaskan tangannya dari genggaman Se Hun. Suara desir angin yang beradu dengan riak air mengisi kekosongan yang menyerang jiwa Se Hun secara tiba-tiba. Tangan Se Hun masih menggantung di depan Seo Ah, tidak tahu harus berbuat apa. Dan Se Hun makin kehilangan dirinya ketika melihat Seo Ah mengambil satu langkah mundur. Dunia tempat berpijaknya seolah hanya mampu menopang tubuhnya selama sepuluh detik, sebelum menjatuhkannya ke jurang tidak berdasar.

Se Hun bukan pria lemah, siapapun tahu itu. Tapi di saat seperti ini, ia sangat ingin menangis dan berteriak seperti wanita gila. Seluruh tubuhnya kaku bagai kayu, dan mulutnya membeku tanpa bisa mengucapkan apapun untuk menahan Seo Ah. Nafas Se Hun tertahan di tenggorokkan, membuat dadanya sesak dan sakit. Perasaan apa ini? Kenapa aku merasa sesakit ini? Apa ini yang dinamakan sekarat?

Sebelum Se Hun menemukan jawaban atas semua pertanyaannya, wanita itu kembali membuat jantungnya hampir lepas ketika tiba-tiba menggenggam erat mantel Se Hun dengan kedua tangannya. Begitu erat sampai Se Hun tertarik ke depan. Se Hun pun membenarkan letak kakinya dan menatap Seo Ah dengan bingung. Kepala Se Hun mendadak pusing dengan semua kejadian ini.

“Aku tidak bisa.”

“Apa?”

“Aku… takut.”

Se Hun kembali menangkup wajah Seo Ah dan membuat wanita itu kembali menatapnya. Seo Ah menangis, meski tanpa isakan. Semua emosi yang dipendam Seo Ah, bisa Se Hun lihat dari tatapannya. Marah, kesal, benci, sedih, bingung—semuanya.

Se Hun terdiam beberapa saat. Perhatiannya tersedot oleh tatapan mata Seo Ah. Melihatnya seperti itu, Se Hun tidak bisa berbuat banyak meski harus diakui kalau Se Hun sangat senang Seo Ah tidak memilih untuk meninggalkannya. Tapi di satu sisi, ia juga tidak suka ketika mengetahui pria brengsek itu mampu membuat Choi Seo Ah seperti ini. Perlahan ketakutan itu kembali muncul.

“Aku… akan baik-baik saja.”

Di balik ucapannya itu, Se Hun sebenarnya sedang menguatkan diri. Ia tidak mau menjadi alasan untuk membuat Seo Ah salah melangkah, namun di satu sisi tidak mau kalau ternyata Jong In-lah yang mampu membuat Seo Ah ragu untuk bersama Se Hun. Se Hun tidak suka kekalahan, namun ketika bersama wanita ini, ia harus terus menahan egonya.

“Bukan begitu…,” Seo Ah mengusap air mata yang terkumpul di ujung matanya. “Aku tahu kau akan baik-baik saja.”

Se Hun memutar bola matanya saat mendengar ucapan Seo Ah. Haah… dalam keadaan apapun, wanita ini memang tidak pernah berubah. Padahal Se Hun sempat berpikir kalau Seo Ah akan menjadi wanita melankonis hari ini.

“Aku takut untuk mundur dan memulai semuanya dari awal,” kata Seo Ah. Tangannya yang menggenggam mantel Se Hun semakin erat. “Tapi aku juga masih cukup takut untuk melangkan maju bersamamu.”

Mendengar kata ‘bersamamu’, jantung Se Hun berdebar sangat keras. Bukankah itu berarti bahwa hubungan mereka sudah mengalami peningkatan—di pihak Seo Ah maksudnya. Se Hun tidak bisa menahan dirinya untuk memeluk Seo Ah, menenggelamkan kepala wanita itu di dadanya. Seo Ah pun tidak menolak, hanya bisa bersandar sambil masih memegangi mantel Se Hun. Mendengar debaran jantung Se Hun di telinganya, sedikit demi sedikit membuat Seo Ah tenang. Tapi itu tidak langsung membuat ketakutannya hilang. Ia bimbang. Ia takut jika salah melangkah, tidak akan ada akhir bahagia untuk hidupnya.

“Kau akan terus percaya padaku, kan?” gumam Se Hun di atas kepala Seo Ah—yang lebih pendek darinya. Senyumannya tidak juga pudar.

“Entahlah.”

“Kalau kau percaya padaku, jangan takut.”

Seo Ah mengangkat kepalanya, membuat Se Hun juga harus ikut menunduk. Hal pertama yang Se Hun sadari adalah perubahan raut wajah Seo Ah. Wanita itu tidak sekaku sebelumnya, tapi ekspresi jengkel—yang sering ia tunjukkan—tergambar jelas sekarang. Seo Ah bahkan mengerucutkan bibirnya.

“Bagaimana aku tidak takut kalau sifatmu saja seperti ini!”

“Seperti… ini?”

Seo Ah mendorong tubuh Se Hun untuk menjauh. Ia pun mulai menyebutkan sifat-sifat jelek Se Hun yang membuat ketakutannya makin parah. “Playboy, menyebalkan, sombong, dan kau bahkan pernah menyakiti sahabatku. Bagaimana aku yakin kalau kau tidak akan menyakitiku seperti itu?!”

Meski sedikit jengkel, Se Hun tidak mau menunjukkannya. Melihat Seo Ah seperti ini, perasaan Se Hun sudah jauh lebih lega. Daripada ingin menenangkan wanita ini, Se Hun lebih memilih menggodanya. Sudah sering dikatakan, kalau Se Hun sangat suka melihat wajah kesal Choi Seo Ah.

“Kita menikah saja. Dengan begitu, kau akan tahu kalau aku benar-benar serius kepadamu.”

“Kau gila, ya?!” pekik Seo Ah. “Aku tidak mau!”

[“Menurutmu kenapa kami bisa berpacaran selama tujuh tahun? Tentu saja karena Seo Ah tidak percaya dengan pernikahan.”]

Se Hun merasa baik-baik saja pada awalnya ketika mendengar balasan ketus Seo Ah, tapi kemudian ia ingat sebuah ucapan Jong In waktu itu. Tubuh Se Hun kembali dingin seketika, seolah udara musim dingin memenuhi setiap urat nadinya. Se Hun tidak pernah mempermasalahkan tentang pernikahan. Baginya, arti penting pernikahan, dan kesakralannya sama saja seperti mempertaruhkan jati diri sebagai pria untuk melindungi wanitanya. Dan Se Hun ingin melakukan itu bersama Seo Ah.

Tapi apakah itu mungkin kalau Seo Ah sendiri tidak percaya pada pernikahan?

“Kau pikir aku akan percaya padamu begitu saja?” Seo Ah kembali berucap, membuat lamunan Se Hun pecah. “Kita belum saling mengenal banyak, dan kau sudah memintaku menikahimu? Oh, yang benar saja!”

