Honey Cacti [Chapter 10]

honey-cacti-poster-3-seohun

Ziajung’s Storyline©

Casts: Oh Se Hun | Choi Seo Ah | Lee Ji Eun

Genre: Romance, Comedy, Drama

Prev: Prolog || Chapter 1 || Chapter 2 || Chapter 3 || Chapter 4 || Chapter 5 || Chapter 6 || Chapter 7 || Chapter 8 || Chapter 9

———————————————–

Chapter 10—Where Is the Ending?

 

Maafkan aku….

***

Panggilan ke dua belas.

Tapi tetap tidak mendapat jawaban.

Se Hun memandang bangunan di sebelahnya. Setelah mendapat penantian kosong selama dua jam setengah di depan kantor Seo Ah, ia pun akhirnya memutuskan untuk pergi ke rumah wanita itu. Mengingat bagaimana pertemuan Seo Ah dan kedua sahabatnya yang tidak berjalan baik, Se Hun kira dia juga tidak ada di kafe Bo Mi—jadi rumah adalah jawaban yang paling tepat. Tapi sejak lima belas menit yang lalu, tidak ada tanda-tanda kehidupan dari rumah itu, kecuali lampu yang menyala. Se Hun jadi sangsi kalau Seo Ah sedang minum-minum sendirian, seperti waktu itu.

Sejak mereka berkencan, Seo Ah hampir tidak pernah menggunakan mobilnya lagi karena Se Hun terus memaksa untuk mengantar-jemput ke manapun dia mau pergi. Se Hun juga bukan tipe pacar kelewat protektif yang memasang alat pelacak di ponsel Seo Ah. Tapi kalau keadaannya seperti ini, ide itu kadang terlintas di otak Se Hun. Yah, memasang alat pelacak di tas, pakaian, atau ponsel Seo Ah kedengarannya tidak begitu buruk, dengan tambahan wanita itu sama sekali tidak boleh sampai tahu.

Panggilan kelima belas Se Hun tidak dapat tersambung karena ponsel Seo Ah tiba-tiba saja tidak aktif. Oke, ini sudah di luar batas. Ia harus menemui wanita itu, meminta jawaban, meski itu jawaban yang Se Hun tidak ingin dengar sekalipun. Tidak mendengar suaranya seharian saja sudah membuat Se Hun hampir gila, apalagi digantungkan seperti ini. Lebih baik ia menjalani operasi usus buntu kedua kalinya daripada tidak melihat Seo Ah.

Se Hun pun turun dari mobil, lalu memencet bel rumah Seo Ah. Tidak ada jawaban di percobaan pertama, dan Se Hun mencobanya lagi. Terdengar suara seorang pria dari interkom. Lee Jeong Min.

“Siapa?”

Sebenarnya Se Hun malas menjawab, karena ia sudah tahu kalau Jeong Min pasti mengenalnya lewat kamera CCTV yang terpasang. Namun, Se Hun yang sedang tidak ingin berurusan panjang dengan saudara Choi Seo Ah, ia pun mendesah dan menjawab; “Aku, Oh Se Hun, ingin bertemu dengan Choi Seo Ah.”

“Ada perlu apa?”

Se Hun menggeram pelan. Ditariknya nafas dalam-dalam supaya emosi ini tidak membawanya untuk menghancurkan mesin interkom itu. “Menikahi adikmu.”

                “Wah, maaf saja, dia masih tidak diizinkan menikah oleh Eomma.”

“Jeong Min-ssi, kumohon….”

“Yah, kurasa tidak apa-apa. Memang hanya kau yang sepertinya bisa membujuk Seo Ah.”

Se Hun belum sempat mencerna apa maksud Jeong Min tadi dan bunyi ‘klik’ dari pintu gerbang terdengar. Ia mendorong pintu itu dan masuk ke dalam. Di depan pintu, Jeong Min sudah menunggunya sambil melipat tangan. Dua detik kemudian pria itu hanya menghela nafas, lalu mengarahkan dagunya ke lantai dua.

“Dia pulang lebih cepat hari ini, dan terus mengurung diri di kamar.”

Se Hun mengikuti arah yang ditunjuk Jeong Min. “Ada apa?”

“Tidak tahu.” Jeong Min mengangkat bahunya. “Mungkin ada masalah dengan pekerjaan.”

Kalau memang benar begitu, Seo Ah sedikit berlebihan menurut Se Hun. Dan juga… sedikit aneh. Maksudnya, Se Hun tahu kalau hubungan Seo Ah dengan atasannya—dalam kasus ini adalah Seol Hyun—tidak terlalu baik, tapi wanita itu pasti lebih memilih profesional. Entah masalah di kantor seperti apa yang Seo Ah alami sekarang sampai membuat dia pulang lebih awal dan mengurung diri seperti remaja SMA yang baru memutuskan hubungan.

“Boleh aku ke sana?”

Jeong Min terlihat sedikit ragu. Se Hun memang bukan pria pertama yang masuk rumah ini, juga bukan pacar pertama yang Seo Ah kenalkan padanya, tapi tetap saja ia merasa khawatir. Memang mereka bukan saudara kandung, ibunya pun tidak memintanya secara terang-terangan untuk menjaga Seo Ah. Namun pikir Jeong Min, dengan mengkhawatirkan Seo Ah, ia bisa sedikit saja membalas kebaikan kedua wanita itu. Meski ia tahu kalau Se Hun bukanlah pria brengsek macam Kim Jong In.

“Sebenarnya—aduh, bagaimana aku mengatakannya, ya.” Jeong Min bergumam sejenak untuk mencari susunan kalimat yang benar untuk menahan Se Hun tetap pada ‘zona’-nya. “Kau tidak perlu ke sana, tapi mungkin saja Seo Ah mau mendengarkanmu dan turun untuk makan malam. Tapi ibu kami pasti tidak terlalu senang melihat ada pria—selain diriku—ada di rumah ini, jadi kau harus melakukannya dengan cepat. Tapi kupikir juga tidak baik kalau seorang pria—“

Se Hun menggeram tertahan. Tidak Seo Ah, tidak Jeong Min, keduanya benar-benar berbakat membuat emosinya naik dengan cepat. “Aku mengerti.”

Dengan sedikit ragu, Jeong Min menggeser tubuhnya, dan Se Hun pun langsung mengganti sepatunya dengan sandal lalu naik ke lantai dua. Jeong Min berteriak dari lantai bawah kalau kamar Seo Ah adalah pintu kedua dari tangga. Keheningan menyelimuti Se Hun. Suasana di dalam kamar Seo Ah terasa tenang, tapi hal itu justru membuat Se Hun gugup. Seo Ah seolah mengatakan tidak ingin diganggu siapapun dari dalam sana.

Namun Se Hun tetap mengetuk.

“Seo Ah-ya, ini aku.”

Tidak ada jawaban. Se Hun pun mengetuk lagi. “Kau tidur? Boleh aku masuk?”

Kali ini, meski lagi-lagi tidak mendapat jawaban, Se Hun merasa kalau Seo Ah mendengarnya. Wanita itu ada di sana, entah apa yang sedang dilakukannya, tidak menjawab apapun panggilan Se Hun. Jujur, Se Hun kesal dengan sikap Seo Ah ini, tapi ia tidak mungkin mendobrak pintu sialan ini dan meminta penjelasan kepada wanita itu sambil marah-marah. Seo Ah bisa saja langsung membunuhnya, atau paling parah, mengabaikannya sampai mati.

Se Hun mencoba untuk memutar kenop pintu Seo Ah, tapi tidak berhasil. Pintu itu dikunci dari dalam. Meski begitu, Se Hun tetap mencoba, siapa tahu kalau pintu hanya macet. Gerakkannya semakin menggila karena diliputi rasa panik. Tidak mungkin, kan, Seo Ah melakukan hal gila di dalam sana?

“Tinggalkan aku sendiri, kumohon.”

Se Hun berhenti bergerak. Bukan hanya tangan dan tubuhnya, tapi juga detak jantungnya. Suara Seo Ah yang terdengar bergetar membuat kaki Se Hun lemas seketika. Apa yang terjadi dengan wanita itu? Se Hun pun menempelkan telapak tangannya di pintu dingin itu, berharap ia bisa menyalurkan kekuatannya dari sana. Dan juga… berharap pintu itu cepat terbuka.

“Kau baik-baik saja?” meski Se Hun ingin sekali berteriak dan mendobrak pintu itu, ia tetap tidak bisa melakukannya. Se Hun sekuat mungkin menyembunyikan ketakutannya, setidaknya ia masih bisa mendengar suara Seo Ah.

“Aku sedang ingin sendiri. Katakan juga pada ibu dan Jeong Min.” Ucap Seo Ah dari dalam. Didengar dari suaranya, wanita itu berada di balik pintu satunya, dan seperti habis menangis.

Se Hun menempelkan kepalanya di pintu dan menghela nafas panjang, mencoba menyakinkan dirinya sendiri kalau Seo Ah benar baik-baik saja. “Kalau begitu keluar dan makan. Jeong Min sangat mengkhawatirkanmu.”

“Iya. Aku akan makan nanti,” jawab Seo Ah. “Tapi kumohon, untuk sekarang, tinggalkan aku sendiri.”

Keputusan Seo Ah sepertinya tidak bisa diganggu gugat siapapun, termasuk dirinya. Se Hun pun akhirnya hanya mendesah dan mengatakan kalau ia mengerti lalu pergi dari sana dengan langkah diseret. Sebelum benar-benar menuruni tangga, sekali lagi Se Hun melihat pintu kamar Seo Ah, berharap pemiliknya keluar dari sana lalu memeluknya dan menceritakan segalanya. Entahlah, perasaan Se Hun juga sama campur aduknya. Ia merasa sedih dan kecewa karena Seo Ah tidak mengandalkannya untuk menyelesaikan masalah. Tapi juga tidak bisa berbuat banyak untuk membuat Seo Ah keluar dari sana. Satu sisi, Se Hun ingin membiarkan Seo Ah mendapatkan waktu yang ia butuhkan.

“Bagaimana?” tanya Jeong Min, ketika Se Hun menginjakkan kaki ke anak tangga terakhir. Di sebelah pria itu ada seorang wanita paruh baya yang Se Hun duga adalah ibu Seo Ah.

Se Hun tersenyum tipis dan menggeleng. “Maaf.”

Kedua orang itu mendesah.

“Ah, maaf telat memperkenalkan diri.” Karena terlalu kalut memikirkan keadaan Seo Ah, Se Hun pun lupa menyapa ibu Seo Ah dengan benar. “Nama saya Oh Se Hun, pacar Seo Ah.”

Ibu Seo Ah mengangguk. “Jeong Min sudah menceritakannya padaku. Terima kasih selama ini sudah menjaga Seo Ah.”

“Itu bukan apa-apa, dibanding Anda yang sudah melahirkan Seo Ah dan membesarkannya sampai menjadi wanita cantik.”