Seo Ah pun melanjutkan dengan nada sedih. “Jong In juga pernah mengatakan itu padaku, dan aku dengan bodohnya hanya menunggu. Bagaimana mungkin aku bisa mempercayai ucapan pria sepertimu dengan mudah?”

“Tunggu.” Se Hun mengerutkan dahinya. “Jong In pernah melamarmu?”

“Sudahlah.”

Seo Ah mengalihkan pandangannya. Ia tidak mau Se Hun mengorek masa lalunya lebih dalam lagi. Sudah cukup hanya mengingat janji-janji itu untuk dirinya saja, jika harus berbagi, Seo Ah tidak yakin bisa menahan diri untuk tidak segera membunuh Jong In.

Seo Ah tidak menyadari kalau Se Hun sudah kembali tersenyum seperti orang idiot. Meski di hatinya tersimpan dendam yang sangat dalam untuk pria bernama Kim Jong In yang dengan bangganya sudah bisa membohongi seorang Oh Se Hun, di satu sisi Se Hun senang karena ucapan Jong In adalah bohong. Tidak bisa lagi membendung rasa bahagianya, Se Hun mencium bibir Seo Ah dengan gemas. Hanya sebuah kecupan kecil, tapi dilakukannya berkali-kali sampai membuat Seo Ah jengkel dan mencubit pinggang pria itu. Se Hun hanya mengaduh sebentar, sebelum akhirnya terbahak sendiri lalu memeluk Seo Ah.

“Apa-apaan tadi itu!”

“Kau tahu, kau benar-benar sudah membuatku gila.”

Seo Ah mencibir. “Kau kan memang sudah gila dari dulu.”

Ya, sepertinya Se Hun harus mengakui itu. Ia bahkan terlalu gila untuk membalas ucapan ketus Seo Ah seperti biasa. Seluruh hatinya diselimuti rasa bahagia dan hanya bisa tertawa seperti orang idiot di depan Seo Ah.

Ya, kenapa kau tidak mencoba untuk berbicara lebih nyaman dan memanggilku ‘oppa’?”

***

                Seo Ah terdiam di depan pintu butik Ji Eun ketika melihat sesosok wanita bertubuh ramping yang sedang melihat-lihat koleksi gaun bersama Ji Eun di sampingnya. Mereka saling melemparkan senyum akrab dan mengobrol ringan sambil memilih gaun. Dan Seo Ah mungkin akan terus berada di posisi itu selamanya, memperhatikan pemandangan langka dan membuat kepalanya sakit itu, kalau Bo Mi tidak segera menarik tangannya untuk mendekat ke arah Ji Eun dan memanggil nama wanita itu dengan suara khasnya.

“Kalian sudah datang?” sapa Ji Eun kepada Seo Ah dan Bo Mi.

Seol Hyun juga ikut menoleh. Seo Ah bisa melihat kalau matanya membulat selama beberapa detik, sebelum akhirnya ikut melemparkan senyum ramah kepada mereka. Perut Seo Ah bergejolak. Ugh, kenapa sulit sekali menunjukkan rasa bencinya pada wanita ini?! Seol Hyun mempunyai senyum licik yang membuat orang lain akan menganggap Seo Ah gila kalau terang-terangan menunjukkan rasa tidak sukanya.

“Oh, Kim Seol Hyun? Kau langganan di sini juga?”

“Ya, begitulah.” Jawab Seol Hyun seadanya.

Ji Eun menatap Bo Mi dan Seol Hyun bergantian. “Kalian saling mengenal?”

“Tentu saja! Dia kan mu—hmp!

“Kami satu jurusan waktu kuliah.”

Seo Ah buru-buru menutup mulut Bo Mi dengan tangannya. Kalau tidak sedang berada di dalam butik, dengan banyak pasang mata yang memperhatikan mereka, dan bukan dalam posisi Kim Seol Hyun-sedang-berbelanja-di-toko-Ji Eun, sudah pasti Seo Ah akan membiarkan mulut Bo Mi mengucapkan apapun yang ia suka. Urusan mereka dengan Seol Hyun adalah urusan internal.

“Oh, jadi apakah teman yang Seol Hyun-ssi maksud adalah senior kalian?”

“Iya. Dia senior tampan dan baik hati, dan tidak heran kalau dia mempunyai teman banyak sampai membuat kami salah paham.” Jawab Seol Hyun.

Seo Ah mengeraskan rahangnya begitu mendengar jawaban Seol Hyun. Jelas-jelas wanita itu sedang mengejeknya. Ini mungkin sedikit terdengar gila, tapi Seo Ah pernah dekat dengan Seol Hyun—selain dengan Bo Mi. Tidak heran kalau Seol Hyun tahu kalau Seo Ah pernah menyukai senior itu, sampai akhirnya Seo Ah harus mendapatkan tamparan kenyataan yang keras karena ternyata senior itu bersikap baik padanya hanya karena ingin mendekati Seol Hyun. Hah, kisah penderitaan Seo Ah memang tidak lepas dari Kim Seol Hyun.

“Ah, aku lupa mengatakannya padamu.” Tiba-tiba saja Ji Eun berseru. “Mungkin kalian sudah saling kenal, tapi aku ingin memperkenalkan kalian lagi. Mereka adalah sahabat-sahabatku yang sering kuceritakan padamu, Seol Hyun-ssi.”

Seol Hyun tidak terlalu terkejut kali ini, tapi ia menunjukan ekspresi berlebihan seolah baru menyadari hal itu. Tentu saja ketika pertama melihat Seo Ah dan Bo Mi masuk dan menyapa Ji Eun dengan akrab, ia sudah bisa membaca keadaan. Entah ini disebut keuntungan atau apa. Tapi Seol Hyun punya firasat kalau ia akan mendapat hadiah besar.

Kapan lagi ia bisa membunuh dua burung sekaligus hanya dengan satu batu?

***

                Memakai dress sederhana berwarna biru dongker, Seo Ah masuk ke dalam restoran yang berada di sebuah hotel bersama Bo Mi. Malam ini adalah pesta resepsi pernikahan seniornya. Lumayan banyak yang datang, meski acara pemberkatannya tadi siang hanya dihadiri para kerabat. Bisa dikatakan bahwa acara ini merupakan reuni dadakan jurusan manajemen bisnis Universitas Kyunghee. Hampir seluruh wajah di sini Seo Ah kenal.

Tapi meski tokoh utama sebenarnya adalah sang pengantin—Jung Yong Hwa dan Choi Jun Hee—justru Kim Seol Hyun-lah yang paling banyak mendapat perhatian. Gaun hitam panjangnya membentuk tubuh ramping itu dengan sempurna. Tampilan Seol Hyun jauh lebih sederhana daripada saat menghadiri rapat di Sungjin, tapi justru itulah yang membuatnya tambah menonjol. Para pria berdecak kagum untuknya—hampir mengeluarkan air liur, sedangkan sebagian wanita merasa iri, dan sisianya jengkel setengah mati.

Seperti Seo Ah dan Bo Mi.

“Sekarang aku mengerti perasaanmu, Seo Ah-ya,” ucap Bo Mi tiba-tiba. Matanya masih memperhatikan Seol Hyun yang tengah mengobrol dengan Yong Hwa, sampai membuat istrinya terlihat sangat risih. “Pasti rasanya ingin mati saja kalau terus berada di dekat Kim Seol Hyun.”

“Kalau perlu, lebih baik langsung ke neraka daripada menjadi bawahannya. Percaya padaku.” Balas Seo Ah.

Membicarakan Kim Seol Hyun memang tidak akan ada habisnya, oleh sebab itu Seo Ah memilih topik lain. “Omong-omong, bagaimana hubunganmu dengan pacarmu itu?”

Bo Mi hampir tersedak kue yang sedang dimakannya saat mendengar pertanyaan Seo Ah. Ia pun mengambil gelas berisi wine di dekatnya. “Yah… begitulah.”

“Kau belum menceritakannya dengan lengkap, Yoon Bo Mi-ssi.”

“Sebenarnya aku juga tidak tahu bagaimana hubungan kami.” Bo Mi memainkan krim kuenya dengan garpu. “Tidak ada dari kami yang menyatakan ‘suka’ secara jelas.”

“Tapi kau menyukainya, kan?”

Bo Mi menghela nafas. “Young Bin Oppa adalah pria yang baik.”

“Kalau begitu, untuk apa kau ragu?”

“Bagaimana denganmu?” tanya Bo Mi balik. “Bagaimana dirimu dengan Jong In? Apa kau masih ragu dengan pilihanmu untuk meninggalkannya?”

Seo Ah tidak menjawab, pikirannya kembali tenggelam. Ia memang tidak menceritakan jelas kalau Jong In memintanya untuk kembali, tapi ketika Seo Ah bercerita kalau Jong In kembali ke Korea pada Bo Mi, ia yakin sahabatnya itu sudah tahu. Begitu juga dengan keraguan hatinya yang masih tampak goyah. Meski Bo Mi belum mengetahui kalau Seo Ah sudah berkencan dengan Se Hun—mantan tunangan Ji Eun, tetap Seo Ah merasa bersalah karena membuatnya khawatir.

“Aku… tidak tahu.”

“Sudah bicara dengannya?”

Seo Ah menggeleng. “Belum.”

“Kalau begitu, bicaralah sekarang!”

Bo Mi menggerakkan kepalanya ke samping, membuat Seo Ah penasaran dan akhirnya menoleh. Jong In berdiri tidak jauh dari mereka, dengan sweater dan kemeja di balik jas abu-abunya. Formal namun santai. Kalau mungkin kejadian di New York itu tidak pernah ada, Seo Ah pasti akan melompat ke pelukan pria itu dan mengacak rambutnya agar terlihat lebih berantakan. Ia tidak suka ketika Jong In mendapat banyak perhatian dari wanita.

Tapi sekarang, tidak ada yang bisa ia lakukan selain diam dan melihat Jong In mendekat ke arahnya.

“Hai.”

“Kau datang juga?” tanya Bo Mi.

“Hm, Yong Hwa seonbae adalah salah satu kenalanku.” Jawab Jong In. “Apa kabarmu, Bo Mi-ya?”

Seo Ah lupa akan hal itu. Ia lupa kalau faktanya Yong Hwa-lah yang membuat kencan buta bodoh itu dan akhirnya mempertemukan mereka. Sudah pasti hubungan mereka lebih dari sekadar ‘kenalan’.

“Bisa kita bicara sebentar?”

Seo Ah tidak menyadari kalau Jong In sedang berbicara padanya jika pria itu tidak menyentuh tangannya. Seo Ah menepis tangan Jong In dengan refleks. Namun begitu melihat air muka pria itu berubah, ia pun berdeham dan mencoba memperbaiki suasana. Seo Ah menoleh ke arah Bo Mi, meminta pendapat, dan sahabatnya itu hanya mengangguk sambil menunjukkan tatapan ‘semua akan baik-baik saja’ padanya.

Seo Ah pun menghela nafas. “Baiklah.”

Kim Seol Hyun tidak bisa melepaskan pandangannya saat melihat Jong In berjalan mendekati Seo Ah di ujung sana. Ia mengabaikan lawan bicaranya. Rasa ingin tahunya semakin besar ketika melihat Jong In menyentuh tangan Seo Ah, dan justru mendapat penolakan dari wanita itu. Jadi, apakah hubungan mereka sudah berakhir atau belum? Lalu kenapa Seo Ah bisa bersama Oh Se Hun hari itu?

“Seol Hyun-ssi, kau baik-baik saja?”

Merasakan sentuhan di bahunya, Seol Hyun menoleh dan cepat-cepat mengulas senyum. “Ah, tidak apa-apa. Aku hanya sedikit lelah.”

Seol Hyun kembali memutar kepalanya ke arah Jong In dan Seo Ah, tapi dua orang itu sudah menghilang dari sana. Hanya ada Yoon Bo Mi yang tengah menikmati wine-nya. Sial! Kenapa tempat dan orang-orang di sini sangat menyebalkan?!

“Kalau begitu, apa kau mau duduk di sana? Atau mungkin… di kamar hotel?”

Seol Hyun berusaha untuk tidak menendang perut pria ini dengan kakinya. Ia tahu, kalau pria ini sangat tampan—salah satu kenalan Yong Hwa dari Hongkong. Tapi tatapannya itu sangat menyebalkan, meski sikapnya sangat sopan. Seperti serigala berbulu domba. Sudah cukup Seol Hyun merelakan olahraga malam dan merendam dirinya di bak mandi penuh kelopak mawar hanya untuk mencaritahu urusan Kim Jong In dan Choi Seo Ah. Ia pun harus rela menutupi tubuhnya dengan gaun murahan ini hanya karena ingin mengorek informasi tentang Se Hun dari Ji Eun. Seol Hyun tidak mau dirinya harus berakhir di atas ranjang bersama pria brengsek ini.

Tapi Seol Hyun tidak mau menjatuhkan harga dirinya dengan cara sok keren. Ia pun tersenyum tipis pada pria itu. “Maafkan aku, Kris-ssi, sepertinya aku akan mencari udara segar di luar saja.”

Seol Hyun memberi salam singkat lalu melepaskan diri dari Kris. Rencananya gagal sudah. Ia kehilangan Jong In dan Seo Ah, dan tidak mendapat apapun dari Ji Eun karena wanita itu sama sekali tidak lagi berhubungan dengan Se Hun. Seol Hyun akan pulang saja. Membersihkan dirinya dari aroma tidak sedap ini, dan dari bahan murahan gaun yang dikenakannya.