Mungkin kalau Seo Ah ada di sini, wanita itu pasti akan memukul kepala Se Hun dengan tangan kosong lalu mencibirnya habis-habisan. Suasana agak hampa tanpa respon lucu dari wanita itu. Hanya ada Jeong Min yang tertangkap mata oleh Se Hun sedang memutar bola matanya setelah Se Hun mengatakan hal itu.

Ibu Seo Ah meresponnya tenang, dengan senyuman tipis  dan sorot mata hangat. Ia pun melirik ke lantai atas, dan ekspresinya langsung berubah. Terlihat jelas kalau ia mengkhawatirkan Seo Ah. Meski Seo Ah tidak pernah menceritakannya secara jelas, tapi Se Hun bisa merasakan ikatan kuat antara ibu dan anak itu. Mereka seolah bisa mengirimkan telepati dari jarak sepuluh kilometer.

“Kalau begitu saya pamit dulu. Maaf sudah mengganggu kalian malam-malam.”

Merasakan suasana terasa dingin dan datar, Se Hun pun mohon pamit pada dua orang itu. Kalau Se Hun dan Jeong Min tidak berhasil membuat Seo Ah keluar dari kamarnya, mungkin ibunya bisa melakukan itu. Dan Se Hun tidak mau mengganggu momen itu. Ia akan menunggu sampai Seo Ah menceritakannya sendiri padanya. Jeong Min pun mengantarnya sampai pintu gerbang dan berjanji akan menghubungi Se Hun kalau Seo Ah sudah keluar dari kamarnya.

Se Hun tidak bisa berbuat banyak selain mengiyakan dan menunggu.

***

Ada beberapa hal yang tidak Min Soo inginkan di dunia ini, tapi tetap saja itu di luar kuasanya. Nyatanya, ia sebagai manusia hanya bisa menerima nasib. Beberapa waktu lalu, ia sudah menyerahkan berkas kasus perceraian pasangan pengusaha KeyEast Corporation ke anak buahnya. Meski ini sebenarnya sedikit melanggar profesionalitas pengacara, Min Soo tetap melakukannya demi Seo Ah. Setiap kali berhadapan dengan Jo Hye Ryeong, ia selalu teringat masa lalu, dan berakhir dengan mengkhawatirkan Seo Ah.

Namun setelah pengalihan tanggung jawab pun bukan berarti Min Soo tidak pernah bertemu Hye Ryeong—meski ia selalu berharap begitu. Hari ini mereka bertemu di lorong kantor Min Soo, bersama dengan salah satu pengacara yang bekerja di firma hukum itu, pengacara baru Hye Ryeong. Min Soo mencoba untuk mengabaikan wanita itu dengan memberi salam seadanya dan berlalu pergi. Tapi seolah tidak ingin melepaskan wanita yang menjadi cikal bakal kehancuran rumah tangganya, Hye Ryeong lantas memanggil Min Soo, membuat wanita itu menghentikan langkah kakinya. Hye Ryeong pun meminta pengacaranya untuk meninggalkannya berdua saja dengan Min Soo.

Tanpa basa-basi, ataupun secangkir kopi hangat di hadapan keduanya, Hye Ryeong langsung melemparkan serangan pada Min Soo.

“Apa kau kehabisan cara untuk menyingkirkanku sampai membawa anak sialanmu itu untuk menggoda suamiku?”

Yang Min Soo tahu tentang karakter Hye Ryeong adalah tidak suka berbasa-basi dan selalu bicara langsung ke sasarannya. Tapi untuk kali ini, entah kenapa Min Soo tidak mengerti ucapan Hye Ryeong. Min Soo tetap mempertahankan wajah tenangnya, meski hatinya bergumuruh. Rasa khawatir mulai merayap di hatinya ketika Hye Ryeong membawa Seo Ah dalam pembicaraan.

“Apa maksud Anda?”

Hye Ryeong jelas-jelas mendengus. Ia berusaha tidak membuat keributan di sini, terlebih tempat ini di bawah kekuasaan Min Soo. “Anakmu. Apa kau sengaja membawa anakmu pada Young Kwan untuk menyingkirkan aku dan anakku, sehingga kalian bisa menguasai hartanya!”

“Apa?!”

“Young Kwan sudah mengetahui tentang anak sialanmu itu, dasar jalang!”

Plak!

Bunyi tamparan itu menggema di lorong yang sepi ini. Dari awal, Min Soo sudah menahan emosinya dan menjaga etika di hadapan wanita ini, setidaknya karena dia adalah klien penting firma hukumnya. Tapi setelah berulang kali ia membawa Seo Ah dan menyebutnya dengan sebutan tidak pantas, Min Soo tidak tahan untuk tidak membungkam mulut jahanam itu dengan tangannya. Ia tidak peduli tangannya yang ikut berdenyut dan mungkin semerah pipi kiri Jo Hye Ryeong.

 

“Kau!”

“Kau pikir aku akan diam saja seperti beberapa tahun yang lalu?! Tidak!” Ya, karena aku mempunyai Seo Ah, yang harus kulindungi, lanjut Min Soo dalam hati.

“Aku tidak tahu darimana ketakutanmu itu muncul, yang pasti itu adalah sebuah karma untukmu, Jo Hye Ryeong.” Min Soo maju selangkah, bertatapan mata dengan Hye Ryeong. “Kali ini, aku akan melindungi apa yang kumiliki.”

Tangan Hye Ryeong terangkat untuk membalas tamparan Min Soo. Namun Min Soo yang sudah mengantisipasi hal itu, dengan cepat menahan tangannya dengan tatapan masih lurus ke mata Hye Ryeong.

“Kau tidak sadar posisimu, Jo Hye Ryeong-ssi?” setelah menggunakan banmal untuk melawan Hye Ryeong tadi, Min Soo kembali menggunakan jeondaemal dengan penekanan.

Hye Ryeong bergetar melihat bola mata Min Soo yang mantap itu. Ia pun menarik tangannya dari cengkraman Min Soo dan beranjak dari sana dengan hentakan kaki kesal. Setelah memastikan Hye Ryeong menghilang di ujung koridor, Min Soo buru-buru mencari pegangan pada dinding di dekatnya. Kakinya langsung lemas tanpa tenaga. Semua yang diucapkan Hye Ryeong berputar di otaknya.

                Kim Young Kwan sudah mengetahui keberadaan Seo Ah? Dan mereka sudah bertemu?

                Dan… apa Seo Ah juga sudah bertemu dengan Hye Ryeong?

                Apa yang dikatakan Hye Ryeong pada anak itu?

Kemudian, Min Soo menarik sebuah benang merah dari pertanyaan-pertanyaan itu. Sepertinya ia tahu kenapa tidak ada satu pun—termasuk dirinya—yang bisa membuat Seo Ah keluar dari kamarnya seharian.

***

Min Soo membuka pintu rumahnya dengan terburu-buru. Bahkan tadi di depan, ia sudah dua kali salah memasukkan password. Rumah terlihat sepi karena Jeong Min sedang berada di rumah sakit, dan Seo Ah yang masih mengurung diri di kamar. Tanpa mempedulikan sepatu yang masih dipakainya, Min Soo menaiki tangga dengan langkah lebar. Di depan pintu kamar Seo Ah, ia melihat nampan berisi sarapan yang hanya dimakan Seo Ah sedikit. Kepala Min Soo bertambah pening karena hatinya terasa diremas sampai sakit. Ia pun menggedornya pintu kamar Seo Ah.

“Seo Ah-ya, ini Eomma. Buka pintunya!”

Tidak ada jawaban, tapi Min Soo yakin Seo Ah mendengarnya.

“Choi Seo Ah! Buka pintunya sekarang, atau Eomma akan marah!” kali ini Min Soo tidak tahan lagi, ia berteriak sambil menggedor pintu kamar Seo Ah. “Untuk apa kau bersembunyi di sana seperti wanita gila, hah?! Seberapa lama pun kau bersembunyi, kenyataan itu tetap tidak berubah! Wanita itu tetap membencimu!”

Ucapan itu sebenarnya untuk dirinya sendiri. Min Soo tiba-tiba saja teringat masa lalu, di mana ia harus terus bersembunyi di bawah bayang-bayang ketakutan, sampai akhirnya memutuskan untuk bangkit. Ya, akhirnya ia paham kalau Jo Hye Ryeong sampai kapanpun akan tetap seperti itu. Membencinya—membenci hidupnya. Min Soo tidak mau ketakutannya dan kebencian Hye Ryeong menghentikan hidupnya, ia harus bangkit demi Seo Ah.

Tanpa sadar, air mata Min Soo mengalir ketika mengingat bagaimana pedihnya ucapan Hye Ryeong juga tatapan menghujat yang selalu dilemparkan padanya dan Seo Ah. “Kau memiliki eomma, Nak. Jangan takut… Eomma ada di sini…”

Cklek!

Min Soo mengangkat kepalanya. Hal yang pertama dilihatnya adalah wajah kacau Seo Ah dengan mata bengkak dan sembab. Pipinya basah karena air matanya terus mengalir tanpa berhenti sejak kemarin. Sambil menatap Min Soo dengan matanya yang merah, Seo Ah menggigit bibirnya, berusaha untuk tidak mengeluarkan suara apapun, meski air matanya sudah tidak terbendung. Min Soo menghela nafas panjang, antara sedih dan lega. Ia pun mengulurkan tangannya dan menghampiri putrinya, membawa gadis kecil kesayangannya dalam pelukan hangat.

Bagai bom waktu, tangis Seo Ah pecah saat itu juga. Ia meraung keras di pelukan ibunya. Tidak pernah ia merasakan emosi sebesar ini sebelumnya. Ia tidak pernah merasa begitu tertekan sampai ingin mati saat tahu ia tidak mempunyai ayah. Bahkan ketika teman-teman sekolahnya menghujat dan menindasnya, ia tidak sampai mengurung diri seperti ini. Dan ia hanya memerlukan beberapa gelas alkohol saat Seol Hyun bersikap menyebalkan, dan ketika Jong In mengkhianatinya.

Sekarang… seluruh dunia seperti runtuh di bahu Seo Ah.

Kalau begini, lebih baik ia tidak pernah tahu siapa ayahnya, dan mereka tidak pernah bertemu. Entah kenapa dunia terasa sempit sekali, sampai rasanya tidak ada ruang untuk Seo Ah bernafas. Ia harus jatuh cinta pada mantan tunangan sahabatnya sendiri, dan sekarang ia dibenci. Ayahnya adalah atasannya di kantor, yang entah sejak kapan mengetahui keberadaannya. Lalu kebetulan dari mana, anak dari pria itu sangat membencinya. Yah… mungkin Seo Ah memang dilahirkan untuk dibenci.

“Tidak, Seo Ah-ya, itu tidak benar.” Sambil menangis, ibu Seo Ah menjawab ucapan yang tidak sengaja Seo Ah ucapkan keras-keras itu.

Pelukan kedua wanita itu semakin erat, seolah sedang menguatkan satu sama lain. Meluapkan sesuatu yang mengganjal di hati mereka, sekaligus mengingatkan diri mereka kalau—benar—mereka saling memiliki. Mereka tidak sendirian. Tidak ada yang perlu ditakutkan selama mereka bersama.