***

                Berada di luar dalam cuaca sedingin ini memang bukan ide yang bagus. Tapi Seo Ah harus menahannya demi menuntaskan masalahnya sendiri. Ia dan Jong In sudah duduk di atas kursi taman, berhadapan dengan danau buatan yang hampir membeku. Jong In pun memberikan mantelnya kepada Seo Ah, meskipun wanita itu sudah memiliki mantelnya sendiri.

Sudah sepuluh menit berlalu, tapi belum ada pembicaraan yang keluar dari mulut mereka. Kopi hangat yang dibelikan Jong In untuk mencairka suasana, jadi tidak berguna. Itu pun sudah mulai mendingin. Bukan tidak memiliki bahan pembicaraan, mereka hanya bingung harus memulai dari mana.

“Bagaimana kabarmu?”

Seo Ah mengangkat kepalanya, mendengar pertanyaan Jong In. Sebelum ia menjawab, Jong In kembali melanjutkan.

“Pertemuan pertama kita tidak berjalan dengan baik, kan? Maafkan aku untuk itu.”

Seo Ah menghela nafas. Ia tidak mau teringat lagi kejadian di kafe waktu itu. “Aku baik-baik saja.”

Lalu kembali hening. Dalam keadaan normal, biasanya Seo Ah-lah yang pintar mencari bahan pembicaraan, dan Jong In hanya ikut saja. Sekarang wanita itu hanya diam saja, membuat Jong In bingung. Jong In takut dirinya salah bicara dan malah membuat hubungan mereka tambah canggung.

“Bagaimana kabarmu?” Seo Ah tidak suka kecanggungan yang terjadi di antara mereka, dan akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. Anggap saja sopan santun, toh Jong In sudah bertanya padanya.

“Aku…,” Jong In menelan air liurnya. “Aku tidak baik-baik saja.”

Mengabaikan reaksi Seo Ah yang seolah ingin segera menikamnya, Jong In pun melanjutkan dengan nada dramatis. “Krystal datang padaku saat aku benar-benar membutuhkanmu. Dia teman yang baik awalnya, tapi entah kenapa aku mulai merasa kalau ini bukan sekadar persaan nyaman sebagai teman. Kami sama-sama tidak memiliki komitmen, kurasa itu yang membuatku merasa cocok.”

Seo Ah memejamkan matanya, berusaha mengontrol emosi agar tidak melempar gelas kopi itu ke wajah Jong In. Apa tujuan Jong In menceritakan kisah perselingkuhan menjijikan itu?! Ingin mengejek Seo Ah, atau ingin melihatnya menangis keras?! Benar-benar pria brengsek!

“Tapi,” Jong In memutar duduknya, membuatnya berhadapan dengan Seo Ah. “Setelah melihatmu menangis waktu itu,            aku tidak pernah tidur nyenyak. Setiap malam aku terbangun dan kembali teringat tangisanmu. Bahkan kehadiran Krystal sama sekali tidak memperbaiki semuanya.”

“Aku tahu, aku bodoh. Aku baru menyadarinya setelah menyakitimu.”

Ya, untungnya Seo Ah tidak sempat memakinya begitu karena Jong In sudah sadar diri.

“Aku… minta maaf.” Kata Jong In. “Aku minta maaf karena sudah menyakitimu.”

“Kau tahu, Oppa, kalau saja waktu itu kau memberikan sedikit saja alasan—meski kau berbohong sekalipun, kejadian ini mungkin tidak pernah ada,” ucap Seo Ah sambil mendesah. Matanya menatap air di permukaan danau yang berkilauan karena lampu-lampu di sekelilingnya. Ia tidak bisa menatap Jong In, ia tidak ingin menjadi lemah saat ini.

“Di sini, aku selalu berusaha menjaga pertahananku agar tidak roboh. Tapi kau malah menghancurkannya dalam sekali dorong.” Seo Ah tersenyum pahit di akhir, ia kembali teringat masa-masa keraguan itu menghantuinya dan ia harus bisa membentengi dirinya sendiri.

“Maaf.” Sahut Jong In pelan.

“Baiklah.”

Jong In mengangkat kepala dengan mata berbinar penuh harap. “Jadi kau….”

“Aku sudah memaafkanmu untuk ucapanmu waktu itu, tapi tidak dengan kepercayaan yang sudah kau hancurkan.”

Jong In, yang tidak mengerti maksud ucapan Seo Ah, mengerutkan dahinya. Dan sebelum Jong In kembali bertanya, Seo Ah melanjutkan.

“Aku harap, kita tidak lagi saling bertemu.”

Rasanya jauh lebih mengerikan daripada di bayangan saja. Jong In selalu dihantui ucapan semacam itu ketika keputusannya untuk menghampiri Seo Ah ke Korea muncul di otaknya. Dadanya sangat sakit, seperti ada besi panas yang berulang kali ditusukan di sana. Tangisan Seo Ah waktu itu kembali terbayang oleh Jong In, membuat hatinya semakin diremas.

Benar, ini bukan kesalahan Seo Ah. Kebodohan dirinya-lah yang membuat Seo Ah memberikan keputusan seperti itu. Ia sudah terlambat untuk memperbaiki semua. Sudah terlambat hanya untuk kembali membuat janji. Jong In tidak lagi mempunyai kesempatan untuk menjaga Seo Ah dan berusaha membahagiakan wanita itu.

Rasa sakit yang diterima Seo Ah darinya sudah terlalu banyak.

“Ah.”

Jong In membuka mulutnya, namun mengatupkannya lagi karena tiba-tiba saja rasa sesak di dadanya naik ke tenggorokan. Alhasil, Jong In hanya mengembuskan nafas panjang sampai gumpalan asap putih berputar di depan mulutnya sambil mengusap kedua matanya. Ia pun tertawa kecil kemudian—tawa yang dipaksakan untuk tidak terlalu terlihat menyedihkan.

“Baiklah.” Akhirnya Jong In hanya bisa mengucapkan itu. “Aku mengerti dengan keputusanmu.”

“Aku tidak ingin minta maaf.” Sahut Seo Ah. Ia tidak ingin meminta maaf karena memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan bayangan Jong In.

“Kau tidak perlu melakukan itu.” jawab Jong In. Ia pun tersenyum tipis agar Seo Ah tidak merasa terbebani.

“Tapi…” Jong In kembali membuka suara setelah sepuluh detik terdiam. “Aku hanya ingin tahu, apa hubunganmu dengan Oh Se Hun?”

Perlu waktu beberapa detik untuk Seo Ah menyadari bagaiamana Jong In bisa mengetahui Se Hun. Ia kemudian teringat dengan kejadian di kafe waktu itu. Mengingat bagaimana perseteruan lewat tatapan mata yang terjadi di antara mereka, akan terasa aneh kalau Jong In tidak mengetahui Se Hun.

“Apapun yang terjadi di antara kami, itu bukan alasanku untuk melakukan ini.” Jawab Seo Ah. “Aku tidak mau melihat ke belakang lagi.”

Meski Seo Ah tidak menjawab dengan terang-terangan, Seo Ah yakin, Jong In mengerti apa yang maksudnya. Ia tidak mau Jong In mengusik kehidupannya maupun kehidupan Se Hun. Ia ingin melangkah maju, dan Seo Ah ingin mengawalinya bersama Se Hun.

Seo Ah tidak mengatakan kalau Se Hun jauh lebih baik dari Jong In. Tapi Se Hun tidak pernah menyakitinya—atau… mungkin belum. Se Hun selalu mempunyai cara untuk membuatnya nyaman, meski itu dengan cara yang aneh dan hanya dirinya yang mengerti. Se Hun yang selalu membuatnya jengkel setengah mati namun merindukannya kemudian. Dan Se Hun yang berusaha membuatnya yakin dengan sifat playboy yang tidak pernah dilepaskannya itu. Entah kenapa Seo Ah tidak bisa menghilangkan sosok pria menyebalkan itu dari kepalanya.

Hah… dia merindukan pria itu.

“Aku merindukannya….”

“Apa?”

Seo Ah mengangkat kepala. Ia tidak sadar kalau sudah mengucapkan isi hatinya keras-keras sambil tersenyum. Ia pun mengerjap.

“A-Aku… aku sepertinya harus pergi dulu. Annyeong, Oppa.”

Seo Ah tiba-tiba berubah menjadi gadis remaja yang sedang di mabuk cinta. Ia melepas mantel Jong in dan meletakkannya di bangku sebelum berlari meninggalkan tempat itu. Diacuhkannya Jong In yang hanya menatap mantelnya dengan nanar dan senyum pahit. Sekarang ia tidak jauh berbeda dari mantel beraroma Seo Ah itu atau cangkir kopi dengan bekas lipstik Seo Ah yang ditinggalkan wanita itu. Sayangnya ia tidak lebih berharga dari mereka. Jong In tidak dibuang, tapi menjatuhkan dirinya sendiri ke lubang tanpa dasar.

Di tepi jalan raya, Seo Ah segera memberhentikan sebuah taksi. Ia menyebutkan alamat apartemen Se Hun ke supir taksi. Ia berangkat ke pesta tadi bersama Bo Mi menggunakan mobilnya. Seo Ah tidak mau tahu harus bagaimana, yang penting ia harus segera menemui Se Hun. Masalahnya dengan Jong In dianggap selesai, dan sekarang tinggal bagian penutup.

Bagian penting untuk meyakinkan dirinya melangkah maju.

Kalau sampai di depan Oh Se Hun nanti ia masih ragu, Seo Ah berjanji tidak akan melawan dirinya. Ia hanya butuh kepastian. Membebaskan hatinya dari perasaan menyesakkan atau dari keambangan yanng membingungkan. Tinggal satu langkah lagi dan semua berakhir.

Tanpa banyak membuang waktu, Seo Ah segera melesat masuk ke gedung tinggi di depannya setelah membayar sejumlah uang kepada supir taksi. Masuk ke dalam lift, ia segera menekan nomor lantai paling atas, tempat penthouse Se Hun berada. Seo Ah tidak sadar kalau mulutnya terus mengumpat dan kakinya—yang menggunakan high heels tujuh sentimeter—sudah lecet karena terlalu banyak berlari. Penampilannya semakin terlihat ‘sempurna’ dengan rambut yang sudah tidak rapi lagi dan keringat yang bercucuran dari dahinya.

Tiba di depan pintu penthouse Se Hun, Seo Ah menekan bel berkali-kali. Bodohnya ia tidak menelepon Se Hun terlebih dulu, menanyakan apakan pria itu ada di rumah atau tidak. Semuanya akan tampak konyol kalau Se Hun benar-benar tidak ada di rumah. Namun wajah Seo Ah langsung berbinar bahagia ketika mendengar suara pria itu dari interkom.

“Seo Ah-ya?”

“Bisa kau buka pintunya? Ada yang ingin kubicarakan denganmu.”

Cklek!

Tepat saat pintu terayun buka, Seo Ah melemparkan dirinya ke dada Se Hun. Pelukannya begitu erat sampai membuat pria itu terdorong ke belakang sebelum memantapkan pijakannya. Kebingungan menghampiri Se Hun. Apa terjadi sesuatu dengan Seo Ah? Bukankah wanita ini sedang menghadiri pesta pernikahan, kenapa tiba-tiba datang ke rumahnya?

Se Hun yang panik dan tidak bisa membaca situasi, membalas pelukan Seo Ah dengan raut bingung.  Bukannya tidak senang, Se Hun hanya takut sesuatu yang buruk terjadi pada Seo Ah. Tapi ia tidak mendengar suara isakan atau apapun dari mulut Seo Ah, hanya pelukannya saja yang semakin erat. Dia benar-benar berubah menjadi pria bodoh sekarang.

“K-Kenapa?” tanya Se Hun akhirnya.

“Aku sudah memutuskannya.”

Se Hun diam beberapa saat, mencoba memahami maksud Seo Ah. “Apa?”

“Aku… tidak akan melihat ke belakang.” Seo Ah pun mengangkat kepalanya dan tersenyum dengan mata penuh air mata kelegaan. “Aku ingin memulai cerita yang baru bersamamu.”

Se Hun mengerjap beberapa kali sebelum senyum lebar terbit di bibirnya. Lalu, entah siapa yang memulai, kedua bibir itu sudah menyatu dalam kehangatan. Seo Ah menggenggam erat pinggiran kaus Se Hun, sedangkan Se Hun memeluk erat pinggang Seo Ah agar wanita itu tidak terjatuh. Emosi yang sudah meluap-luap diungkapkan mereka lewat ciuman itu. Semakin merapatkan tubuh, Seo Ah merasa tubuh dan hatinya sudah bersatu dengan Se Hun.

Ya, kali ini ia tidak akan mundur. Tidak peduli bagaimana sifat pria ini, atau masa lalunya yang sempat membuat Seo Ah membencinya setengah mati. Seo Ah hanya ingin bersamanya. Dan ia berharap, sikap egoisnya ini tidak akan membuatnya terluka nanti.

“Baiklah. Ayo, kita mulai cerita bersama.”

***

                Lily Monday memang belum memiliki nama besar di hati pecinta fashion, tapi karena hasil rancangan yang orisinal membuat brand itu digemari anak-anak muda. Tentu sebuah keberhasilan Lily Monday tidak lepas dari kerja keras pendiri dan desainer utamnya—Lee Ji Eun. Jam sudah hampir menunjukkan pukul sebelas malam, dan udara di luar sudah membeku, tapi Ji Eun masih betah tinggal di ruang kantornya, di lantai dua butik, sambil memeriksa laporan keuangan pertengahan bulan ini. Tidak hanya itu, di salah satu sudut masih terdapat rancangan gaun malam yang baru selesai sepertiganya. Ji Eun harus menyelesaikan gaun itu sebelum bulan ini habis agar bisa dipamerkan di fashion show perdananya bulan depan.