***

Min Soo tidak terlalu terkejut saat melihat wajah Se Hun terpampang di layar interkom rumahnya. Baru sehari kemarin mereka bertemu, Min Soo sudah bisa melihat bagaimana watak anak itu. Min Soo masih belum melakukan apa-apa, hanya menatap wajah Se Hun di layar interkom. Pria itu pun menekan bel lagi, Min Soo melihat wajah gusar dari wajahnya. Sambil menghela nafas, Min Soo membukakan pintu.

Se Hun memberi salam pada ibu Seo Ah. Wanita itu hanya menatap Se Hun beberapa saat di depan pintu, seperti sedang berfikir, lalu mempersilahkan Se Hun masuk. Tanpa sadar, Se Hun menelan air liurnya sendiri. Terlihat ada hal serius yang ingin dibicarakan ibu Seo Ah, terbukti saat ia dibawa ke ruang tamu bukan diminta langsung ke kamar Seo Ah untuk kembali membujuknya keluar.

“Nyonya Choi, saya membawakan kue untuk Anda. Saya harap Anda menyukainya.” Se Hun menyodorkan sekotak kue kesukaan Seo Ah sebelum dirinya duduk di sofa.

Sudah hafal dengan sikap basa-basi setiap pria yang Seo Ah kenalkan padanya, ibu Seo Ah hanya terseyum dan mengambil kotak itu. “Terima kasih.” Jawabnya. “Kau mau minum apa, Nak Se Hun?”

“Apa saja tidak apa-apa.”

Setelah itu Nyonya Choi memanggil pelayan rumahnya. Pelayan itu membawa kotak kue yang Se Hun berikan lalu kembali ke dapur. Bersyukur karena ibu Seo Ah adalah orang yang mudah mencari bahan pembicaraan. Selagi menunggu minuman datang, mereka berbicang ringan seputar kabar, cuaca, dan pekerjaan. Setidaknya Se Hun bisa sedikit nyaman dan rileks, tapi tidak juga menutupi kenyataan kalau ia masih mengkhawatirkan Seo Ah. Sesekali ia masih melirik tangga rumah itu, berharap Seo Ah turun dari sana atau mungkin ibunya yang menyuruh Se Hun segera naik ke sana.

Sebenarnya, meski Se Hun memiliki banyak pengalaman dengan wanita-wanita—bahkan wanita yang lebih tua—ia tidak bisa untuk tidak gemetar saat berhadapan dengan ibu Seo Ah. Ketenangan ini adalah usaha keras Oh Se Hun. Rasanya bicara salah sedikit saja, maka hubungannya dengan Seo Ah akan berakhir. Apalagi dia adalah seorang pengacara. Bisa-bisa bukan hanya berakhir, tapi puluhan lembar surat tuntutan akan menumpuk di kotak posnya kalau Se Hun mengucapkan sesuatu yang salah.

Pelayan rumah Seo Ah kembali masuk ke ruang tamu dengan membawa dua cangkir teh dan dua potong kue pemberian Se Hun di masing-masing piring kecil. Teh itu mengeluarkan aroma wangi yang menenangkan begitu tersaji di depan Se Hun. Tergoda dengan harum itu, sekaligus untuk mengurangi rasa gugupnya, Se Hun menyesap dalam teh hangat itu.

“Nak Se Hun, sebenarnya ada yang ingin kubicarakan,” ibu Seo Ah mengambil sedikit jeda sambil meletakkan cangkir tehnya. “Mengenai Seo Ah.”

Punggung Se Hun otomatis menegak. “Y-Ya?”

“Saat ini Seo Ah sedang dalam masa-masa sulit, jadi… mungkin akan mengganggu hubungan kalian.”

“Aku harap tidak sampai seperti itu, Nyonya Choi,” jawab Se Hun. “Aku tidak akan membiarkan Seo Ah sendiri, begitu juga dengan hubungan kami, akan kupastikan tidak sampai terpengaruh.”

Ibu Seo Ah menghela nafas sambil menggeleng pelan. “Kau tidak mengerti…” desahnya. “Seo Ah… dia benar-benar butuh waktu untuk sendiri sekarang.”

Se Hun sempat berpikir kalau mungkin ibu Seo Ah tidak merestui hubungan ini. Terdengar memang tidak kasar, tapi Se Hun merasa begitu. Apakah ibu Seo Ah sedang mencoba memisahkan mereka? Tapi sebelum Se Hun mengeluarkan kata-kata untuk membalas (karena ia terus berpikir buruk tentang wanita paruh baya itu), ibu Seo Ah kembali melanjutkan.

“Apa kau tahu kalau Seo Ah tidak mempunyai ayah?”

Se Hun mengangguk pelan.

“Dan kau sudah tahu siapa ayahnya?”

Kali ini Se Hun diam, tidak bereaksi apapun. Ia hanya menatap ibu Seo Ah sama lurusnya. Melihat tatapan Se Hun, ibu Seo Ah pun melanjutkan.

“Kim Young Kwan. Kau pasti mengenalnya, kan?”

Tentu Min Soo sudah memperkirakan hal ini, terlebih ketika melihat ekspresi Se Hun yang berubah, ia semakin yakin. KeyEast bukan sebuah perusahaan yang kecil, dan Min Soo juga pernah mendengar kalau Sungjin menjalin kerja sama dengan KeyEast—topik itu ditulis besar-besar di portal internet maupun koran bisnis.

Yang pertama terlintas di otak Se Hun ketika menyadari kalau itu adalah nama pemimpin KeyEast adalah Kim Seol Hyun. Seo Ah dan Seol Hyun sudah seperti kucing dan anjing yang tidak pernah akur. Entah apa yang mendasari Seol Hyun sangat membenci Seo Ah, maupun sebaliknya, kenyataan ini pasti menjadi pukulan besar untuk keduanya. Lalu Seo Ah, selama ini bekerja di bawah orang yang ternyata selama ini ia butuhkan,bagaimana perasaan wanita itu?

“Dan mereka sudah tahu kenyataan itu.”

Tubuh Se Hun tiba-tiba saja merinding. Ia tidak bisa membayangkan beban seberat apa yang sedang ditanggung Seo Ah. Ayah yang tidak pernah diketahui keberadaannya tiba-tiba datang, musuh yang ternyata saudaranya sendiri, sampai masalah sahabatnya yang berhubungan dengan hubungan mereka. Se Hun merasa linglung sekarang. Ia merasa tidak berhasil menjaga Seo Ah, tidak berhasil menjadi tempat bersandar untuk Seo Ah. Tapi di satu sisi, ia juga tidak bisa seenaknya ikut campur dalam masalah keluarga.

Min Soo bisa melihat kegelisahan dalam mata Se Hun. Ia mengerti kalau pikiran pria itu pasti sama kacaunya dengan Seo Ah. Sebenarnya ia juga tidak mau menceritakan hal ini pada Se Hun, mengingat mereka belum sedekat itu. Tapi kemudian ia berpikir, Se Hun harus tahu. Se Hun harus mengerti kenapa Seo Ah seperti itu dan membutuhkan waktu sendiri. Meski kesannya itu terlalu jahat untuknya.

“Jadi kumohon, biarkan Seo Ah sendiri untuk saat ini.”

***

Jun Myeon tidak tahu apa yang membuat atasannya itu terlihat kosong sejak menginjakkan kaki di kantor tadi. Ia mengabaikan semua sapaan yang dilayangkan padanya, padahal biasanya selalu membalas dengan ramah—bahkan kalau perlu dengan wink genitnya. Begitu sampai di ruangannya, Se Hun hanya duduk bersadar dengan tatapan kosong. Jun Myeon pun mengurungkan niatnya untuk membacakan jadwal Se Hun dan memberikan laporan.

“Apa ada yang mengganggu Anda, Direktur Oh?” tanya Jun Myeon, bagaimanapun ini masih di area kantor, ia harus profesional.

Hyeong….”

“Apa? Apa?” Jun Myeon langsung mengubah gaya bicaranya ketika Se Hun memanggilnya ‘hyeong’.

Setelah beberapa detik menggantungkan jawabannya, Se Hun akhirnya hanya menghela nafas panjang. “Tidak ada,” ia mengubah posisi duduknya. “Jadi apa jadwalku hari ini?”

“Kau tahu, terkadang kau persis seperti seorang wanita.” Masih belum mengubah gaya bicaranya, Jun Myeon mulai menasehati Se Hun. “Bicaralah yang benar!”

“Sudah kubilang bukan apa-apa.” Jawab Se Hun. “Dan aku ini masih atasanmu, Sekretaris Kim!”

Jun Myeon mendesah. “Saya mengerti.” Namun ketika Jun Myeon melirik Se Hun dan melihat ekspresi pria itu kembali gelap, ia pun kembali menggunakan banmal padanya. “Kenapa? Seo Ah belum juga ingin bertemu denganmu? Apa kau melakukan kesalahan padanya?”

“Kim Jun Myeon!”

“Saya mengerti. Maafkan saya.” Setelah itu Jun Myeon pun menyalakan tablet di tangannya dan membacakan jadwal Se Hun. “Jam 10 nanti ada rapat dengan bagian perencanaan, lalu dilanjutkan dengan makan siang bersama Presdir Park dari Golden. Lalu jam 2 siang Anda ada wawancara dengan majalah B di kafe Wander.”

“Begitu? Baiklah.” Jawab Se Hun tanpa melihat Jun Myeon karena terpaku dengan layar komputer di depannya.

“Hm, anu… Direktur Oh, saya mempunyai berita tentang Lee Ji Eun.”

Se Hun melirik dengan ujung matanya. Dalam hati ia mendesah mendengar nama itu dari mulut Jun Myeon. Terakhir kali ia bertemu Ji Eun adalah malam itu, ketika Ji Eun mabuk dan mendatangi rumahnya. Ia mencoba mengabaikan wanita itu semampunya, meski akhirnya tetap tidak tega untuk membiarkan Ji Eun masuk setelah dirinya pingsan. Namun Se Hun sama sekali tidak menyentuh Ji Eun. Ia hanya memanggil seorang pelayan ke rumahnya dan memintanya untuk mengurus Ji Eun. Dan begitu ia pulang, rumahnya pun kembali damai.

Se Hun harap ia tidak akan mendengar nama Ji Eun lagi setelah itu.

“Kalau itu ada hubungannya dengan namaku, silahkan hapus saja beritanya dan bilang kalau aku sama sekali tidak ada urusan.”

“Bukan begitu,” Jun Myeon mendesah. Ia paham betul kenapa Se Hun bisa sebenci itu dengan Ji Eun. “Tapi, ini. Anda bisa membacanya sendiri.”

Se Hun tidak menerima tablet yang disodorkan Jun Myeon padanya, bahkan melihatnya saja pun tidak mau. Ia hanya menjawab dengan nada dingin; “Bacakan saja, kalau tidak mau, silahkan keluar.”

Se Hun memang menyebalkan, tapi Jun Myeon paling membenci saat Se Hun seperti ini. Rasanya ingin segera menenggelamkan Se Hun saja di Sungai Amazon, biar piranha-piranha di sana sekalian menghabisi tubuh kurus itu. Tapi hati kecilnya tetap tidak bisa menolak. Se Hun sudah dianggap seperti adiknya sendiri, dan dedikasinya menjadi asisten Se Hun sejak 3 tahun yang lalu.