Ruang kerja yang hangat dan aroma kopi yang menguar dari mesin pembuat kopi memang sangat disukai Ji Eun. Sejak beberapa bulan lalu, ia berubah menjadi wanita gila kerja. Dengan bekerja ia akan melupakan semua masalah hidupnya, meskipun terkadang ia membutuhkan bantuan alkohol. Hasilnya tidak begitu mengecewakan. Penjualan Lily Monday meningkat musim dingin ini—meski tidak terlalu pesat, dan ia pun sudah bisa menjadi salah satu sponsor untuk web drama dan acara amal skala sedang.

Keheningan ruang kerja itu diusik oleh sebuah getaran ponsel Ji Eun. Tanpa melihat layarnya, Ji Eun menjawab panggilan itu. Biasanya Bo Mi atau Seo Ah yang suka meneleponnya hampir tengah malam begini, hanya untuk sekadar menanyakan hal tidak penting atau mengajaknya nonton film tengah malam.

“Halo? Ada apa?” tanya Ji Eun santai, matanya masih sibuk menelusuri laporan keuangan.

                “Hai, Ji Eun sayang. Bagaimana kabarmu?”

Suara ini…

Tubuh Ji Eun langsung menegang. Tangannya yang sedang memegang pulpen, membuat coretan panjang di atas laporan keuangan itu. Nafas Ji Eun terhenti di tenggorokan. Mimpi buruknya datang. Kenapa bajingan ini kembali mengganggu hidupnya setelah berhasil mengambil segalanya dari Ji Eun?! Apa lagi yang diinginkannya.

“K-Kau….”

“Benar, ini aku. Ah… aku sangat tersanjung kau masih mengingat suaraku.”

Bagaimana mungkin Ji Eun melupakan suara bajingan yang merampas kehidupannya! Ji Eun bahkan sudah mengganti nomor teleponnya sebanyak lima kali sejak kejadian itu agar tidak lagi berhubungan dengannya. Untuk mendengar suaranya saja sudah membuat Ji Eun marah. Seperti ada bara api di dadanya, yang begitu menyakitkan dan panas. Luka yang hampir sembuh itu kembali terbuka.

“Apa maumu?”

Pria di seberang sana tertawa keras, membuat perut Ji Eun terasa melilit dan ingin muntah. “Kenapa terburu-buru sekali,” katanya. “Aku sangat merindukanmu.”

“Berapa banyak yang kau butuhkan, Byun Baek Hyun?!”

Ji Eun tahu kalau Baek Hyun tidak suka kalau dirinya membentak, tapi Ji Eun benar-benar sudah muak. Ia ingin melakukan apa saja demi menjauhkan diri dari pria ini, meski itu harus menghabiskan seluruh tabungannya. Pria ini yang telah merampas hidupnya! Pria yang telah membuat dirinya hancur! Pria yang telah membuat dirinya harus kehilangan Oh Se Hun! Dan pria yang membuatnya menjadi wanita yang sangat menjijikan di depan Oh Se Hun!

“Aku baru saja kehilangan mobilku untuk taruhan. Dan, kau tahu kan, aku ini pria yang suka bersenang-senang, dan mobil itu adalah salah satu favoritku.”

Ji Eun hanya mengeratkan rahangnya sambil mendengar suara menjijikan pria itu. Ia tidak bisa berbuat banyak, atau pria ini semakin menghancurkan hidupnya.

“Kirimkan aku tujuh puluh lima ribu dolar sebelum besok lusa.”

“APA?!”

“Kenapa?” Baek Hyun bertanya dengan nada santai, seolah ia baru saja meminta uang koin untuk membeli minuman pada Ji Eun. “Kudengar bisnismu berjalan dengan baik, bukankah itu tidak masalah?”

“Atau… kau bisa meminjam dari tunanganmu itu.”

“KAU GILA?! AKU TIDAK PUNYA UANG SEBANYAK ITU!” tidak bisa lagi memendung amarah yang sudah membuat kepalanya sakit, Ji Eun berteriak marah. Bahkan kursi yang sedang didudukinya terjungkal ke belakang karena ia berdiri dengan tiba-tiba.

“Oh, jadi kau tidak punya uang?” nada dingin itu berhasil membuat Ji Eun membeku di tempatnya. Seperti seorang penyihir, Baek Hyun selalu bisa menyerang titik lemahnya. Tubuh Ji Eun mulai bergetar, sampai ia harus menggenggam pinggiran meja untuk menopang tubuhnya.

“Baiklah, aku mengerti. Dan kurasa… kau juga tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, kan?”

“Baek Hyun-ssi. Tolong….”

Ji Eun bisa merasakan senyum kemenangan Baek Hyun di ujung sana. Konsekuensi yang ditanggung Ji Eun jauh lebih besar daripada mengorbankan Lily Monday. Ia tidak mau Baek Hyun menghancurkannya lebih jauh lagi.

“Besok lusa, jam 6 sore adalah batas waktumu.” Ucap Baek Hyun. “Kalau aku belum menerima uang itu ke rekeningku sampai waktu tersebut, kau akan menemui malaikat pencabut nyawamu, Ji Eun sayang.”

Sambungan terputus begitu saja. Nomor telepon Baek Hyun terpampang di sana, tapi Ji Eun tidak bisa melakukan apa-apa. Melaporkan semua ini ke polisi sama saja dengan menggali kuburannya sendiri. Urusannya akan semakin panjang, dan semua rahasia Ji Eun akan terbongkar. Untuk itu selama ini Ji Eun memilih diam, menuruti semua kemauan Baek Hyun tanpa siapapun mengetahuinya.

Pertemuan dengan Baek Hyun memang bukan disengaja. Waktu itu ia hanya sedang bosan, terlebih Se Hun sedang melakukan perjalanan bisnis ke luar negeri, sehingga ia mengiyakan ajakan teman sekampusnya untuk pergi ke club. Ji Eun berniat hanya minum sedikit dan bersenang-senang dengan cara yang normal. Sebelum akhirnya Baek Hyun ikut bergabung dengan mereka, dan mereka berdua berakhir di ranjang hotel bersama dengan tubuh sama-sama polos.

Entah darimana Baek Hyun tahu kalau Ji Eun berasal dari keluarga berada, dan sudah bertunangan dengan pewaris Sungjin. Hal itu dimanfaatkan Baek Hyun untuk memeras Ji Eun dengan ancaman ia akan menyebarkan video percintaan panas mereka jika Ji Eun menolak menuruti kemauannya.

Suatu hari, Ji Eun menyadari ada yang aneh dengan dirinya. Ia menjadi cepat lelah, dan berulang kali perutnya terasa mual sampai kepalanya berputar. Puncaknya, Ji Eun pingsan saat kelas sejarah sehingga ia harus dilarikan ke rumah sakit. Di sanalah dunia Ji Eun runtuh sepenuhnya. Ia hamil, anak si bajingan Byun Baek Hyun. Seketika itu Ji Eun menjadi orang linglung. Ia ketakutan, entah itu masalah Baek Hyun atau Se Hun dan keluarganya. Sampai akhirnya keputusan biadab yang ia pilih, yaitu menggugurkan kandungannya.

Kalau Ji Eun boleh memilih, ia pasti akan lebih memilih membunuh dirinya daripada janin tidak berdosa itu. Tapi dengan pikiran labil waktu itu, ia bahkan tidak mempunyai kesempatan untuk memilih. Ia hanya ingin lari, dan tetap memliki Se Hun di sisinya. Tapi bagaimana… nasi sudah menjadi bubur. Hidupnya tetap hancur meski ia terus berlari, dan Se Hun pun tidak lagi bisa digapainya.

Ji Eun terduduk di atas sofa ruang kerjanya. Tujuh puluh lima ribu dolar…. uang sebanyak itu harus dicari ke mana dalam waktu dua hari? Ia sudah tidak lagi memiliki harga diri jika memohon pada Se Hun, dan ia yakin ibunya tidak akan memberikan uang sebanyak itu—malah akan memperburuk keadaan. Entah sampai kapan lingkaran setan ini berakhir?!

Dalam keadaan kalut, sebuah ketukan pintu ruangannya cukup membuat Ji Eun terlonjak. Ia pun mendesah keras sebelum akhirnya mempersilahkan orang itu untuk masuk. Asistennya, yang ditugaskan lembur hari ini, masuk dan memberi salam pada Ji Eun.

“Apa pekerjaanmu sudah selesai?” tanya Ji Eun, melihat wanita yang lebih muda 2 tahun darinya itu sudah bersiap dengan tas di bahunya.

“Iya. Apa Sajangnim tidak pulang?”

Ji Eun menggeleng. “Masih banyak yang harus kukerjakan.”

“Baiklah.” Jawab karyawan itu. Karyawan itu pun mendekati Ji Eun lalu menyodorkan sebuah amplop cokelat kepada Ji Eun. “Sajangnim, maaf sebelumnya, saya tidak tahu kalau ada kiriman yang datang hari ini. Saya baru memeriksanya kembali tadi, dan menemukan amplop ini.”

Ji Eun mengerutkan dahinya. “Dari siapa?”

“Tidak ada nama pengirimnya, tapi alamat dan nama yang tertera di sana ditujukan untuk Lee Ji Eun Sajangnim.”

“Baiklah, terima kasih.” Ucap Ji Eun sambil mendesah. Ia pun mengambil amplop itu.

“Saya pamit, Sajangnim. Selamat malam.”

“Ya, hati-hati.”

Dengan malas, Ji Eun membuka perekat amplop itu. Tubuh dan pikirannya sudah lelah, ia hanya ingin mengintip apa isinya setelah itu pulang. Ji Eun sudah cukup sering mendapat pengirim tanpa nama seperti ini. Biasanya isinya hanya iklan tidak penting, surat undangan ke gereja atau kuil, atau bahkan surat cinta dari anak SMA. Tapi kemudian, dahi Ji Eun berkerut ketika tangannya merasakan lembaran bertumpuk-tumpuk seperti kertas foto di dalam sana. Semakin penasaran, Ji Eun pun menumpahkan isi amplop itu ke atas meja.

Berlembar-lembar foto berserakan di atas meja. Ji Eun benar-benar merasa Tuhan memang membenci kehidupannya. Belum pikirannya tenang dengan 75 ribu dolar itu, ia kini dihadapkan dengan puluhan foto yang membuatnya ingin melempar bola mata ke luar jendela. Foto-foto itu sebagian tidak terlalu jelas, tapi cukup membuat Ji Eun mengenali dua sosok di sana. Dua sosok yang berjalan sambil bergandengan tangan di parkir basement, atau saat mereka keluar dari mobil hitam dengan senyum merekah.

Ji Eun sungguh ingin berteriak marah, tapi energinya seperti sudah terkuras habis. Hanya desahan dan air mata yang keluar dari mata merahnya menggambarkan betapa ia membenci dua sosok itu. Dua sosok yang seolah sedang menertawakan kehidupan menyedihkannya.

“Choi Seo Ah… Oh Se Hun….”

 


 

 

*HUAEAAAEHEHEHEAHEAE

Aduuuh maaf bangedddd apdetnya lamaaa. Tugas kuliahku banyak bets, udah gitu moodnya suka ilang-ilangan T.T haaah jadi apa kalian masih menunggu cerita ini? Atau sudah lupa? Maaaaffffff

Akhirnya satu per satu masalah kelar dan kebuka, tapi… gak berarti udahan dong HEHEHEHE ahhh btw masih ada yang menunggukah? T.T aku gak tau mau ngomong apa lagi… chapter selanjutnya pasti bakal lama. Entah dua atau tiga minggu selanjutnya

 

Kritik dan saran diterima lhoooo

 

*BTW NUMPANG PROMOSI

Kalian adakah yang tau Korean Culture Day (KCD)? HEHE itu jurusan aku yang ngadain, dan tahun ini pun akan ada lagi. Kira-kira bakal diadain awal Mei gitu, dan guest starnya…. pokoknya caem deh!! Kalian pasti kenal dan enggak bakal ngecewain! Ayo ayo beli tiketnya di http://tiketkoreancultureday.weebly.com

Nah, yang mau nanya-nanya bisa ke sosmed-nya nih:  IGnya (@koreancultureday), twitter (@korcultureday), OA Line (@ohy9886x), atau Facebook (Korean Culture Day) yukyakyuuuuu

 

Promo lagi dong. Yang mau beli buku preloved terjemahan korea koleksiku, bisa buka di bukalapak.com cari aja bzias_store hehe

See yaaa makasih yaaa yang udah baca *muacchhh*

Regards: Ziajung (vanillajune.wordpress.com / wattpad: ziajung)

 

36 responses to “Honey Cacti [Chapter 8]

  1. Ini gregetan banget sama seolhyun sumpah 😅pasti dia yg nyebarin fotonya sehun sama seo ah. Haa, knapa kalo lagi sehun sama seo ah sweet, ada aja yg ganggu wkwwk. Ji eun kasian siii, tapi gimana yak, aku lebih pilih sehun sama seo ah. Moga aja sehun ga belok ke ji eun lagi, kasian seo ah. Next kaa, jan lama lama wkwkw😂