Mau tidak mau, Jun Myeon kembali menarik tablet itu. “Lily Monday membatalkan fashion show musim dinginnya secara mendadak, dan sekarang para sponsor menuntut ganti rugi. Dan beberapa investor sepertinya cukup terpengaruh, sehingga mulai menarik investasinya di sana.”

Meski terlihat tidak peduli, sebenarnya Se Hun mendengarnya dengan saksama. Membatalkan secara mendadak? Ini sangat aneh. Se Hun tahu, Ji Eun bukan orang bodoh yang bisa membatalkan acara besar itu karena masalah pribadi. Ia sangat profesional. Bahkan ketika Se Hun membatalkan pertunangan mereka, desain musim panasnya menjadi hot topic.

“Ah, ini juga berimbas pada LY Group. Sekarang perusahaan itu mulai goyah lagi.”

Sebelumnya LY Group memang berada di ambang batas, tapi dengan sedikit dorongan Sungjin, perusahaan itu bisa kembali bangkit. Sedikit kekhawatiran muncul di hati Se Hun. Bukan karena takut terkena imbas akan Sungjin (yah… meski sedikit ia mengkhawatirkan itu), tapi lebih kepada Lee Ji Eun. Apa yang membuatnya seperti itu?

“Baiklah, kau boleh keluar.”

Se Hun tidak mau membiarkan Jun Myeon membaca pikirannya yang mengkhawatirkan Ji Eun. Ia pun menolak otaknya yang ingin terus memikirkan wanita itu. Namun, baru sedetik ia berhasil mengalihkan pikirannya, ponselnya bergetar di atas meja. Nama kontak ibu Ji Eun muncul di sana.

Dengan ragu, Se Hun menjawab panggilan itu. Meski sebagian besar ia tahu apa yang akan dikatakan wanita itu. “Halo?”

“Se Hun-a, tolong aku.”

“Maafkan saya, Nyonya Jung, saya sedang—“

                “Ji Eun menghilang!”

Dan benar. Sepertinya ada yang tidak beres sedang terjadi.

***

Bruk!

Pria dengan rambut merah itu tersenyum lebar ketika seorang wanita melemparkan sebuah tas besar di depan kakinya. Ia pun melirik wanita itu untuk melihat wajah marahnya yang sangat ia sukai, lalu tertawa keras. Ia tahu kalau wanita itu tidak mungkin mengkhianatinya, tapi ia tetap berlutut dan memeriksa sendiri tas besar berisi puluhan ribu dollar itu.

“Kau puas?” tuding Ji Eun kasar. Ia ingin segera menyelesaikan urusannya dengan pria itu secepat mungkin, melihat senyum menggelikan itu benar-benar membuatnya muak!

Byun Baek Hyun mengambil satu gepok dollar dari tas itu lalu berjalan mendekati Ji Eun yang masih berdiri di dekat meja. Tangannya memainkan lembaran-lembaran dollar itu sambil tersenyum miring kepada Ji Eun. Tanpa sadar, keberanian yang sudah Ji Eun kumpulan sejak lama, mulai menyurut. Kakinya dengan bergetar melangkah mundur sedikit demi sedikit.

“Kau pasti memiliki nyali besar karena berani mendatangiku seorang diri ke hotel ini, kan?”

Bokong Ji Eun menyentuh ujung meja panjang yang menempel dengan dinding, di belakangnya. Matanya bergerak panik, mencari sebuah jalan keluar, sementara Baek Hyun terus mendekatinya. Tapi kamar hotel ini ada di lantai 20, balkon kamar itu langsung berhadapan dengan pemandangan kota, sama sekali bukan jalan keluar yang bagus. Satu-satunya jalan keluar adalah pintu di mana Ji Eun masuk tadi. Namun ia tahu kalau Baek Hyun tidak sebodoh itu untuk mudah diperdaya.

Intinya, Ji Eun terjebak.

Ji Eun merasakan ujung jari Baek Hyun menyusuri garis wajahnya dengan pelan, membuatnya memejamkan mata kuat-kuat. Tangan Ji Eun menggenggam pinggiran meja dengan erat. Ia ingin berteriak, tapi suaranya tercekat di tenggorokan. Selalu begitu. Ji Eun tidak pernah bisa melawan pria ini.

Baek Hyun menyelipkan rambut Ji Eun di belakang telinganya, lalu berbisik. “Dan cukup berani untuk membodohiku.”

Mata Ji Eun terbelalak, tapi tidak berani menoleh karena wajah Baek Hyun tepat di depannya. Ia tidak percaya kalau rencananya terbongkar dengan begitu mudah. Bahkan Ji Eun sudah memikirkan ini satu minggu lebih, dan Baek Hyun bisa mengetahuinya hanya hitungan detik. Ji Eun tidak bisa bergerak, pikirannya berkecamuk. Entah harus bagaimana ia menghadapi Baek Hyun sekarang.  Ia tahu Baek Hyun tidak mungkin melepaskannya begitu saja setelah ini.

Tidak menerima tanggapan apapun dari Ji Eun, rahang Baek Hyun mengeras, ia pun menjauhkan wajahnya lalu menepuk-nepuk segepok dollar itu ke pipi Ji Eun. “Bukankah sudah kubilang 75000 dollar? Apa aku mengatakannya kurang jelas?” tanyanya sarkastik.

Ji Eun masih memalingkan wajahnya. Geram karena terus diabaikan, Baek Hyun dengan paksa membuat wajah Ji Eun menatapnya. Wanita itu menggigit bibir bawahnya yang sudah bergetar, matanya yang masih tidak mau melihat Baek Hyun pun terlihat memerah. Baek Hyun mendecih. Awalnya saja ia terlihat keras, tapi pada dasarnya wanita ini memang takut padanya.

“Jawab aku!” desis Baek Hyun, cengkramannya di rahang Ji Eun makin menguat.

“A-Aku t-tidak punya u-uang lagi….” jawab Ji Eun ketakutan.

Memang terdengar seperti alasan belaka, tapi Ji Eun benar-benar tidak memiliki uang di rekeningnya. Ia membatalkan fashion show musim dinginnya, menghentikan produksi begitu saja agar uangnya bisa ia ‘pinjam’. Ji Eun tidak peduli dengan puluhan surat menuntut ganti rugi yang menumpuk di mejanya, yang terpenting sekarang hanyalah menutup mulut si brengsek ini. Tapi usaha sekeras apapun, Ji Eun tetap tidak bisa memenuhi permintaan Baek Hyun. Sehingga yang terjadi ia mengganti beberapa tumpuk uang dengan uang palsu, dengan harapan Baek Hyun tidak akan seteliti itu dan ia bisa melarikan diri dengan tenang.

“Kalau begitu minta saja dengan tunanganmu itu.” Baek Hyun mengucapkan itu dengan nada mengejek dan setengah mengancam.

“Sudah kukatakan urusanmu hanya denganku!”

“Kau membentakku?!” tangan Baek Hyun beralih ke leher Ji Eun, lalu mencekiknya. “Aku tidak peduli dengan berurusan dengan siapa, asalkan aku harus mendapatkan apa yang kumau! Dan kau tahu itu, kan?!”

Nafas Ji Eun yang sedari tadi sudah tercekat semakin perih terasa karena cekikan tangan Baek Hyun. Udara di ruangan itu seolah menolak untuk dihirupnya. Matanya mulai berkunang-kunang, seraya air mata keluar dari sudut matanya. Mana mungkin ia meminta bantuan Se Hun saat ini, kalau pria itu sudah membuangnya. Bahkan saat Ji Eun memohon malam itu pun, Se Hun hanya meninggalkannya dengan seorang ahjumma di penthouse-nya. Harga diri Ji Eun yang sudah di bawah seperti dihancurkan sampai berkeping-keping. Ia tidak akan tahan kalau harus memohon pada pria itu lagi.

Ia tidak mau semakin dibenci.

Ji Eun menggenggam pergelangan tangan Baek Hyun, berharap pria itu melepaskan cekikannya. Tapi yang terjadi malah Baek Hyun semakin gencar karena terhibur dengan wajah Ji Eun yang mulai membiru dan bibir kecilnya yang terbuka untuk mencari udara.

“Katakan, sayang… katakan apa yang ingin kauucapkan.” Baek Hyun tertawa ketika mendengar rintihan Ji Eun.

“B-Beri aku… w-waktu u-untuk… mencari… u-uangnya….”

Genggaman tangan Ji Eun melemah, tapi masih berusaha untuk menarik tangan Baek Hyun dari lehernya. Paru-parunya mulai panas, dan kepalanya pening. Sebelum ia menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba saja ia sudah tersungkur di lantai yang dingin itu. Dahinya membentur kaki kursi, dan tangannya yang tertimpa tubuhnya sendiri terasa sangat nyeri. Juga isi sling bag-nya pun berserakan saking kuatnya dorongan Baek Hyun.

Baek Hyun menghampiri Ji Eun dan berjongkok di sebelah wanita yang tengah terbatuk-batuk itu. Sebuah dengusan keluar dari mulutnya. Kemudian, dengan kasar, Baek Hyun menarik rambut Ji Eun sampai kepalanya tertarik ke belakang. Ji Eun, yang masih mencoba mengatur nafasnya, kembali terkejut dan refleks berteriak keras sambil mencoba mengenyahkan tangan Baek Hyun.

“Waktuku tidak banyak, Sayang. Harusnya kau mengerti itu.”

Saat menikmati wajah kesakitan Ji Eun dan suaranya yang bergetar sambil memohon, mata Baek Hyun menangkap ponsel Ji Eun yang tergeletak di lantai. Sebuah ide baru tiba-tiba saja muncul. Ia pun mendorong kepala Ji Eun dan melepaskan genggamannya di rambut wanita itu. Lalu, ia mengambil ponsel Ji Eun dan menyalakannya.

“Kalau kau tidak bisa menghubungi tunangan kayamu itu, biar aku yang melakukannya.”

“Jangan!”

Belum Ji Eun berhasil duduk untuk—setidaknya—bisa menahan gerakan Baek Hyun yang ingin menghubungi Se Hun, pria itu sudah menendang bagian perut wanita itu dengan keras sampai Ji Eun kembali tersungkur. Kali ini kepala Ji Eun membentur kaki kursi sampai telinganya ikut berdenging. Ji Eun melihat Baek Hyun sudah menempelkan ponselnya ke telinga. Meski pandangannya buram karena pening, Ji eun masih bisa melihat senyum mengerikan dari wajah Baek Hyun seolah sedang mengejek dirinya.

Aish! Kenapa tidak diangkat!”

Dan saat itu, Ji Eun sangat bersyukur karena Se Hun sudah membuangnya. Ia tidak bisa membawa orang lain ikut campur masalahnya. Masalah yang ia buat sendiri.