  2. Pas tau yang ngancem jieun sibaekhyun aku langsung ketawa demi apa baekhyun jadi kyk gitu 😂😂😂😂
    Buat sehun sma seo ah selamat eeaaa..
    Seneng liat mereka berdua pacaran jan bnyak berantem ya,, sehun matany tolong dijaga 😂😂😂

  3. Waduh” gawat ini jieun udah tau
    Ettokhae 😰😰😰😰😰
    Thor yg cepat jadi penasaran ni😭😭😭😭😭

  4. Gils gils gils setelah sekian lama menungguuuu akhirnya apdet jugaa
    Akhirnu terungkap juga dibalik kisah jieun yg sebenarnya, dan sedikit sedih ketika authornya menistakan my ultbi byunbaekhyun huhuhu yaudahlahya namanya juga fanfict
    Anw itu pasti yg ngirim kim seolhyun. Fix. Inilah cobaan yg sebenarnya.. padahal baru aja seneng lihtat seoah milih sehun 😦

  5. Masalahnya udah mau muncul ini.
    Penggambaran authornya menguras emosi, pasti itu kerjaannya si mbak seol deh. Soalnya yang tau kan cuma dia, wah wah wah bikin tambah runyam aja masalahnya.
    Untung masalah sam jong in udah clear

  6. rada ga rela jongin dikau nistakan kek gitu, tapi kadang pengen tertawa jahat juga ‘rasain deh’ haha dan kenapa baekhyun kamu nistain juga?😭😭😭 top line bias ku kamu nistain semua disiniiii, gapapa selama sehun harapan terakhir hapend sih gapap kok, hayati relaaa
    nice write 👍👍👍

  7. ampun dah ya byun baek kenapa mesti pake lewat sini nih ya ampun makin runyam

    seolhyun sih asli ya tuh orang pgn tau bgt urusan orang haduh jadi kesel .

    thor satan aku karater sehun dikeluarin lagi doang yg lebih “jail” entah kenapa sehub disini melankolis bgt

    keep writting thor

    semangatt

  8. Masih ingett and msh d tunggu kelanjutan y…huahhh sehun akhir y sama seo ah..”aku merindukannya” ciecie…new couple..
    Sapa kira2 yg ngirimin ft y yah??hmmm…

  9. Yakkkk….akhirnya ketauan juga…bntar lagi pasti bom meledak di depan muka Seo ahh… pasti yg ngirim itu Kim seolhyun😑
    Ahh sneng bnget rupanya seo ah milih Sehun…smoga aja Sehun slalu mnjaga seo ahh trmasuk dr Ji eun
    Unnie lama bngt updatenya??
    Pleasee…jgn lama2 yya untuk next chapnya…ngga sabar lihat ji eun meledak hihi^^

  10. Akhirnya tau kisahnya ji eun sama sehun yg dulu. Dan foto sehun sama seo ah diapa yg ngasih ke ji eun?
    Padahal baru resmi jadian malah kayak ada bau2 masalah baru

  11. oh……Jadi begitu ya ceritax,ga pp kok authornim,ff in sllu ditunggu,walaupun lama dipostx,asak dipost aja kami udah seneng,hah…..Ad y bahagia ad y sengsara,itulh kehidupan

  12. Di saat moment bahagia nya baru mulai, tapi ketegangan udh mulai ngintip….uuugh
    Jieun liat lagi mereka berdua….duuuuuh….ga sabar sama chpter selanjutnya….

  13. seo ah dilema tpu seeng akhirny dy lbih mmlih sehun wlwpn bkl bnyk tntngn yg mreka bkl hadapin… skrg bkln retak deh seo ah n ji eun … dtunggu next chapny thor… jgn lma2 upnya ntr kburu lupa ceritanya

  14. Huaaaaa gimana nasib seo ah kalo ji eun tauuu aahh pelisssss jangan ganggu hubungan seoah sehun huhu. Wahhhh bermacam macam perasaan baca nya wkwkwk nano nano.. next nya Di tunggu

  15. akhirnya update juga…
    jdi gitu ceritanya jieun…
    dan seo ah pilih sehun aaaaaaaaaaa sneng bnget…penasaran bnget Chapter slnjutnya…

  16. Jongin – kelar✔
    Seolhyun dan Jieun – On going
    Si seolhyun maksudnya apa sih jahat banget abis semua oppa ganteng kenalan Seo ah gaet, udah di tolak masih aja kekeh. Seo ah lagi bahagia sama Sehun gak lama terbongkar semuanya. Seolhyun mah bodo amat tapi Jieun bisa2 efeknya lebih parah dr Jongin buat Seo ah nih. Bener2 kesel sama Seolhyun!! Gak papa lama, tetep ditunggu kok.

  17. Lah bajingan nya kenapa mesti BaekHyun😪
    Ji Eun juga udah tau itu Seo Ah & Sehun dating… eotteohkae?
    Ditunggu banget lho kak lanjutannya😄😄😊🤗

  18. duhhh udh gk bisa koment apalagi inihh
    disaat momen yg ditunggu yaitu kebersamaan seo ah- sehun tpi ktegangan mulai terukir kembali…
    disini kliatan kesian liat jieun sama jongin sengsara tpi karna pruatan mereka yg muat alur ini sperti inii
    hufttt diusahakan ya eon lanjutnya biar dipercepat

  19. pilihan yang bagus emang gak baik kalo kita masih terjebak dengan masa lalu
    dan mari mulai ceritanya sebelum jieun melancarkan aksi pengganggunya

  20. Wah, masalahnya sdah mulai bermunculan. Jadi khawatir sama seo ah. Hubungannx sama sahabatnya jadi gmna ya? Jadi makin penasaran sma lnjutan critanya. Keep writing ya…

  21. Hah akhirnya seoah milih meninggalkan jong in dan beralih ke sehun :). Ah kenapa ada yang syirik dengan hubungan mereka sih? Itu yang nyebar foto seo ah sama sehun siapa? Jong in atau seolhyun yah? Wah bakalan ada masalah yang runyam ini. Huwee gak sabar nunggu next chapnya kak 😀

  22. Aku selalu nunggu ff ini
    Gregett banget
    Pasti itu si seolhyun deh
    Aku senyum senyum sendiri liat sehun ama seo ah
    Tapi mereka pasti akan mendapat sesuatu yg besarrrr
    Ditunggu next nyaaaa

  23. CIE YANG DITERIMA MAH BEDA, SIAP TAHU BULAT PANAS SEHUN TERNYATA BERLANJUT (tijel gakpenting maaf capslock jebol). Itu yang foto seolhyun kayanya sih, makin banyak aja nih masalah mereka. Di tunggu ya kak chapter selanjutnya!!

  24. Weh… Jieun udah tau. Jadi gimana nasib seo ah selanjutnya? Jangan-jangan entar dia ngehasud bomi buat jauhin seo ah lagi…. Atau bersekutu sama seol hyun. Deg2 an sendiri masa…. Aku kok suudzon ya, hehe…

Leave a reply to exocietal Cancel reply