Namun Ji Eun melupakan kalau Baek Hyun adalah pria yang tidak suka kekalahan dalam detik itu. Baek Hyun dengan semangat terus menghubungi Se Hun. Setiap kali Ji Eun mengatakan ‘jangan’ dan mencoba menghentikan Baek Hyun mulai dari memeluk kakinya sampai menggigit tangannya, ia pasti mendapat perlakuan yang lebih kasar dari itu. Baek Hyun akan kembali melemparnya ke lantai, menendang perutnya, bahkan tidak segan menampar keras pipinya.

                “Halo?”

Ji Eun hanya bisa menatap ngeri ketika suara Se Hun menjawab panggilan itu. Ia tidak bisa melakukan apapun karena seluruh tubuhnya sudah sakit. Lebam tercetak di wajah dan kakinya. Bahkan ujung bibirnya sudah mengeluarkan darah akibat tamparan Baek Hyun sebelumnya.

“Oh, halo, Tunangan Lee Ji Eun.”

“Kau siapa?” Baek Hyun sengaja mengaktifkan speaker di ponsel Ji Eun agar wanita menyedihkan itu bisa mendengar jelas isi pembicaraan mereka.

“Aku? Hm… bagaimana kalau kau menganggapku malaikat maut? Sepertinya itu cukup keren.”

Terdengar desahan panjang dari ujung sana. “Aku tidak punya waktu untuk bermain-main—“

“Ah… kau sangat sibuk, ya? Maaf. Kalau begitu bisakah kau memberiku 75000 dollar siang ini juga, dengan begitu urusan kita akan selesai.”

“JANGAN SE HUN! JANGAN DENGAR—AKH!”

Sial! Harusnya Baek Hyun membenturkan kepala wanita itu lebih keras sedari tadi, sehingga mulut kurang ajar itu tidak mengganggunya. Ia menyesal karena memberi Ji Eun sedikit hati karena senang ketika melihat wajah cantik itu meringis kesakitan. Dan sekarang, Ji Eun tidak akan mengganggunya lagi karena wanita itu sudah tertidur lelap setelah membentur ujung meja.

“LEE JI EUN!” tanpa disangka, pria di ujung sana berteriak panik. “YA! SIAPA KAU! APA YANG KAULAKUKAN PADA LEE JI EUN?!”

“Oh, tidak ada. Aku hanya bermain-main dengannya.” Baek Hyun terkekeh sambil menyingkirkan rambut dari wajah Ji Eun yang pingsan di lantai.

                “Sial! Apa maumu sebenarnya?!”

“Sudah kubilang, kirimkan aku 75000 dollar sekarang juga. Alamatnya akan kukirim lewat pesan singkat.” Jawab Baek Hyun, tatapan mata yang tidak bisa dilihat Se Hun itu memancarkan aura dingin ke seluruh ruangan. “Telat satu detik pun, kurang satu sen pun, dan melibatkan polisi, akan menghilangkan satu nyawa wanita cantik di sini.”

Se Hun tidak membalas apapun lagi, tapi deru nafasnya terdengar oleh Baek Hyun.

“Aku menunggumu, Tunangan Lee Ji Eun.”

***

Dalam perjalanan menuju hotel tempat pertemuan, Se Hun dilanda rasa khawatir yang luar biasa. Diawali dengan panggilan dari Nyonya Jung kemarin, Se Hun terus kepikiran akan keadaan Ji Eun. Bukan apa-apa, ia tahu kalau Ji Eun bukanlah tipe kekanakan yang bisa meninggalkan semua tanggung jawab semaunya. Ini bukanlah Ji Eun yang dikenalnya.

Dan pria itu….

Teriakan Ji Eun….

Sial! Ia tidak bisa berkonsentrasi. Tangannya menggenggam roda kemudi dengan kuat.

Meski faktanya Se Hun sangat membenci Ji Eun, ia tidak bisa hanya diam saja ketika mendengar teriakan kesakitan wanita itu. Se Hun tidak pernah bisa tahan melihat wanita disakiti, apalagi wanita itu adalah orang yang dikenalnya.

Sampai di hotel yang dimaksud pria itu, Se Hun turun dari mobil dan meminta parkir valet memarkirkan mobilnya. Sementara ia membawa sendiri ransel berisi lembaran uang. Pria itu menyuruhnya membawa uang tunai langsung, bukan berupa cek ataupun ditransfer melalui bank. Ya, dia tidak mau terlacak. Sangat pintar, bagi seseorang yang menelepon Se Hun dengan gaya tidak sopan seperti itu.

Lift membawa Se Hun sampai ke lantai 20. Ia pun berjalan tanpa ragu menuju kamar 2016. Ia tidak mau tahu bahaya apa yang sedang menghadangnya di depan sana, ia hanya ingin menyelamatkan Ji Eun. Terdengar klise memang, Se Hun membenci Ji Eun, tapi rela menguras rekeningnya untuk wanita itu.

Se Hun memencet bel dengan tenang begitu tiba di depan kamar 2016. Tidak sampai sepuluh detik, pintu itu terbuka. Hanya berupa celah kecil. Untuk saat ini, Se Hun menekan egonya dalam-dalam. Ia bukan orang yang penyabar, apalagi terhadap seseorang yang dengan konyol memberinya permainan seperti ini. Se Hun pun masuk dari celah itu. Di balik pintu, seseorang ternyata sudah menunggunya. Seorang pria berambut merah yang berpakaian seperti sedang di musim panas, padahal jelas-jelas ini pertengahan musim dingin.

Pria itu tersenyum bukan karena melihat sosok Se Hun yang tampak rapi dengan setelan kemeja dan jas yang dibalut mantel berwarna hitam. Namun karena ransel penuh uang yang tersampir di bahu pria itu. Baek Hyun baru maju satu langkah mendekati ransel itu ketika suara Se Hun menghentikannya.

“Mana Ji Eun?”

Baek Hyun tertawa mendengar pertanyaan Se Hun. “Wah, kau ternyata sangat memperdulikan tunanganmu, ya?” tanyanya. Ia pun menggeser tubuhnya, sehingga sosok mungil Ji Eun yang tengah pingsan dengan posisi meringkuk, dan tangan serta kakinya diikat, juga mulutnya yang diberi lakban hitam, terlihat oleh Se Hun.

“Tenang, ia hanya tertidur. Yah… mungkin akan bangun dalam waktu yang lama.”

Se Hun tidak bisa bernafas selama beberapa detik. Satu tangannya terkepal kuat di dalam saku mantelnya, sedangkan satunya lagi menggenggam tali ransel kuat-kuat. Apa yang sudah dilakukan pria ini pada Ji Eun? Apa dia pikir Ji Eun bukan manusia?! Se Hun sangat ingin berlari ke sana lalu membawa Ji Eun ke rumah sakit, dengan sebelumnya menghabisi brengsek ini terlebih dulu. Tapi ia tidak boleh gegabah. Satu gerakan salah saja, hal fatal akan terjadi.

Se Hun melempar ransel di tangannya ke depan kaki Baek Hyun. “Itu uangnya. Sekarang, lepaskan Ji Eun.”

Seolah tidak mendengar ucapan Se Hun, Baek Hyun langsung berjongkok untuk mengambil ransel itu. Ia harus memastikan kalau kali ini bukan perangkap. Mata Baek Hyun pun berbinar melihat lembaran-lembaran wangi itu yang masih tercetak mulus. Semua asli. Memang tidak diragukan lagi kalau Oh Se Hun adalah pewaris Sungjin Group. Uang dengan jumlah itu tentu saja bukan hal yang besar untuknya.

Tidak mendapat tanggapan Baek Hyun, Se Hun dengan sendirinya menghampiri Ji Eun. Wanita itu sama sekali tidak bergerak, bahkan saat Se Hun membuka seluruh ikatan dan lakban yang menutupi mulutnya. Dengan sigap, Se Hun menyelipkan lengannya di lutut dan leher Ji Eun, menggendongnya. Namun sebelum ia berhasil melangkahkan langkah pertamanya dari tempat itu, sebuah desing keras yang bersamaan dengan sebuah benda kecil yang bergerak cepat jatuh mengarah ke kakinya—hampir mengenai ujung sepatunya.

Se Hun mengangkat kepalanya. Matanya membulat melihat Baek Hyun yang sedang menggendong tas ransel berisi uang dan sebuah pistol di tangannya. Pistol itu diarahkan ke kaki Se Hun. Kemudian, Baek Hyun mengangkat pistolnya ke samping wajahnya.

“Kau pikir, aku akan membebaskan kalian begitu saja?” tanya Baek Hyun sambil tersenyum miring. “Setelah kau melihatku, mendengar suaraku, bahkan mengetahui alasanku datang ke sini.”

Se Hun diam saja.

“Setidaknya aku harus memberikan sebuah hadiah kepada kalian. Anggap saja sebagai ucapan selamat atas pertunangan kalian yang gagal.” Baek Hyun pun tertawa sendiri, seolah kata-katanya adalah lelucon terlucu di dunia.

Setelah itu, Baek Hyun mengarahkan pistolnya ke kepala Se Hun. Melihat Se Hun yang hanya diam saja sambil menggendong Ji Eun yang pingsan, Baek Hyun makin tersenyum senang. Wah, ia mendapat pasangan manis sebagai korban kelima dan keenamnya.

“Ada pesan terakhir?” tanya Baek Hyun.

“Kau tidak mendengar sesuatu?” Se Hun, yang sedaritadi hanya mendengar ocehan Baek Hyun, malah bertanya balik padanya.

Baek Hyun mengerutkan dahinya, tapi ia tidak boleh lengah sedikit pun. “Kau berusaha mengecohku?!”

“Tidak. Aku hanya bertanya; kau tidak mendengar sesuatu?”

Sepertinya pertanyaan Se Hun mampu membuat Baek Hyun terpengaruh. Pria itu diam sejenak sambil mencoba menajamkan pendengarannya. Pistol itu masih terarah ke kepala Se Hun. Tanpa diketahui Baek Hyun, Se Hun perlahan menggeser tubuhnya. Baek Hyun masih saja berkonsentrasi dengan suara di sekitarnya. Awalnya ia tidak mendengar apa-apa, tapi tiba-tiba saja bunyi seperti kipas angin terdengar dari luar jendela. Sebelum ia menyadari apa yang terjadi, kaca jendela balkon pecah berkeping-keping dan bunyi dobrakan pintu depan bersamaan dengan langkah kaki cepat memenuhi ruangan.

Pasukan khusus yang disiapkan Se Hun menerobos melalui jendela balkon, dengan bantuan helikopter dan tali, dan melalui pintu depan. Lebih dari dua puluh orang berpakaian lengkap dengan senjata laras panjang langsung mengepung Baek Hyun. Satu orang menjatuhkan senjata Baek Hyun, lalu membawa kedua tangannya di belakang punggung sambil berlutut. Semua kejadian itu berlangsung cepat, bahkan Baek Hyun belum bisa menerima semua ini. Namun tetap saja, pasukan yang sudah mendapat pelatihan khusus, dengan rompi antipeluru dan senjata, sama sekali bukan tandingannya. Baek Hyun tidak punya pilihan lain selain menyerah.

Ya, ia salah meremehkan seorang Oh Se Hun.

Bersamaan dengan pasukan itu membawa Baek Hyun keluar, petugas medis mendatangi Se Hun. Mereka segera membawa Ji Eun dan memberikan pertolongan pertama selagi di perjalanan menuju rumah sakit. Oke, untung saja masalah ini cepat selesai. Se Hun hanya berharap masalahnya dengan Seo Ah bisa selesai secepat ini pula.

***

Mendapat telepon dari ibu Ji Eun, Bo Mi langsung melesatkan mobilnya ke rumah Seo Ah untuk mengajaknya ikut ke rumah sakit. Ia sama sekali tidak tahu kalau Seo Ah sedang mengurung diri selama beberapa hari. Tapi beruntung, berkat kepanikannya, ia berhasil membawa Seo Ah keluar dari rumah itu untuk melihat Ji Eun. Tidak ada yang membahas tentang masalah kemarin di dalam mobil. Mereka hanya saling diam, dan sesekali Bo Mi menggerutu sendiri ketika jalanan tersendat karena lampu merah. Sampai mereka tiba di depan rumah sakit, tidak ada pembicaraan apapun yang terjadi.

Di depan ruang operasi, mereka menemukan Se Hun dan ibu Ji Eun sudah berada di sana. Kaki Seo Ah berhenti sejenak melihat sosok Se Hun di sana. Sebagian hatinya menanyakan kenapa Se Hun berada di sana, sementara hubungan pria itu dengan Ji Eun sudah berakhir. Ia mulai meragukan perasaan Se Hun, belum lagi belakangan ini hubungan mereka sedang tidak baik. Tapi sisi lain hatinya mencoba mengenyahkan pikiran buruk itu. Ini bukan waktunya mengkhawatirkan masalah konyol seperti itu. Ji Eun sedang menjalani operasi di dalam, semua tidak boleh egois.

“Bagaimana keadaannya, Eommeonim?” tanya Bo Mi pada ibu Ji Eun yang sedang menunduk di kursi. Dilihat dari wajahnya, beliau habis menangis.

“Dokter sedang menanganinya di dalam,” jawab ibu Ji Eun lemah. “Aku tidak menyangka ia mengalami hal berat ini. Ji Eun tidak pernah bercerita padaku.”

Kemudian ibu Ji Eun bercerita bagaimana bisa anaknya berakhir di meja operasi. Dimulai dari siapa itu Baek Hyun—yang disamarkan Se Hun sebagai salah satu stalker Ji Eun yang merangkup penagih utang—bagaimana Baek Hyun memperlakukan Ji Eun, sampai letak lebam dan tulang rusuk  Ji Eun yang patah. Sambil mendengarkan ibu Ji Eun bercerita, sesekali Bo Mi melirik Se Hun yang masih berdiri di sana sambil memperhatikan Seo Ah yang tertunduk. Siapa yang menyangka Se Hun akan menyelamatkan Ji Eun mati-matian seperti itu.

Tiga puluh menit kemudian, dokter keluar dari ruang operasi dan menyampaikan bagaimana kondisi Ji Eun. Wanita itu sudah stabil dan akan dipindahkan ke ruang perawatan. Di sana mereka akan bisa menjenguk Ji Eun.

Hampir setengah jam menunggu, akhirnya mereka bisa melihat Ji Eun di ruang rawat. Ibu Ji Eun langsung berhambur masuk dan memeluk Ji Eun. Bo Mi mengekori di belakang. Se Hun juga ingin masuk, tapi melihat tingkah ragu Seo Ah di depan pintu mengurungkan langkahnya. Se Hun berbalik dan menghampiri Seo Ah, menggenggam tangan wanita itu.

“Ikut aku.”

Se Hun tidak membawa Seo Ah masuk ke dalam kamar rawat Ji Eun, tetapi berbelok arah ke lorong sebaliknya. Seo Ah sungguh ingin melihat Ji Eun, tapi ia juga tidak mau mengganggu Ji Eun. Ia tahu keadaan Ji Eun masih belum stabil, meski dokter mengatakan sebaliknya. Oleh sebab itu, ia memilih untuk mengikuti ke mana Se Hun mengajaknya.

Se Hun membawanya ke tempat parkir, menuju mobilnya. Ia membuka pintu kursi penumpang lalu menyuruh Seo Ah masuk. Sesudah menutup pintu, Se Hun menuju kursi sebelah Seo Ah dan duduk di sana. Untuk beberapa saat, mereka hanya saling terdiam. Kedua tangan Seo Ah bertaut di pangkuannya, sedangkan Se Hun hanya terus melihat ke luar jendela. Mereka sama-sama sedang mencari bahan untuk mengawali percakapan, setelah lama tidak bertemu.

“Kau… baik-baik saja?” tanya Se Hun akhirnya. Perlahan, ia memutar kepalanya dan mempehatikan sosok Seo Ah dari atas sampai bawah. Kalau dilihat sekilas, wanita ini memang baik-baik saja.

“Hm.” Jawab Seo Ah. “Bagaimana denganmu?”

Se Hun mendesah. “Tidak terlalu baik.”

“Terima kasih sudah menyelamatkan Ji Eun.”

Seo Ah mendengar saat ibu Ji Eun bercerita pada Bo Mi. Hati kecilnya terasa nyeri mendengar bagaimana proses penyelamatan Ji Eun yang terdengar begitu dramatis. Se Hun bahkan rela mengeluarkan banyak uang untuk menyewa pasukan khusus itu. Ia juga yang membiayai seluruh pengobatan Ji Eun dan kerusakan yang terjadi di hotel akibat proses penyelamatan itu.

Apakah itu artinya Se Hun masih mencintai Ji Eun?

“Jangan salah paham.” Seolah bisa membaca pikiran Seo Ah, Se Hun mulai menjelaskan. “Dia adalah orang yang kukenal, dan juga sahabatmu. Aku tahu kau pasti akan sedih kalau sahabatmu terluka, dan akan melakukan hal yang sama jika mengetahui sebelumnya.”

Se Hun menghela nafas panjang. “Aku lebih tidak suka melihatmu terluka karena menyelamatkan Ji Eun nantinya.”

Tiba-tiba saja Seo Ah merasa bodoh karena mengkhawatirkan hal konyol itu. Meski terdengar jahat, hatinya berdebar saat Se Hun mengatakannya.

“Kau itu kan bodoh, suka bertindak tanpa berpikir dua kali.”

“Baik, terima kasih.” Balas Seo Ah sarkastik. Ia pun melempar pandangan ke luar jendela.

Se Hun tidak menyangka kalau leluconnya hanya ditanggapi dingin oleh Seo Ah. Biasanya, wanita ini akan menyerangnya balik dengan kata-kata pedasnya. Dan hal itulah yang membuat Se Hun jatuh ke dalam pesona Seo Ah. Se Hun menghela nafas panjang lalu meraih satu tangan Seo Ah. Kalau dalam situasi seperti ini, ia memang tidak boleh sembarangan bicara. Bertemu Seo Ah seperti ini saja sudah seperti mukjizat baginya.

“Aku lega kau baik-baik saja,” ucap Se Hun. “Tapi… kau tahu, aku mulai berpikir apa aku tidak pantas untukmu.”

Seo Ah memutar kepalanya dengan cepat, menatap Se Hun. “Kenapa?”

“Aku mungkin… tidak bisa kau andalkan, kan?” masih sambil memainkan punggung tangan Seo Ah, Se Hun tersenyum miris. Ia berusaha terlihat senormal mungkin dengan senyuman itu, menutupi rasa sakit di dadanya juga rasa kecewa terhadap Seo Ah.

Seo Ah tidak menjawab. Orang jahat macam apa yang bisa membuat Oh Se Hun tersenyum seperti itu? Ah… itu dirinya, Choi Seo Ah. Seorang wanita yang dengan bodohnya menyia-nyiakan pria hebat seperti Oh Se Hun karena keegoisannya. Ia lebih memilih memendamnya sendiri, menangis seperti orang gila, tanpa ingat kalau ia mempunyai keluarga dan sandaran baru yang selalu menunggunya. Benar, Seo Ah memang wanita jahat.

Air mata Seo Ah mengalir. Ia kemudian balik menggenggam tangan Se Hun dengan kedua tangannya yang bergetar. “Maafkan aku….”

“A-Aku takut… A-Aku tidak tahu harus melakukan apa….” Seo Ah berusaha tidak menatap mata Se Hun, ia tidak mau terlihat lebih menyedihkan daripada ini. “Seluruh dunia seperti runtuh di atas kepalaku, aku tidak tahu harus melakukan apa dan mana yang harus lebih dulu diselesaikan.”

Se Hun menangkup wajah Seo Ah, membuat wanita itu menatapnya. “Kau memiliki diriku, juga ibumu dan Jeong Min, jadi apa yang kau takutkan? Kau bisa datang kepada kami kapan saja.”

“Aku tahu. Maafkan aku….”

Tangis Seo Ah makin keras. Se Hun membawa Seo Ah ke dalam pelukannya. Seo Ah menggenggam mantel Se Hun kuat-kuat, seolah sedang menguras seluruh hatinya. Tidak ada suara apapun selain isak tangis Seo Ah. Se Hun tidak mengucapkan apa-apa, sekalipun itu untuk membuat Seo Ah berhenti menangis. Ia membiarkan wanita itu mengeluarkan semua yang dipendamnya. Se Hun hanya memberikan tepukan kecil di punggung Seo Ah. Saat wanita itu mengeratkan pelukannya, di saat yang sama pula Se Hun semakin mengenggelamkan wajah Seo Ah di dadanya.

Lima belas menit berlalu dengan cepat. Seo Ah sudah berhenti menangis, meski mata merah dan bengkaknya belum juga pulih. Wajah wanita itu lembab karena air mata. Sekarang mereka berdua sedang saling menatap dengan posisi setengah berbaring di kursi mobil Se Hun. Satu tangan mereka saling bertaut di pangkuan Se Hun. Waktu empat hari yang mereka lalui tanpa bertukar kata dan bertatap wajah akhirnya bisa terbayar hari ini.

Salju mulai turun karena langit sudah berubah menjadi gelap. Entah sudah berapa lama mereka berada di dalam mobil dan hanya diselimuti keheningan. Mereka berbicara melalui tatapan mata, menyalurkan perasaan rindu yang dibendung beberapa hari yang lalu.

“Kau tampak lebih kurus.” Dengan suara pelan, Seo Ah akhirnya memulai percakapan dengan suara.

“Yah… karena ada seorang wanita yang membuatku hampir gila sampai lupa waktu makan.”

Seo Ah terkekeh. “Hebat sekali wanita itu.”

Se Hun ikut tersenyum ketika Seo Ah mulai bisa menanggapi leluconnya. Ia menggantikan tangannya yang sedang menggenggam tangan Seo Ah dengan yang lain. Ia menyentuh wajah Seo Ah, mengusap pipinya dengan gerakan lembut.

“Kau tidak tahu betapa aku merindukanmu?”

“Aku tahu.” Seo Ah mengangguk kecil. “Karena aku juga merindukanmu.”

Se Hun mengerucutkan bibirnya. “Lalu kenapa tidak menelepon.”

“Aku tidak mau mendengar suara jelekmu.”

“Bahkan wanita di luar sana rela membayar mahal untuk mendengar suara jelekku ini.”

“Memangnya kau idol?”

Se Hun mengangkat bahunya dan memasang wajah menyebalkan. “Aku jauh lebih hebat dari mereka.”

Seo Ah mendesis sambil menyubit tangan Se Hun. Pria itu meringis sebentar sebelum membalas dengan memberikan cubitan kecil di pipi Seo Ah. Mereka pun akhirnya tertawa bersama. Rasanya seperti sudah berabad-abad mereka tidak melakukan hal kecil yang manis ini.

Obrolan mereka terhenti ketika Seo Ah merasakan ponselnya bergetar. Satu pesan singkat didapatnya dari Bo Mi. Ia mengatakan kalau Ji Eun sudah tidur dan ibunya sudah pulang ke rumah, jadi Seo Ah bisa menjenguknya sekarang. Seo Ah hampir saja menangis kalau tidak sadar Se Hun juga ada di sini, bahkan ikut mengintip isi pesan itu. Bo Mi memang sangat mengerti dirinya. Ia pasti tahu alasan kenapa Seo Ah tidak ikut masuk tadi. Keadaan akan semakin canggung bila Seo Ah dan Ji Eun sama-sama memaksakan diri.

“Maaf.”

Seo Ah menoleh, menatap Se Hun yang sedang menatapnya dengan perasaan bersalah. “Kenapa?”

“Gara-gara diriku, hubunganmu dengan Ji Eun menjadi seperti ini.”

Seo Ah tersenyum tipis, tapi di dalamnya mengandung luka. “Tidak apa-apa, ini juga salahku. Ayo keluar.”

Masih bergandengan tangan, mereka berdua kembali masuk ke rumah sakit. Tidak ada pembicaraan khusus yang terjadi. Gara-gara ucapan Se Hun tadi, keduanya jadi kembali memikirkan Ji Eun. Terutama masalah hubungan yang sekarang menjadi canggung.

Bo Mi sudah menunggu mereka di depan kamar rawat Ji Eun. Bo Mi menoleh ketika menyadari ada langkah kaki mendekat. Seo Ah buru-buru menarik tangannya dari genggaman Se Hun, tapi ia kalah cepat karena pria itu malah menggenggamnya makin kuat. Se Hun pun setengah menyeret Seo Ah untuk mendekati Bo Mi.

Bo Mi bangun dari kursi dan hanya bisa menghela nafas ketika melihat dua tangan itu bertaut mesra. “Ada yang harus kuurus di kafe, kalian bisa menjaga Ji Eun, kan? Setidaknya sampai eommeonim kembali.”

“Ya, tenang saja.” Jawab Se Hun.

Bo Mi mengalihkan pandangannya ke Seo Ah. “Tidak apa-apa, semua akan baik-baik saja.”

“Terima kasih, Bo Mi-ya.”

Bo Mi membalas senyuman Seo Ah dengan senyum tipis. Ia pun berpamitan dan pergi dari tempat itu. Seo Ah dan Se Hun tidak langsung masuk ke kamar rawat Bo Mi selepas wanita itu menghilang di ujung koridor. Satu helaan nafas panjang mereka embuskan. Seperti ingin menghadapi sebuah tantangan terbesar di hidup mereka, langkah pertama penuh keraguan. Tapi niat hati terus dibulatkan. Se Hun membuka pintu kamar rawat Ji Eun.

Seperti kata Bo Mi, Ji Eun tengah tertidur lelap di kasurnya. Selang infus di tangan kanannya, dan selang oksigen menggantung di hidungnya. Hati Seo Ah mencelos melihat keadaan Ji Eun. Sahabat yang memiliki wajah cantik bagai bidadari kini berhiaskan lebam ungu kebiruan. Bibirnya terlihat bengkak, dan plester di dahinya.

Seo Ah menahan tangis di ujung matanya, tangannya terulur untu menyentuh pipi Ji Eun. “Maafkan aku….”

Se Hun menggenggam tangan Seo Ah yang satunya, menyalurkan kekuatan dari sana. Ia tahu kalau Seo Ah sangat menyayangi sahabat-sahabatnya. Ia tidak pernah ingin membuat khawatir mereka. Meski kenyataannya hubungan Seo Ah dan Ji Eun sedang tidak baik saat ini, wanita ini malah sesenggukkan melihat keadaan Ji Eun. Padahal Ji Eun terbaring seperti ini tidak ada hubungannya dengan Seo Ah. Ini karena pria yang menjebak Lee Ji Eun untuk uang.

Jun Myeon memberitahunya sesaat pria itu berhasil di bawa ke kantor polisi. Ternyata kejahatan yang pernah dilakukan pria itu bukan hanya kekerasan dan pemerasan. Ia sudah masuk Daftar Pencarian Orang di kepolisian San Fransisco dan Seoul karena pembunuhan, perjudian, pemerkosaan, juga peredaran narkoba. Entah bagaimana Ji Eun bisa terlibat dengan orang ini. Yang pasti Se Hun bisa sedikit lega karena ia berhasil meringkus orang yang menyebabkan kekacauan ini.

Tapi sedikit pun Se Hun tidak menyesal karena mengakhiri hubungan dengan Ji Eun. Se Hun menolehkan kepalanya, memperhatikan Seo Ah yang masih menahan isakannya sambil mengusap wajah Ji Eun dengan gerakan amat pelan. Ya, Choi Seo Ah. Wanita ini memberikan warna baru di hidupnya. Meski diawali dengan kejadian tidak baik, Se Hun beruntung sekarang bisa bersama Seo Ah.

Se Hun tidak akan bisa kalau bukan Seo Ah.

Membersitkan hidungnya, Seo Ah menghapus air matanya. “Kau bisa pulang. Aku akan menjaga Ji Eun sampai eommeonim datang.” Katanya pada Se Hun.

“Aku bisa di sini menemanimu,” jawab Se Hun. Lalu tiba-tiba sesuatu terbesit di kepalanya, ia pun segera menambahkan. “Jangan salah paham! Aku hanya ingin menemanimu.”

Seo Ah terkekeh pelan. “Tidak apa-apa, kau pasti lelah, kan?”

Se Hun menggeleng seperti anak kecil. “Aku temani atau kita berdua pulang.”

Seo Ah hanya bisa menghela nafas melihat tingkah Se Hun seperti itu. Tidak ada pilihan lain, ia pun akhirnya memperbolehkan Se Hun menemaninya. Se Hun meminta sebuah selimut tambahan kepada perawat untuk mereka berdua. Ia pun memberikan mantelnya untuk Seo Ah. Meski ruangan ini sudah dilengkapi pemanas, tapi udara dingin terkadang masih bisa masuk melalui celah jendela dan pintu.

Mereka pun duduk berdua di atas sofa yang ada di kamar rawat itu dengan kaki tertutup selimut. Kepala Seo Ah berada di dada Se Hun, terus memperhatikan Ji Eun yang tertidur tenang di sana. Mantel yang diberikan Se Hun digunakannya sebagai penutup dadanya, agar tidak kedinginan. Se Hun terus menggosokan tangannya di lengan Seo Ah, mencoba menghangatkan wanita itu sekaligus membuatnya tertidur.

Hanya bunyi nafas mereka bertiga yang terdengar. Kamar menjadi hangat untuk Se Hun. Tidur bersama Seo Ah merupakan salah satu ‘fantasi pria’ yang diidamkannya. Tidak dalam artian khusus, hanya tidur seperti biasa, saling berpelukan, bertukar cerita dalam kehangatan, lalu bangun dan saling melihat wajah satu sama lain. Namun dalam keadaan dan posisi seperti ini pun dirasanya sudah cukup. Ia bisa menggenggam tangan Seo Ah semalaman, dan merasakan detak jantung Seo Ah yang tenang sampai pagi.

Seo Ah dan Se Hun mengobrol ringan dengan suara sangat kecil di dalam keremangan kamar rawat itu. Terang lampu yang menerobos masuk dari celah gorden membuat suasana terasa sangat intim. Perlahan, mereka melupakan tujuan utama ada di tempat itu. Mereka terbawa dalam kehangatan dan bunyi detak jantung yang menenangkan. Sampai akhirnya mereka berdua tertidur dalam posisi duduk dan saling berpelukan di sofa.

Tanpa tahu Ji Eun dari kasurnya melihat pemandangan itu sambil menahan tangis. Tatapannya penuh rasa bersalah. Terutama untuk Choi Seo Ah, sahabatnya.

***

Sebuah bias cahaya mengganggu tidur Seo Ah. Perlahan, Seo Ah membuka matanya. Yang pertama ia rasakan adalah badannya yang sakit karena tidur dalam posisi meringkuk di atas sofa. Ia tidak menemukan Se Hun di sebelahnya, hanya ada mantelnya yang digunakan Seo Ah sebagai bantal. Baru ingin Seo Ah memanggil Se Hun, ketika ia menyadari sosok kurus di atas kasur sana sedang duduk memperhatikannya.

Ji Eun dan Seo Ah saling bertatapan tanpa mengucapkan apapun. Di dalam kamar ini hanya ada mereka berdua. Melihat langit yang sudah terang di luar sana, Seo Ah berpikir kalau ini memang sudah siang. Ia telat bangun. Rencana untuk meninggalkan kamar Ji Eun sebelum dia mengetahuinya gagal sudah. Kini mau tidak mau, Seo Ah harus menyapa Ji Eun, mengurangi kecanggungan ini.

Seo Ah mendekati kasur Ji Eun. “Bagaimana… keadaanmu?”

“Sudah mulai membaik.”

“Syukurlah.”

Lalu mereka kembali terdiam. Ji Eun hanya menatap kesepuluh kuku jari tangannya, sedangkan Seo Ah mencari apapun yang ada di ruangan ini—atau di luar sana—yang bisa menjadi bahan obrolan. Tapi nihil. Akan terasa kaku kalau Seo Ah memulai dengan hal tentang cuaca.

“Seo Ah-ya.”

“Ji Eun-a.”

Di saat mereka berdua memiliki keinginan untuk memulai pembicaraan, mereka melakukannya secara bersamaan. Suasana canggung kembali menyelimuti. Sebelum Seo Ah menyuruh Ji Eun untuk berbicara terlebih dulu, wanita itu mengambil inisiatif sendiri.

“Terima kasih sudah menungguiku.” Ucap Ji Eun pelan.

Seo Ah mengangguk. “Bukan apa-apa. Aku lega kau sudah baikan.”

“Ini berkat kalian semua, aku merasa beruntung memiliki kalian di hidupku.” Kata Ji Eun. “Maafkan aku, ya.”

Seo Ah tiba-tiba saja matanya memanas setelah mendengar kalimat Ji Eun. Tidak ingin membuat Ji Eun tambah bersedih karena melihatnya menangis, Seo Ah pun izin keluar kamar untuk membeli sarapan. Tanpa menunggu balasan Ji Eun, Seo Ah mengambil mantelnya dan meninggalkan kamar itu. Di depan pintu kamar, ia menghela nafas panjang.

Ia belum siap untuk berbicara serius dengan Ji Eun. Ia takut emosinya ikut bermain dan malah memperburuk keadaan. Tapi… Ji Eun meminta maaf? Seo Ah melirik sekilas ke dalam, sepertinya memang ini saatnya. Walau belum siap, Seo Ah harus siap. Beranjak dari sana untuk membeli sarapan, dalam setiap langkahnya, Seo Ah berusaha menguatkan tekad untuk memperbaiki hubungannya dengan Ji Eun.

Selepas perginya Seo Ah, Ji Eun hanya seorang diri di kamar. Sepertinya ini adalah saat yang tepat untuk melepaskan semuanya. Melepaskan Se Hun, melepaskan perasaan bencinya, dan melepaskan ikatan yang menyesakkan ini. Ia ingin terlahir kembali menjadi Lee Ji Eun yang bebas. Meski ia yakin akan membutuhkan waktu yang lama, ia ingin jatuh cinta lagi. Tapi bukan dengan orang seperti Se Hun. Ia ingin mencoba hal baru. Dan selamanya akan membuat dirinya lebih baik lagi.

Selagi berpikir seperti itu, pintu kamar rawatnya terbuka. Ibunya masuk dengan penampilan seperti biasanya. Tidak peduli kalau anaknya sedang terbaring lemah di ranjang rumah sakit, ibunya tetap berpakaian mewah dengan segala aksesoris. Ia memakai terusan berwarna biru, yang dilapisi dengan mantel kulit berwarna senada. Tas tangan Prada menggantung di tangan kirinya. Ia bahkan tidak mau repot-repot membawa makanan, atau paling tidak setangkai bunga, untuk menghiasi ruangan kelam ini.

“Bagaimana keadaanmu?”

Meski pertanyaannya sama dengan yang Ji Eun dengar dari mulut Seo Ah beberapa saat yang lalu, ia tidak bisa merasakan kekhawatiran di sana. Ibunya hanya bertingkah seperti itu saat di depan Se Hun. Ji Eun muak! Harus dengan cara apa lagi ia menghentikan ibunya ini.

“Sudah baikan.” Jawab Ji Eun dingin, tanpa menatap beliau. Ji Eun lebih suka melihat pemandangan serba putih di luar jendela daripada wajah ibunya yang tampak sepuluh tahun lebih muda itu.

“Baguslah.” Ibunya meletakkan tas di atas meja, lalu mendekat ke arahnya. “Tapi setidaknya kau harus bertahan di sini lebih lama. Se Hun terlihat sangat mengkhawatirkanmu.”

Eomma! Cukup!”

“Kenapa?” seolah tidak tahu apa-apa, ibunya malah balik bertanya. “Kau harusnya senang, Se Hun sendiri yang mendatangimu, kau harus menariknya lebih kuat lagi.”

Ji Eun bisa membalas dengan kata-kata kasar kalau tidak ingat beliau-lah orang yang melahirkannya. Ibunya adalah salah satu orang yang berpikiran paling picik di dunia. Beliau akan melakukan apa saja untuk kebahagiaannya sendiri, meski itu artinya harus mengorbankan Ji Eun.

Tapi kali ini Ji Eun tidak boleh membiarkan ibunya mendapatkan itu semua. Bila itu terjadi, bukan hanya Se Hun dan Ji Eun yang terluka, tapi juga Seo Ah. Melihat bagaimana Se Hun memeluk Seo Ah semalaman, kata-kata yang diucapkan Se Hun ketika tidur Seo Ah sedikit terusik, dan bagaimana Se Hun berpesan untuk menjaga Seo Ah sementara dirinya pergi bekerja, benar-benar menggambarkan sebesar apa rasa sayang Se Hun kepada sahabatnya itu. Se Hun bahkan tidak segan-segan mengatakan kalau ia mencintai Seo Ah saat Ji Eun bertanya tadi.

Jadi apakah Ji Eun masih memiliki kesempatan?

Apa ia begitu tega sampai mengorbankan sahabatnya juga?

Tidak. Ji Eun tidak bisa. Cukup dirinya saja yang menjadi korban kepicikan ibunya.

Eomma, aku dan Se Hun sudah berakhir, kita tidak bisa bersama lagi!” Ji Eun mengontrol suaranya agar tidak berteriak.

“Tapi kemungkinan itu masih ada!” ibunya tetap bersikeras. “Kau tidak tahu bagaimana dia menyelamatkanmu, memperhatikanmu? Bahkan rela mengorbankan banyak uang untukmu?”

Ji Eun terdiam. Memang sekilas semua perlakuan Se Hun terlihat ambigu, tapi Ji Eun yakin Se Hun memiliki alasan lain untuk membantunya. Ia tidak boleh kembali terlena dan mengacaukan semuanya.

“Se Hun sudah memiliki pacar.” Akhirnya Ji Eun mengatakan itu juga.

Seperti perkiraannya, ibunya terdiam selama beberapa detik. Tapi hanya sebentar, sebelum Ji Eun kembali melihat senyum mengerikan dari wajahnya. “Kalau begitu, rebut saja! Bukankah dulu dia memang sering bermain dengan wanita lain? Lalu apa bedanya?”

“Dia Choi Seo Ah, sahabatku. Dan Se Hun sangat mencintainya.”

Marah karena Ji Eun terus menjawabnya, terlebih ia mengetahui fakta kalau teman anaknya sendiri yang bersanding dengan Se Hun sekarang, Jung So Min pun berteriak. “APA KAU BODOH?! SUDAH KUBILANG, REBUT DIA, GODA DIA, KALAU PERLU LEMPAR TUBUH TELANJANGMU DI HADAPANNYA!”

Ji Eun tersentak mendengar bentakkan kasar ibunya. Gemuruh di hatinya mulai naik ke kepala, membuat denyutan sakit. Air mata sudah terkumpul di sudut matanya.

“APA EOMMA GILA?!”

“LAKUKAN APAPUN! KAU TIDAK MENDENGARKU?!”

“Se Hun tidak akan mau dengan jalang sepertiku!” Ji Eun menjerit. Ia sudah tidak tahan lagi dengan kelakuan dan ucapan ibunya. “Apa eomma pikir masih ada pria yang mau dengan wanita yang hamil dan menggugurkan janinnya sendiri?! HAH?!”

Kopi panas….

Shortcake kesukaan Ji Eun…

Dan air mata…

Semua berceceran di lantai dingin lorong rumah sakit.

Seo Ah mendengar semuanya. Seo Ah mendengar kenyataan di balik hubungan Ji Eun dan Se Hun.

Ia tidak tahu, apakah ada hal yang lebih buruk daripada ini?

 

 


 

*ADUUUUHHH maaf ngaret satu minggu

 

Oh iya, mau curhat lagi…. JUNIEL MAU COMEBACK WOY!!! HAHAHAHA JANGAN LUPA YAAA TANGGAL 9 AGUSTUS YUHUUU. Yaa walaupun Cuma digital singel T.T aku sih mah gapapa… jadi banila tuh harus kuat-kuat hati, asal kalian tau yaq *nangis dipojokan bareng Inseong*

 

Oh iya, aku mau bikin ff SF9 masa wkwkwk walau belom kepikiran mau kayak gimana. Atau BTS? Hm… yang punya ide bisa dituangkan di kolom komentar (sori ya, request ff belom kubuka T.T aku takut keteteran). Yuk Sosmed aku terbuka untuk siapa aja yang mau kenalan atau curhat *azeek

Makasih semwaaaa

Regards: Ziajung (vanillajune.wordpress.com / wattpad: ziajung)

19 responses to “Honey Cacti [Chapter 10]

  1. Huee jadi kasian juga sama jieun ibuya kok kejem banet gitu? Ahh syukur akhirnya baekhyun ditangkap juga biar dia gak neror ji eun lagi. Pengen tau reaksi seo ah tentang alasana putusnya hubungan sehun sama ji eun. Ditunggu next chapnya kak 🙂

  2. Bagusss sukaa oenni😀😀😀
    Ada beberapa yg bikin ngakak jg..
    Oke see u on next chapter😃😃

  3. akhirnya seo ah tau masalah hubungan sehun sama jieun berakhir.
    thor update jgn lama” gue gx sabaran ni nunggu end. semoga aja nanti sehun sama seo ah selamanya 😂😂

  4. Lega rasanya sehun balik lagi sama seo ah 🤗 seneng deh ngebayangin sehun sweet kaya gitu. Aku kira bakal langsung end abis ini 😄 eh ternyata ibunya ji eun nih yaaa, ganggu aja. Moga ini cepet selese kaa, ga sabar nunggu endingnya 😊

  5. Adeh…..emaknya jieun…sadis….
    Aduh seo ah…jgn mundur ding…cuma gegara itu….perasaan mah siapa y bisa maksa coba 😅😅
    Eumh….knp emaknya seo ah percaya membagi kisah itu sama sehun???
    Gmn coba kalo aku brd diposisinya seo ah…ngebayangin aja ga sanggup,apa lg ngejalaninnya…
    Sehun…mah jdi namja pabo y disini kalo menyangkut masalah percintaan
    Jaga hatinya seo ah sehun…
    Bener kata sehun…
    Seo ah,kamu ga sendiri…berbagilah…eomma dan jeong min pasti bakaln ikut membantu kok,ga slh berbagi…sehun juga bakalan sigap sebagai seorg namjachingu y baik kok.

    Ga pp lh eon seminggu,dr pd lbh lama lg apa g lbh ngenes coba😅😅😅😅😅😅
    Semangat trus eon
    Kalo beneran ga sempet atau sibuk dgn dunia real ya…g pp deh….asal eon sehat selalu aja udah cukup kok.

  6. AAAAAAAAKHIRNYAAAAAA
    sedih baekhyun dinistain :’) hahahaha
    Gilak ibunya jieun yaa ada ya ibu kayak gitu.. semoga jieun pada akhirnya juga bisa bahagia, bertemu dengan orang yg tulus mencintainyaa #eaa
    Seneeeng akhirnya seoah mesra lagi sama sehun, semoga kemesraan ini juga gak segera berakhir.
    Ditunggu next chap! Selalu ditunggu!

  7. kayaknya ji eun udh sadar deh kalo dia emg gak bisa sama sehun, dan baekhyun udh ditangkap polisi. Yeayyy sehun makin mesra aja sampe ngebayangin tidur bareng kek di sofa

  8. Akhirnyaaaaaaaaaa
    Aku sukaaa banget , semoga hub mreka baik baik sajaaaa sehunnnnn
    Ditunggu nextnyaaa
    Ff sf9 aku sukaaaa sf9 ditunggu deh pokoknya
    Fighting author

  9. Huahhj chapter ini menguras hati dan emosi ya hmmm tapi aku senang couple favorite udah barengan lagi. Kasian Jieun diperalat ibunya. Jieun musti cepet-cepet dapet cowo lagi, sama Joenmyoen aja. ^^

Leave a reply to Daryun Cancel reply